Kamis, 15 Desember 2011

Setengah Abad Bersama si Merah

Jalanan keluar dari arah mesjid raya tampak ramai setiap hari. Menyisakan debu-debu di bawah terik siang. Macam-macam jenis kendaraan memutar di taman parkiran Jl. T. chik Pante Kulu. Sebuah jalan bagian selatan mesjid Raya baiturrahman. Tempat ibadah yang juga berfungsi sebagai salah satu objek wisata di kota Banda Aceh.
Di sisi mesjid bercat putih dengan enam qubah berwarna hitam itu terdapat sebuah pasar. Ramai dengan berbagai dagangan dan gaya pedagangnya. Kebanyakan terjual di sana pakaian jadi. Di gerbang pasar, dua buah qubah hitam kontras dengan warna oranye. Melingkar membentuk parabola dengan tulisan balok berwarna emas, masih menggunakan ejaan lama. Di sana tertulis “Pasar Atjeh”.
Sebelum masuk ke pasar Aceh, meliriklah ke kanan. Sederetan tukang becak mengantri penumpang. Ups! Sebelum beralih menuju tukang becak, lihatlah sebentar ke lapak yang berjajar di sepanjang jalan. Ada beberapa perempuan duduk manis dengan dagangan kecil-kecil berwarna hijau di hadapan mereka. Lembaran-lembaran hijau itu dioles kapur, kemudian sesendok benda coklat ditambahkan ke sana. Tangannya cekatan melipat dan menyematnya dengan cengkeh. Jari jemari mereka juga cekatan meracik sesuatu yang alami, datangilah mereka.
Piyoh….piyoh…..!!!(Singgah…singgah…!!!)” begitu sapaan yang kita terima jika melewati mereka atau sapaan lain yang lebih akrab.
Piyoh, Pak….(singgah, Pak….)”
Piyoh, dek….(Singgah, dek…..)”
Jika berhenti di sana lihatlah ke dalam tabung kaca yang baru-baru ini tersedia di atas meja masing-masing. Ada undakan-undakan kerucut maupun limas tersusun di dalamnya. Bentuknya seperti candi borobudur warna hijau. Tentu, itu kan sirih siap saji. Makanan khas penduduk Aceh, merupakan jenis tumbuhan tradisional yang masih dipakai hingga sekarang di zaman moderen.
Di smaping tabung kaca terdapat satu stoples benda kecoklatan, sekilas seperti kacang yang di tumbuk kasar seperti bumbu untuk membuat pecal. Tapi bukan, itu pinang manis yang disajikan ke dalam sirih. Pinang tersebut dibuat dengan cara direbus terlebih dahulu sebelum kemudian diberi gula agar manis. Di samping stoples pinang ada stoples yang lebih kecil berlapis plastik. Isinya kapur putih, ada juga gambir dan cengkeh.
“Singgah, dek…” Suara lembut para penjual kembali menarik pembeli. Seorang pemuda menghampiri dengan gaya urakan menghampiri si penjual sirih yang masih muda. Ia mengeluarkan Rp. 1000’-. Ia menyerahkan pada Ibu berbaju coklat dan berjilbab putih.
Di zaman modern, jarang sekali ada anak muda yang masih menikmati sirih. Apalagi membudayakan segala jenis peninggalan nenek moyang.
Si Ibu dengan gesit menaruhkan lima buah sirih berbentuk limas ke dalam plastik gula. Si pemuda berambut kriwil mencomot sebuah dan memakannya.
Ranup (sirih) ini bagus untuk menghilangkan bau mulut, dek….” Katanya. “selain itu juga menghindari dari bau badan. Murah lagi. Sudah di pakai sejak zaman nenek moyang kita dulu.”
Ia bernama Khatijah. Apabila melewati sederet penjual sirih, dia perempuan paling tua di sana. Tubuh kecilnya mulai bungkuk seiring usianya yang kian lanjut. Namun semangatnya dalam mencari sesuap nasi tidaklah gentar. Baginya asalkan usahanya halal. Ia akan terus menjalaninya. Itu lebih baik dilakukannya tanpa bekerja menjadi pengemis.
“Tangan di bawah lebih baik daripada tangan di atas.” Katanya mengungkapkan sebuah pepatah. Ia tersenyum memperlihatkan deretan gigi kuning kemerahan saat mengucapkan kalimat tersebut.
Ia sudah lama menggeluti pekerjaan ini. Sejak anak-anaknya masih kecil. Perempuan tua ini sudah terjun ke dalam bisnis kexil-kecilan yang jarang dilakoni orang lain. Dulu masih sedikit yang berjualan sirih, bukan seperti sekarang. Ia memperhitungkan, sekitar lima puluh tahun sudah ia bersama si merah.
Setengah abad bukanlah waktu yang singkat dalam hidupnya. Bersama lembar-lembar hijau sirih, gambir dan pinang, ia bisa menyambung hidup. Bahkan ia mendapatkan segalanya dari hasil dagangan.
Bermula dengan menyekolahkan anak-anaknya, walaupun tak sampai perguruan tinggi. Sepetak tanahpun berhasil ia miliki di Peuniti. Dari keuntungan dari menjual sirih yang tipis itu ia terus menabung. Perlahan ia mulai membangun rumah sederhana di atas tanah yang ia beli tersebut. Meskipun tidak besar, ia cukup puas berada di istana kecil hasil jerih payahnya, bukan bantuan.
“Nggak banyak untung yang dapat. Alhamdulillah…..saya bisa menikmati semuanya dari sini.” Nek Kkatijah menunjukkan tumpukan sirih-sirih yang masih menggunung.
Ia menjualnya Rp. 1000,- per lima butir.daun-daun sirih itu setiap hari ia ganti. Pagi-pagi sekali sebelum azan Shubuh berkumandang, nek Khatijahpun menuju Lambaro untuk membeli daun sirih segar.
“Harganya macam-macam, yang ikat besar Rp.2000,- dan yang kecil Rp. 1500,-.” Tangannya menyentuh daun sirih yang kecil dan berdaun lebar secara bergantian. Menurutnya sirih di Lambaro kualitasnya lebih baik daripada di tempat lain. Lagipula agak sulit mencari daun sirih di tempat lain.
Sehari nek Khatijah mendapatkan hasil menjual sirih sebanyak Rp. 10000,- sampai Rp. 25000,-. Setelah membeli daun sirih baru dan ongkos pulang pergi naik becak pasar Aceh-Peuniti, tentu tak seberapa hasil yang diperolehnya.
Ia berharap, suatu saat akan ada pemerintah atau LSM-LSM yang membantu usahanya. Meski itu hanya berupa kios kecil.
“Mudah-mudahan ada dari bapak Irwandi memberikan bantuan kepada kami. Tidak diberikan uang, barang pun jadi. Seperti kios misalnya…..” Harapnya.
Apakah masih ada perempuan setegar nek Khatijah di negeri serambi Mekkah ini. Ia berkorban dengan lembar-lemabr merah hanya untuk sesuap nasi bagi anak-anak dan membangun sebuah istana baru bagi keluarga? ***

Tidak ada komentar: