Senin, 14 April 2014

Citizen Reporter: "Lebih Kejam dari Ibu Tiri"

Tidak selamanya apa yang kita lihat dan dengar sesuai dengan apa yang orang lain alami. Merasakan berada di posisi yang sulit mungkin akan mudah bagi kita memberi solusi. Belum tentu bagi orang lain. Hal yang sama juga pernah alami, beberapa status Facebook saya banyak bercerita tentang kota Beijing dan segala seluk beluknya. Inilah bagian kecil dari cerita dari negeri tirai bambu yang dimuat di majalah Sumberpost rubrik Citizen Reporter, versi online-nya dapat dibaca di http://sumberpost.com/citizen-journalism-negeri-china-lebih-kejam-dari-ibu-tiri/#.U0I19ah_spQ
 *
“Wah, ternyata benar kata orang. Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Mak, lon meujak woe...!!”

Tulisan itu ditulis oleh seorang alumni UIN Ar-Raniry yang juga sedang berkuliah di luar negeri. Namun saya tidak tahu di negara bagian mana. Jarangnya komunikasi dan kesibukan masing-masing tidak bisa membuat kami sesering dulu bercerita, bercanda dan berbagi. Namun dari statusnya jelas bahwa ia sedang memulai hidup di kota besar.

Sama. Saya juga sedang memulai semester kedua di ibukota, sebuah kota besar di Asia Timur yang menjadi pusatnya benua Asia. Beijing, ibukota negara Republik Rakyat China yang dikenal dengan sebutan negeri tirai bambu atau negeri panda. Kota ini dulu disebut Peking, sampai saat ini masih dikenal dengan nama Peking meskipun sudah jarang terdengar.

Pusat kota Beijing terletak di Tian’anmen. Sebuah tempat tujuan wisata yang amat terkenal dengan sejarah perjuangan dan pergerakan China. Novel-novel karya Lisa See, seorang hua ren (etnis tionghoa keturunan) asal Amerika kerap menyitir bangunan ini dalam novel-novelnya.  Hingga saat ini tempat itu masih terawat dan menjadi lokasi upacara bendera pada hari kemerdekaan China yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober.

Pertanyaan pertama ketika kembali ke tanah air, melalui jejaring sosial, email adalah “Mengapa pilih ke Beijing?” Saya pun tidak tahu mengapa memilih Beijing, saya masih punya deretan nama negara lain dalam catatan hidup saya. Beijing tidak termasuk di dalamnya. Terkadang jawaban saya menjadi sangat ngelantur, tapi sebenarnya fakta.

“Beijing yang memilih saya untuk datang, bukan saya yang memilih Beijing untuk mengunjungi.” Jawaban itu kerap saya berikan.

Pada dasarnya saya tidak suka tinggal di ibukota. Beberapa alasan mungkin juga disetujui oleh orang-orang yang sering ke ibukota negara tertentu, meskipun negara kita sendiri, Indonesia. Pertama, kehidupan ibukota yang individualis. Kedua, polusi yang tidak baik untuk kesehatan. Ketiga, biaya hidup yang relatif mahal. Keempat, terlalu banyak orang di ibukota dan sederetan alasan lain.

Ada sedikit galau ketika saya lulus beasiswa di Beijing. Terlebih ketika dinyatakan bahwa di kota ini banyak sekali orang Indonesia. Terutama anak-anak ibukota yang cenderung sombong dan tidak bisa berbaur dengan anak-anak daerah. Anak-anak daerah yang dimaksud adalah mahasiswa asal provinsi selain DKI Jakarta. Pandangan yang buruk memang, terlebih jika ada beberapa orang yang tidak seperti itu.

Semester pertama di Beijing saya lalui dengan langkah tertatih. Kedatangan saya di Beijing pertama kali suhunya 21 derajat. Sejuk seperti Takengon, tapi polusi tebal. Sementara di Takengon tidak ada polusi. Saya mengalami demam mendadak, otot sakit dan hanya seorang diri di kampus Communication University of China. Sementara masih banyak yang bisa dilakukan dalam jangka waktu tiga hari. Kelengkapan administrasi pendaftaran ulang harus selesai dalam waktu itu.

Parahnya tidak ada yang mengerti bahasa mandarin saya karena perbedaan dialek yang saya pelajari dengan kondisi di lapangan. Beijing memiliki dialek sendiri yang disebut er hua. Mereka bicara seperti orang kumur-kumur, setiap kata ditambah er er er. Namun bahasa mandarin Beijing adalah yang asli. Konon katanya bahasa mandarin beifang (bagian utara) merupakan yang paling benar karena tidak ada pengaruh bahasa lokal. Di awal-awal kedatangan saya, orang-orang yang saya temui kebanyakan tidak bisa bahasa Inggris. Saya pun masih tidak percaya diri untuk membuka mulut bicara bahasa Inggris di kota ini.

Antara ingin pulang karena shock culture dan bertahan karena keinginan, akhirnya saya pasang muka tembok. Tidak perlu cemas, tidak perlu takut. Setiap orang pasti melakukan kesalahan. Tanpa kesalahan manusia tidak pernah belajar. Bismillah...

Dalam dua hari, bahasa Inggris yang awalnya tersendat-sendat menjadi lancar. Orang-orang yang saya ajak bicara dalam bahasa Inggris mengerti apa yang saya ucapkan. Saya semakin percaya diri untuk melangkah keluar. Sebelum keluar saya mengingat apa saja yang akan saya lakukan di luar. Kemudian mengingat bahasa Inggris-nya. Meskipun ketika keluar kampus bahasa Inggris tidak membantu sama sekali. Pedagang tidak menggunakan bahasa Inggris, tapi cukup cerdas menggunakan petunjuk untuk saling mengerti. Ini karena banyaknya orang asing di Beijing. Mereka banyak yang tidak menggunakan bahasa mandarin, namun hidup di Beijing karena bisnis atau belajar dalam bahasa Inggris.

Minggu kedua saya bertemu dengan orang Indonesia. Hanya dua orang. Berikutnya saya tahu ada enam orang Indonesia di kampus saya. Semuanya anak ibukota, Jakarta. Cerita-cerita yang selama ini beredar tentang mahasiswa Indonesia di luar negeri juga terjawab.

Antara kesal, senang dan sedih mempermainkan hati. Kesal karena saya benar-benar berbeda dari segi budaya, latar belakang, gaya hidup juga agama. Terkadang berada dalam satu lift, tapi tidak saling menyapa. Bila menyapa duluan sering tak dihiraukan. Karena sudah lebih dulu di Beijing, mahasiswa lama, tentu temannya juga sudah lebih banyak. Di sisi lain senang tidak banyak orang sebangsa di sini. Artinya bisa belajar bahasa lebih baik dan tidak perlu mengikuti acara nongkrong-nongkrong yang tidak penting. Bukan berarti di kamar untuk belajar terus, namun lebih baik tidak bila tidak ingin melewati ‘jalan di luar jalur.’

Karena kesibukan aktivitas yang berbeda, antara satu mahasiswa dengan yang lainnya jarang bertemu. Ini pula yang menjaga hubungan baik satu sama lain tetap harmonis. Sesekali ketika bertemu di luar asrama dan luar kelas, kami bersapa dan mengobrol singkat tentang aktivitas masing-masing. Kemudian ia bersama teman-temannya yang orang asing. Saya juga melakukan hal yang sama, jalan dengan teman-teman saya yang juga orang asing.

Ketika kondisi ini terjadi, betapa bersyukurnya saya menguasai bahasa asing. Memiliki banyak teman dengan latar belakang berbeda adalah anugerah paling indah di perantauan. Kita banyak mengetahui kondisi negara orang tanpa harus mengunjungi negara tersebut. Kita mendapat banyak oleh-oleh ketika awal semester usai liburan, juga mendapat beragam bahasa. Terlepas dari kita bersungguh-sungguh mempelajari bahasa tersebut atau tidak. Karena bahasa komunikasi yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Inggris.

Satu semester sudah lewat, perkembangan bahasa saya masih mama huhu alias tidak baik dan tidak pula buruk. Terkadang lawan bicara saya bingung ketika saya bicara mandarin. Nadanya masih sering salah atau keterbatasan kosa kata. Saran-saran yang berisi nasehat untuk meningkatkan bahasa keluar masuk kuping selama satu semester.

Apa yang orang sarankan tidak semudah itu dijalankan. Posisi sulit untuk siapa saja ketika kuliah di ibukota, di kampus yang 80% mahasiswanya mampu menguasai bahasa asing. Itu tidak semudah yang kita sarankan atau cibirkan.

Hubungan mahasiswa lokal dengan mahasiswa asing ibaratnya asas manfaat. Mereka adalah mahasiswa yang mampu berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Kemampuan bahasa asing mereka yang tidak buruk, keterbatasan kosa kata dan kemampuan berbahasa kita yang kurang memberi keuntungan yang banyak pada lawan bicara lokal.

Dene Gabaldon, teman sekamar saya asal Amerika juga mengeluhkan hal yang sama. Dia pernah belajar bahasa mandarin setahun di Nanjing. Bahasa mandarinnya sudah bagus. Ia kembali New Mexico untuk bekerja dan menunggu jawaban pengajuan beasiswanya. Ketika ia menerima beasiswa dan kembali ke China, sudah terbayang ia akan belajar dialek di kota ini. Kenyataannya ia sendiri tidak mendapatkan apa yang ia harapkan.

Dene kuliah di jurusan New Media yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Teman-temannya adalah mahasiswa asing dan beberapa mahasiswa lokal. Perlahan bahasa mandarinnya terkikis menjadi lebih buruk.

“Bagaimana saya bisa mengembangkan. Teman sekelasku semua bisa berbahasa Inggris. Bahkan orang-orang lokal sendiri bicara bahasa Inggris. Sekalipun saya bicara bahasa mandarin. Ini sulit buatku yang ingin belajar, karena mereka menjawab dengan bahasa Inggris. Nanti kamu akan merasakan hal yang sama” keluh Dene.

Tidak perlu menunggu lama untuk mengalami apa yang diceritakan Dene. Hal yang sama juga saya alami. Semester lalu banyak yang mengatakan, “Ulfa, jangan main dengan orang asing. Tidak bagus. Kamu harus belajar bahasa mandarin, bukan bahasa Inggris. Mereka tidak memberi efek baik untuk kamu.”

Dalam keadaan kacau saya berpikir bagaimana cara melatih bahasa mandarin saya. Atas saran beberapa orang, saya membuat akun QQ yang banyak digunakan oleh warga China. Akun ini sejenis yahoo massenger atau aplikasi chatting lainnya. QQ amat populer di China karena akses Facebook diblokir. Banyak teman di QQ berbicara bahasa Inggris setelah mengetahui saya orang asing. Ada pula yang melatih bahasa Indonesia.

Pada lebaran Idul Adha 2013, saya kemudian berkenalan dengan tiga mahasiswa dari jurusan International Communication and Journalism. Bahasa Inggris mereka bagus. Saya berbincang, berkenalan, bertukar nomor ponsel dengan tiga gadis China ini. Salah satunya bernama Wang Xiao Xiao, asal Anhui. Provinsi yang terletak di bagian tengah China.

“Aku bisa membantumu belajar bahasa mandarin.” Kata Xiao Xiao suatu ketika saat bercerita tentang bagaimana kesulitan saya untuk mengingat shengdiao (nada dalam kosa kata mandarin). Tentu saja saya girang sekali.

Awal-awal berkomunikasi kami menggunakan bahasa mandarin. Jika ada kata yang tidak saya mengerti akan saya tanya balik, “....shenme yi si?” atau artinya apa. Kemudian ia akan menjelaskan dalam bahasa Inggris.

Itu tidak berlangsung lama. Hanya sebentar. Pada pertemuan dan obrolan berikutya, ia nyaris tidak bicara dalam bahasa mandarin. Saya bicara bahasa mandarin, dia menjawab dalam bahasa Inggris. Ketika saya tidak tahu harus berkata apa dalam mandarin, saya berkata dalam bahasa Inggris. Dan kemudian bukanlah latihan bahasa mandarin yang berlangsung. Tapi berlatih bahasa Inggris.

Kejadian seperti ini bukan hanya terjadi antara saya dan Xiao Xiao. Tapi juga saya dengan mahasiswa lokal lainnya. Hal yang sama juga dialami oleh teman-teman asing saya dengan mahasiswa lokal lainnya. Memiliki banyak teman namun tiak banyak mengalami peningkatan bahasa.

“Sulit bagi kita untuk mencari orang yang tidak bisa berbahasa asing. Karena kita hanya akan mendapat teman yang bisa berbahasa asing. Sementara yang tidak bisa berbahasa asing akan membuat jarak dengan kita. Aku berbicara dengan mahasiswa jurusan bahasa Rusia, tapi mereka bicara bahasa Rusia denganku. Sama seperti beberapa orang lainnya. Jika ada yang jurusan bahasa Indonesia, mereka juga akan bicara dengan bahasa Indonesia denganmu. Maka sebaiknya jangan bertemu dengan mereka. Kita hanya akan tetap belajar di kelas, sesekali keluar kampus dan bicara dengan banyak pekerja tua di jalanan. Itu jauh lebih baik.” Mishakiv Evgenie asal Rusia mengeluh soal bahasa.

Keluhan serupa datang dari banyak mahasiswa asing di Beijing, khususnya di kampus CUC yang memiliki Fakultas Bahasa Asing. Di masa depan alumni CUC akan bekerja dan membangun relasi dengan dunia global. Dimana bahasa asing menjadi modal utama mereka untuk mencari pekerjaan. Tidak heran bila mereka punya bekal bahasa asing yang kuat. Banyaknya mahasiswa asing di kampus mempermudah mereka untuk terus berlatih dan meningkatkan bahasa.

Ketika ada pertemuan mahasiswa asing di sekolah, seperti orientasi mahasiswa baru dan sejenisnya. Pembicara di depan akan bicara dengan bahasa mandarin, kemudian diterjemahkan dalam empat bahasa lainnya. Bahasa Inggris, Korea, Rusia dan Spanyol. Tidak heran bila menguasai salah satu bahasa asing itu maka perkembangan bahasa utama akan lambat.

Sisi positif yang dapat dipetik dari kesulitan ini justru adanya keinginan untuk belajar bahasa lain. Walaupun sulit untuk menguasai bahasa asing sekaligus. Bukan karena tidak fokus, tapi karena kita memiliki teman berbagai dari berbagai bangsa. Sehingga bahasa yang dominan dikuasai menjadi alat komunikasi sehari-hari.

Kehidupan di ibukota juga individualis. Satu sama lain tidak saling peduli. Sisi positifnya adalah terhindar dari gosip-gosip yang tidak sehat. Terkadang kita juga lebih mandiri mengerjakan sesuatu. Tidak tergantung pada teman atau kelompok tertentu. Di sisi lain kehidupan sosial yang saling mengerti sangatlah penting.

Suatu hari di musim dingin saya makan di kantin bersama teman satu negara. Setelah memesan makanan dan duduk di meja yang kosong, kami mulai makan sambil mengobrol. Tiba-tiba saya merasakan kursi yang saya duduki goyang. Saya bangkit untuk memeriksa kursi tersebut. Begitu saya duduk kembali, kursi tersebut malah terbalik. Saya meluncur ke bawah meja dengan posisi tengkurap.

Seisi kantin diam dan menoleh pada saya. Tidak seorangpun membantu membangunkan saya. Mereka hanya melihat dan tercengang beberapa detik. Kemudian fokus lagi pada makanan masing-masing. Bahkan teman saya tidak berbuat apa-apa. Saya bangun tertatih-tatih. Beberapa menit saya merasa malu, sakit yang saya rasakan lenyap.  Makanan yang tinggal sedikit tidak lagi saya habiskan. Saya ingin keluar secepatnya dari kantin. Tangan saya terkilir, untuk memegang botol minuman pun tidak bisa.

Beruntung seorang penjual naicha (teh susu) di pintu masuk kantin melihat kejadian itu. Ketika saya keluar dia menghampiri saya dan memegang tangan saya. Sejenak ia bicara dengan gaya kumur-kumur yang tidak saya pahami. Ia mengelus-elus, memijat dan menekan sedikit tangan saya. Tidak ada rasa sakit. Ia menyuruh saya menggerak-gerakkan. Tangan saya sembuh sudah.

Sejak saat itu saya lebih berhati-hati. Tidak gegabah, krasak krusuk dan ikutan tidak peduli. Bila keluar asrama seorang diri, saya mulai mengikuti gaya mahasiswa Beijing. Buku di tangan, headset di kuping dan berjalan tanpa lihat kiri kanan. Hal yang terlihat menyenangkan.

Dalam hati saya merasa kesepian di keramaian bila berjalan sendiri. Meskipun di Banda Aceh sering berjalan sendiri, tidak saling menyapa, satu sama lain tidak merasa kesepian. Di dalam hati masih tumbuh benih-benih rasa sosial yang tinggi. Satu sama lain masih memancarkan energi positif untuk saling membutuhkan, ada rasa peduli dan saling terikat walau tak mengenal.

*


Penulis adalah alumni majalah Sumberpost angkatan pertama. Penulis merupakan alumni jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, IAIN Ar-Raniry. Lulus pada tahun 2010 dan sedang melanjutkan pendidikan di Communication University of China, Beijing.

Rabu, 13 November 2013

Day 1411.2013: Secawan Bunga Rosela Kering

Pintu kamar saya diketuk beberapa kali, sedikit keras. Sebelumnya saya memang menerima telepon dari seseorang yang tinggal di lantai delapan. Saya membuka pintu setelah menyampirkan pashmina di kepala secara asal. Saya khawatir jika seseorang di luar sana mungkin salah satu teman selorong yang ingin menanyakan seseuatu seperti saat kepergian Anna.

"Assalamualaikum," Sesosok wajah berkulit gelap dengan tubuh terbungkus seperti India tersenyum di depan pintu. Dia Eshraga, wanita yang lebih tua dari ibu saya dan sedang mengambil pendidikan master di kampus yang sama.

Beberapa waktu saya mengajarinya bahasa mandarin, setiap malam. Semalam satu jam setengah. Dia sangat senang. Terkadang jika saya ada makanan di kamar, saya membawanya ke kamar Esharaga. Buah-buahan di sini sangat murah, setengah kilo anggur hanya 3 yuan, setara dengan dua ribu rupiah saja. Terkadang saya membeli seperempat dan membaginya dengan siapa saja yang saya temui. Khususnya mahasiswa muslim karena saya menganggapnya saudara saya di perantauan. Hal yang sama dilakukan oleh mereka.

Setelah saya menjawab salam Eshraga, saya persilahkan ia masuk ke kamar saya. Sama seperti teman-teman saya yang lain, mereka terkagum dan kaget ketika masuk ke kamar saya. Lalu berkomentar, "Your room very beautiful. You so lucky got this room"

Ya, memang!

Saya tidak pernah menyadari begitu beruntungnya saya mendapat kamar ini. Selain mendapat kamar mewah fasilitas hotel, saya tinggal sendiri di lantai empat. Saya mengenali tetangga kiri kanan, meskipun tidak akrab. Saya juga bebas melakukan apa saja di kamar. Bisa beribadah dengan tenang dan tidur kapan saya suka. Terutama kebiasaan tidur nyenyak saya bila lampu menyala terang.

Esharaga membawa secawan rosela kering. Ia menyuruh saya meminum setiap demam. Katanya di Sudan mereka menyeduh dengan air panas dengan sedikit sekali gula. Lalu diminum saat demam atau merasa kedinginan. Ini juah membuat kondisi lebih baik.

Saya mengatakan jika di Indonesia juga ada bunga seperti ini. Namun saya jarang meminumnya. Bahkan dalam hati saya menambahkan, saya meminumnya untuk program diet saya.

Dari secawan rosela ini, hubungan saya dengan Eshraga semakin membaik. Saya seperti menemukan sosok ibu pada dirinya. Meskipun ada benteng yang memisahkan saya dengannya menjadi ibu dan anak. Namun banyak nasehat yang ia berikan kepada saya layaknya ibu dan anak. Mulai dari masalah teman, makanan, cara berhemat sampai nasehat-nasehat keislaman lainnya.

Saya benar-benar merasa terlindungi secara agama. Setiap saya ke kamarnya, saya mendapat nasehat terhadap masalah yang saya hadapi di sini. Saya merasa jauh lebih baik setelah mendengarkan beliau bicara. Ia juga memberikan saya obat ketika saya sakit. Kalimat yang menegaskan bahwa muslim itu bersaudara saya temukan di sini.

Ketika musim dingin masuk dimulai pada tanggal 7 November 2013, saya sakit. Musim dingin pertama saya di Beijing. Kepala saya rasanya mau pecah. Jangankan untuk ke kampus, membuka mata saja saya tidak bisa. Cahaya yang masuk melalui celah jendela rasanya seperti mata pisau yang siap menebas saya kapan saja. Orang yang pertama saya ingat adalah ibu.

Saya menangis dan terus berdoa agar bisa melewati hari-hari yang begitu berat ke depannya. Terlebih liburan musim dingin saya tidak pulang ke negara saya, Indonesia. Saya akan menghabiskan masa di kamar dorm dan sambil menulis atau menonton film di laptop. Mungkin juga saya harus mengisi kuota internet sebanyak mungkin untuk melewatkan liburan saya di Beijing.

Saat  saya mulai bisa bergerak dan rasa sakit mulai berkurang, saya bangkit dari tempat tidur. Saya memanaskan air di teko listrik dan menyeduh beberapa kuntum rosela. Kental dan pekat. Lalu saya minum perlahan, kata-kata Eshraga terngiang kembali, "Minum ini ketika kamu merasa tidak nyaman. InsyaAllah, kamu akan menjadi lebih baik. Orang Sudan meminum ini untuk mejaga vitalitas."

Benar saja.

Jam satu siang, setelah zuhur, saya lebih segar. Malamnya saya sanggup keluar dari kamar ke super market untuk membeli seporsi jianbing sebagai makan malam. Meskipun wajah pucat dan kesakitan saya tak bisa disembunyikan, saya jauh merasa lebih baik.


Selasa, 22 Oktober 2013

Day 2210.2013: Dia Sedang P.hD?

Berbicara soal pernikahan memang sangat sensitif di usia melewati 25 tahun. Apalagi saat kebanyakan teman-teman seangkatan sudah menikah dan dikarunia anak. Banyak anggapan negatif ketika masa penantian jodoh diisi dengan hal positif seperti bekerja atau melanjutkan pendidikan. Seolah hanya mengejar karir dan tidak mau menikah.

Padahal bukan karena tidak mau, tapi jodohnya saja yang belum mendekat. Jika belum jodoh, di depan penghulu pun bisa tidak ajdi menikah. So, apa salahnya berpikir positif dengan slow but sure..

Hal seperti ini juga saya alami ketika di Banda Aceh. Berbeda dengan di Beijing. Semua orang tidak peduli status seperti ini. Kebanyakan dari mereka hanya bertanya, "Kamu sudah menikah?" atau "Bertunangan?". Itu juga karena mereka melihat cincin emas yang melingkar di jari manis saya.

Sebelum berangkat ke Beijing, saya sempat sms-an dengan sahabat saya yang sudah berkeluarga. Ia menikah pada tahun 2009 dan sekarang memiliki seorang putra. Kami membahas banyak hal, termasuk pandangan orang-orang setelah saya pergi nanti.

Saya menanggapi setiap kalimat Julka Maizar dengan tertawa-tawa saja. Dalam hati saya membenarkan. Tapi saya belum membuktikannya saja.

Di Beijing, status lajang tanpa ikatan pacaran sepertinya terlihat aneh dan tidak laku. Sampai-sampai pertanyaan "Apakah kamu sudah mempunyai pacar?" menjadi topik dalam materi pelajaran. Pelajaran yang sangat menyebalkan sebenarnya, karena dengan begitu saya harus siap menerima pertanyaan-pertanyaan. Apalagi jika menyangkut umur.

Kentungan buat saya mungkin tidak ada. Saya hanya mendapat predikat cewek paling imut dan mungil di kelas karena tinggi dan berat saya di bawah rata-rata siswa lainnya. Bahkan saat saya menyebut umur saya 26 tahun, banyak yang menyeletuk, "Zen de ma?" atau bila diartikan dalam bahasa Indonesia berarti "Benarkah?"

Saya hanya mengangguk saja. Membiarkan orang-orang dengan wajah melongo menatap saya seperti itu. Satu keuntungan bagi teman sekalas yag usianya memang lebih tua dari saya. Perlakuan mereka kepada saya yang menganggap lebih mudah tidakk berubah. Tapi begitu orang yang lebih muda sangat kaget dan terkadang sikap mereka justru berubah kikuk.

Pelajaran tentang pacar masuk di mata pelajaran perccakapan, yang menuntut semua orang harus menjawab pertanyaan dan bercerita dalam bahasa mandarin plus inggris. Semua bersiap dengan android dengan berbagai merek. Kecuali saya, tidak punya android dan hanya bertahan dengan hape Nokia tat tit tut saja. Saya berpikir untuk mengeluarkan kata-kata yang mudah dan saya pahami dalam bahasa mandarin atau inggris.

Hingga akhirnya, tibalah waktu saya bercerita. Hati saya mendadak galau. Jujur atau tidak. Tidak ada yang tahu. Tapi saya sadar, di kelas kisah hidup saya selalu dinantikan banyak orang. Sehingga ketika dosen memanggil nama "Kai Li Na" tentu saja semua orang akan terdiam.

"Kamu punya pacar?" Tanya laoshi dalam bahasa mandarin.

"You" yang artinya punya.

"Ta de duo da?"

Laoshi bertanya, umurnya berapa?

Saya jawab, "28 tahun" ershiba sui le.

Hening.

Untungnya tidak ada pertanyaan lanjutan seputar pacar saya. Jam 12 siang, ketika pulang kelas. Saya dan teman saya dari kelas berbeda bertemu. Dia berasal dari Thailand dan sedang mengambil P.hD di kampus yang sama.

Kami bercerita banyak hal. Dari cerita kami aku tahu dia tidak dalam hubungan pacaran. Dia berkata pernah pacaran, tapi sudah lama sekali. Bahkan dia sudah lupa bagaimana wajah mantan pacarnya. Dia tak banyak membahas masa lalu percintaannya. Saya pun ragu, apakah dia normal atau tidak.

Saya banyak bercerita, sekaligus mewanti-wanti agar dia tahu bahwa saya sedang berstatus. Meskipun dia sangat baik dan selalu melindungi saya dalam banyak hal.

Saat tengah menyuap makanan, tiba-tiba dia bertanya yang membuat saya tersedak. "Pacar kamu sedang P.hD di mana?"

Bayangan pertama yang muncul adalah wajah Meimei, sahabat saya. Pertanyaan itu pernah dikatakan oleh Mei pada saya. Itu yang akan ditanya orang-orang pada saya nantinya.

Jujur.

Saya bingung menjawab bagaimana. Dalam bahasa Inggris pula. Kalau dia mengerti bahasa Indonesia, tentu saja gampang bagi saya untuk menjawab "Nggak penting dia kuliah dimana. Selama kita saling memahami." Kalimat yang keluar justru, "Dia sedang menyelesaikan kuliahnya di Indonesia. Karena kendala di kampus. Sistem pendidikan di Indonesia sangat rumit. Tapi dia sudah menyelesaikan gelar sarjana mudanya, kok"

Teman saya hanya ber "Ohh..." panjang. Lalu bertanya, "Kamu berencana mengambil P. hD di Inggris.  Bagaimana dengan dia?"

Kembali saya bingung. Kalau saya sudah menikah, ya tentu saja saya boyong ke Inggris. Percakapan demi percakapan kemudian mengalir begitu saja, berubah dari soal dia P.hD di mana sampai baik buruknya sebuah hubungan jarak jauh.

Namun, pertanyaan ini justru membuat saya kangen pada Julka Maizar, seorang teman yang memiliki motivasi dan impian tinggi ketika kami masih kuliah dulu. Dia punya cita-cita yang menurut saya orang lain tak pernah berpikir seperti dia.

Kerinduan saya pada Mei justru ingin terus mendoakannya di sana. Semakin saya mengingatnya, semakin dalam pula rrindu saya pada teman saya itu. Bahkan ketika saya duduk di tempat paling indah di kampus bersama teman Thailand saya, terbayang masa-masa indah ketika kuliah. Dia duduk bersama saya di tempat ini dan bercerita apapun yang kami mau.

Note:
Very miss you, Mei..



Senin, 21 Oktober 2013

Day 2110.2013: Lagu Yang Aku Inginkan

Semingu yang lalu, begitu jam pelajaran yufa jeda, Wu laoshi menyalakan musik. Ia membiarkan mahasiswanya mendengar lagu mandarin di kelasnya. Saya kebetulan tidak keluar dari kelas, karena dingin dan sedikit pusing. Kepala saya berdenyut minta dipalu.

Saya merebahkan kepala di atas meja. Beberapa teman sekelas saya sibuk mempraktekkan bahasa Spanyol. Kebetulan orang-orang Eropa pernah belajar bahasa tersebut di sekolahnya dulu. Kebetulan ada murid baru yang menggunakan bahasa spanyol di kelas, jadi mereka terus mempraktekkannya.

Teman saya dari kelas sebelah juga tidak muncul. Sepertinya dia sedang menggerjakan tugas bahasa mandarin yang mulai menumpuk. Saya sedang tidak berminat ke kelas sebelah walaupun sekedar say hello.

Saat itu laoshi saya datang menghampiri, "You wenti ma?"

Ada pertanyaan.

Saya bilang tidak sambil mengangkat kepala. Kepala saya mendadak panas. Biasanya ini firasat ada sesuatu yang buruk dengan saya atau orang-orang terdekat saya. Bukan berniat untuk meyakini hal-hal yang demikian, tapi firasat melalui kondisi tubuh bagian tertentu sering kali saya alami bertahun-tahun silam. Sepanjang istirahat saya coba alihkan perhatian ke hal-hal lain. Hari itu saya mencoba membaca karakter hanzi yang muncul sebagai text lagu di layar infocus.

Irama lembut mengalun dari loudspeaker. Sepertinya saya pernah mendengar lagu ini. Saya dengarkan baik-baik.

“Laoshiiii...., wo yao zhe ge chang ge" Teriak saya tiba-tiba. Laoshi baru berjalan beberapa langkah dari saya.

Teman-teman yang masih tersisa di kelas tertawa.

"Laoshi, wo yao zhe shuo ge" Wu laoshi langsung meralat kalimat saya. Sementara saya hanya terbengong-bengong karena kebingungan. "After the class I give you"

Baiklah...

Dengan semangat 45 saya menunggu kelas usai. Namun sayangnya begitu kelas selesai bukannya diberikan lagu itu. Tapi laoshi malah bilang kepada saya, "Kai Li Na, I'm sorry. I not find this song in my laptop"

Hadooohhhhh!!!

Tapi laoshii berjanji mencarikan untuk saya. Besoknya laoshi lupa memberikan lagu tersebut pada saya, saya pun tak memaksanya lagi. Ia meminta email saya. Saya berikan, tapi begitu saya cek email, lagu yang dimaksud tidak ada.

Saya berniat melupakan.

Masalah pun sudah bermunculan. Saya sakit kepala juga karena kedinginan. Belum lagi kendala saya bahasa Inggris pas-pasan dan bahasa mandarin jungkir balik. Saya lupa lagu itu.

Senin pagi yag cerah, saya masuk ke kelas terlambat. Saya masuk di jam kedua. Jam pertama saya lewatkan di tempat tidur. Karena semalaman kepala saya seperti dihantam batu. Akibatnya saya insomnia. Saat jam pelajaran berakhir dan saya meminta ppt pada laoshi, ia berkata, "Kai Li Na, check your email".

"Gmail or yahoo?"

"Gmail"

Pulang kuliah saya bersama teman baik saya langsung ke kantin. Makan. Begitu kembali ke asrama saya langsung menyerbu laptop. Menyalakannya dan menunggu loading. Kemudian sholat Zuhur. Tidak sabar rasanya saya ingin segera membuka email itu.

Benar saja.

Satu lagu sudaj dikirim ke email saya. Lagu itu terus saya putar berulang kali sampai sedikitnya saya hapal. Lagu ini berkisah tentang persahabatan yang sudah dilupakan. Bagus.

Mungkin banyak yang berkomentar, carii aja di youtube atau google. Kenapa mestti ribet. Nah, benar!

Kalau lagunya dalam tulisan latin saya tentu dengan mudah bisa mengubek-ubek google. Permasalahannya adalah saya tidak bisa membaca hanzi. Dan saya tidak tahu apapun sampai hari ini laoshi saya memberikan lagu tersebut pada saya.

Saya sedang sedikit stress. Galau juga iya. Anehnya, lagu ini bisa mengobati perasaan saya yang campur aduk. Entah karena laoshi saya memberikan lagu ini untuk saya atau pun karena saya memang bisa makan dengan kartu kantin yang jarang sekali saya gunakan.



Jumat, 18 Oktober 2013

Day 1810.2013: Cantik Malah Jelek

Pulang makan di warung muslim, aku dan temanku berhenti di depan sebuah toko pernak pernik. Tanpa aba-aba kami memutuskan untuk masuk. Eveline hanya melihat-lihat bagian pintu, aku juga demikian. Aku sama sekali tak berniat membeli. Tapi mataku terlanjur bertumpu pada stiker keyboard yang terpajang indah di sana.

Kulirik satu persatu tanpa minat, kenyataannya aku malah jatuh cinta pada dua motif yang menurutku sangat cantik bila menyentuh keyboard Kuroi. Warnanya perpaduan tosca dan ungu. Semua keyboard hurufnya ungu, dan yang lainnya tosca. Oh, benar-benar yang aku inginkan. Hurufnya juga bentuk Comic San. Tidak monoton sedikit pun. Kuputuskan untuk membeli. Harganya cuma 7 yuan, seharga 14 ribu. Sementara di Banda Aceh harganya di atas 15 ribu. Aku pikir... Cukup murah!

Ketika aku kembali ke kamar, aku langsung membuka laptopku dan memasangnya di sana. Sayangnya, apa yang aku  harapkan terjadinya kebalik. Kuroi bukannya cantik. Tapi malah jadi jelek.

Empat keypad tidak ada stikernya, belum lagi beberapa keypad harus menerima bagian terkecil. Pokonya jelek sekali hasilnya. Aku jadi berpikir sedikit menyesal membeli keypad ini. Hiks..