Rabu, 13 November 2013

Day 1411.2013: Secawan Bunga Rosela Kering

Pintu kamar saya diketuk beberapa kali, sedikit keras. Sebelumnya saya memang menerima telepon dari seseorang yang tinggal di lantai delapan. Saya membuka pintu setelah menyampirkan pashmina di kepala secara asal. Saya khawatir jika seseorang di luar sana mungkin salah satu teman selorong yang ingin menanyakan seseuatu seperti saat kepergian Anna.

"Assalamualaikum," Sesosok wajah berkulit gelap dengan tubuh terbungkus seperti India tersenyum di depan pintu. Dia Eshraga, wanita yang lebih tua dari ibu saya dan sedang mengambil pendidikan master di kampus yang sama.

Beberapa waktu saya mengajarinya bahasa mandarin, setiap malam. Semalam satu jam setengah. Dia sangat senang. Terkadang jika saya ada makanan di kamar, saya membawanya ke kamar Esharaga. Buah-buahan di sini sangat murah, setengah kilo anggur hanya 3 yuan, setara dengan dua ribu rupiah saja. Terkadang saya membeli seperempat dan membaginya dengan siapa saja yang saya temui. Khususnya mahasiswa muslim karena saya menganggapnya saudara saya di perantauan. Hal yang sama dilakukan oleh mereka.

Setelah saya menjawab salam Eshraga, saya persilahkan ia masuk ke kamar saya. Sama seperti teman-teman saya yang lain, mereka terkagum dan kaget ketika masuk ke kamar saya. Lalu berkomentar, "Your room very beautiful. You so lucky got this room"

Ya, memang!

Saya tidak pernah menyadari begitu beruntungnya saya mendapat kamar ini. Selain mendapat kamar mewah fasilitas hotel, saya tinggal sendiri di lantai empat. Saya mengenali tetangga kiri kanan, meskipun tidak akrab. Saya juga bebas melakukan apa saja di kamar. Bisa beribadah dengan tenang dan tidur kapan saya suka. Terutama kebiasaan tidur nyenyak saya bila lampu menyala terang.

Esharaga membawa secawan rosela kering. Ia menyuruh saya meminum setiap demam. Katanya di Sudan mereka menyeduh dengan air panas dengan sedikit sekali gula. Lalu diminum saat demam atau merasa kedinginan. Ini juah membuat kondisi lebih baik.

Saya mengatakan jika di Indonesia juga ada bunga seperti ini. Namun saya jarang meminumnya. Bahkan dalam hati saya menambahkan, saya meminumnya untuk program diet saya.

Dari secawan rosela ini, hubungan saya dengan Eshraga semakin membaik. Saya seperti menemukan sosok ibu pada dirinya. Meskipun ada benteng yang memisahkan saya dengannya menjadi ibu dan anak. Namun banyak nasehat yang ia berikan kepada saya layaknya ibu dan anak. Mulai dari masalah teman, makanan, cara berhemat sampai nasehat-nasehat keislaman lainnya.

Saya benar-benar merasa terlindungi secara agama. Setiap saya ke kamarnya, saya mendapat nasehat terhadap masalah yang saya hadapi di sini. Saya merasa jauh lebih baik setelah mendengarkan beliau bicara. Ia juga memberikan saya obat ketika saya sakit. Kalimat yang menegaskan bahwa muslim itu bersaudara saya temukan di sini.

Ketika musim dingin masuk dimulai pada tanggal 7 November 2013, saya sakit. Musim dingin pertama saya di Beijing. Kepala saya rasanya mau pecah. Jangankan untuk ke kampus, membuka mata saja saya tidak bisa. Cahaya yang masuk melalui celah jendela rasanya seperti mata pisau yang siap menebas saya kapan saja. Orang yang pertama saya ingat adalah ibu.

Saya menangis dan terus berdoa agar bisa melewati hari-hari yang begitu berat ke depannya. Terlebih liburan musim dingin saya tidak pulang ke negara saya, Indonesia. Saya akan menghabiskan masa di kamar dorm dan sambil menulis atau menonton film di laptop. Mungkin juga saya harus mengisi kuota internet sebanyak mungkin untuk melewatkan liburan saya di Beijing.

Saat  saya mulai bisa bergerak dan rasa sakit mulai berkurang, saya bangkit dari tempat tidur. Saya memanaskan air di teko listrik dan menyeduh beberapa kuntum rosela. Kental dan pekat. Lalu saya minum perlahan, kata-kata Eshraga terngiang kembali, "Minum ini ketika kamu merasa tidak nyaman. InsyaAllah, kamu akan menjadi lebih baik. Orang Sudan meminum ini untuk mejaga vitalitas."

Benar saja.

Jam satu siang, setelah zuhur, saya lebih segar. Malamnya saya sanggup keluar dari kamar ke super market untuk membeli seporsi jianbing sebagai makan malam. Meskipun wajah pucat dan kesakitan saya tak bisa disembunyikan, saya jauh merasa lebih baik.


Selasa, 22 Oktober 2013

Day 2210.2013: Dia Sedang P.hD?

Berbicara soal pernikahan memang sangat sensitif di usia melewati 25 tahun. Apalagi saat kebanyakan teman-teman seangkatan sudah menikah dan dikarunia anak. Banyak anggapan negatif ketika masa penantian jodoh diisi dengan hal positif seperti bekerja atau melanjutkan pendidikan. Seolah hanya mengejar karir dan tidak mau menikah.

Padahal bukan karena tidak mau, tapi jodohnya saja yang belum mendekat. Jika belum jodoh, di depan penghulu pun bisa tidak ajdi menikah. So, apa salahnya berpikir positif dengan slow but sure..

Hal seperti ini juga saya alami ketika di Banda Aceh. Berbeda dengan di Beijing. Semua orang tidak peduli status seperti ini. Kebanyakan dari mereka hanya bertanya, "Kamu sudah menikah?" atau "Bertunangan?". Itu juga karena mereka melihat cincin emas yang melingkar di jari manis saya.

Sebelum berangkat ke Beijing, saya sempat sms-an dengan sahabat saya yang sudah berkeluarga. Ia menikah pada tahun 2009 dan sekarang memiliki seorang putra. Kami membahas banyak hal, termasuk pandangan orang-orang setelah saya pergi nanti.

Saya menanggapi setiap kalimat Julka Maizar dengan tertawa-tawa saja. Dalam hati saya membenarkan. Tapi saya belum membuktikannya saja.

Di Beijing, status lajang tanpa ikatan pacaran sepertinya terlihat aneh dan tidak laku. Sampai-sampai pertanyaan "Apakah kamu sudah mempunyai pacar?" menjadi topik dalam materi pelajaran. Pelajaran yang sangat menyebalkan sebenarnya, karena dengan begitu saya harus siap menerima pertanyaan-pertanyaan. Apalagi jika menyangkut umur.

Kentungan buat saya mungkin tidak ada. Saya hanya mendapat predikat cewek paling imut dan mungil di kelas karena tinggi dan berat saya di bawah rata-rata siswa lainnya. Bahkan saat saya menyebut umur saya 26 tahun, banyak yang menyeletuk, "Zen de ma?" atau bila diartikan dalam bahasa Indonesia berarti "Benarkah?"

Saya hanya mengangguk saja. Membiarkan orang-orang dengan wajah melongo menatap saya seperti itu. Satu keuntungan bagi teman sekalas yag usianya memang lebih tua dari saya. Perlakuan mereka kepada saya yang menganggap lebih mudah tidakk berubah. Tapi begitu orang yang lebih muda sangat kaget dan terkadang sikap mereka justru berubah kikuk.

Pelajaran tentang pacar masuk di mata pelajaran perccakapan, yang menuntut semua orang harus menjawab pertanyaan dan bercerita dalam bahasa mandarin plus inggris. Semua bersiap dengan android dengan berbagai merek. Kecuali saya, tidak punya android dan hanya bertahan dengan hape Nokia tat tit tut saja. Saya berpikir untuk mengeluarkan kata-kata yang mudah dan saya pahami dalam bahasa mandarin atau inggris.

Hingga akhirnya, tibalah waktu saya bercerita. Hati saya mendadak galau. Jujur atau tidak. Tidak ada yang tahu. Tapi saya sadar, di kelas kisah hidup saya selalu dinantikan banyak orang. Sehingga ketika dosen memanggil nama "Kai Li Na" tentu saja semua orang akan terdiam.

"Kamu punya pacar?" Tanya laoshi dalam bahasa mandarin.

"You" yang artinya punya.

"Ta de duo da?"

Laoshi bertanya, umurnya berapa?

Saya jawab, "28 tahun" ershiba sui le.

Hening.

Untungnya tidak ada pertanyaan lanjutan seputar pacar saya. Jam 12 siang, ketika pulang kelas. Saya dan teman saya dari kelas berbeda bertemu. Dia berasal dari Thailand dan sedang mengambil P.hD di kampus yang sama.

Kami bercerita banyak hal. Dari cerita kami aku tahu dia tidak dalam hubungan pacaran. Dia berkata pernah pacaran, tapi sudah lama sekali. Bahkan dia sudah lupa bagaimana wajah mantan pacarnya. Dia tak banyak membahas masa lalu percintaannya. Saya pun ragu, apakah dia normal atau tidak.

Saya banyak bercerita, sekaligus mewanti-wanti agar dia tahu bahwa saya sedang berstatus. Meskipun dia sangat baik dan selalu melindungi saya dalam banyak hal.

Saat tengah menyuap makanan, tiba-tiba dia bertanya yang membuat saya tersedak. "Pacar kamu sedang P.hD di mana?"

Bayangan pertama yang muncul adalah wajah Meimei, sahabat saya. Pertanyaan itu pernah dikatakan oleh Mei pada saya. Itu yang akan ditanya orang-orang pada saya nantinya.

Jujur.

Saya bingung menjawab bagaimana. Dalam bahasa Inggris pula. Kalau dia mengerti bahasa Indonesia, tentu saja gampang bagi saya untuk menjawab "Nggak penting dia kuliah dimana. Selama kita saling memahami." Kalimat yang keluar justru, "Dia sedang menyelesaikan kuliahnya di Indonesia. Karena kendala di kampus. Sistem pendidikan di Indonesia sangat rumit. Tapi dia sudah menyelesaikan gelar sarjana mudanya, kok"

Teman saya hanya ber "Ohh..." panjang. Lalu bertanya, "Kamu berencana mengambil P. hD di Inggris.  Bagaimana dengan dia?"

Kembali saya bingung. Kalau saya sudah menikah, ya tentu saja saya boyong ke Inggris. Percakapan demi percakapan kemudian mengalir begitu saja, berubah dari soal dia P.hD di mana sampai baik buruknya sebuah hubungan jarak jauh.

Namun, pertanyaan ini justru membuat saya kangen pada Julka Maizar, seorang teman yang memiliki motivasi dan impian tinggi ketika kami masih kuliah dulu. Dia punya cita-cita yang menurut saya orang lain tak pernah berpikir seperti dia.

Kerinduan saya pada Mei justru ingin terus mendoakannya di sana. Semakin saya mengingatnya, semakin dalam pula rrindu saya pada teman saya itu. Bahkan ketika saya duduk di tempat paling indah di kampus bersama teman Thailand saya, terbayang masa-masa indah ketika kuliah. Dia duduk bersama saya di tempat ini dan bercerita apapun yang kami mau.

Note:
Very miss you, Mei..



Senin, 21 Oktober 2013

Day 2110.2013: Lagu Yang Aku Inginkan

Semingu yang lalu, begitu jam pelajaran yufa jeda, Wu laoshi menyalakan musik. Ia membiarkan mahasiswanya mendengar lagu mandarin di kelasnya. Saya kebetulan tidak keluar dari kelas, karena dingin dan sedikit pusing. Kepala saya berdenyut minta dipalu.

Saya merebahkan kepala di atas meja. Beberapa teman sekelas saya sibuk mempraktekkan bahasa Spanyol. Kebetulan orang-orang Eropa pernah belajar bahasa tersebut di sekolahnya dulu. Kebetulan ada murid baru yang menggunakan bahasa spanyol di kelas, jadi mereka terus mempraktekkannya.

Teman saya dari kelas sebelah juga tidak muncul. Sepertinya dia sedang menggerjakan tugas bahasa mandarin yang mulai menumpuk. Saya sedang tidak berminat ke kelas sebelah walaupun sekedar say hello.

Saat itu laoshi saya datang menghampiri, "You wenti ma?"

Ada pertanyaan.

Saya bilang tidak sambil mengangkat kepala. Kepala saya mendadak panas. Biasanya ini firasat ada sesuatu yang buruk dengan saya atau orang-orang terdekat saya. Bukan berniat untuk meyakini hal-hal yang demikian, tapi firasat melalui kondisi tubuh bagian tertentu sering kali saya alami bertahun-tahun silam. Sepanjang istirahat saya coba alihkan perhatian ke hal-hal lain. Hari itu saya mencoba membaca karakter hanzi yang muncul sebagai text lagu di layar infocus.

Irama lembut mengalun dari loudspeaker. Sepertinya saya pernah mendengar lagu ini. Saya dengarkan baik-baik.

“Laoshiiii...., wo yao zhe ge chang ge" Teriak saya tiba-tiba. Laoshi baru berjalan beberapa langkah dari saya.

Teman-teman yang masih tersisa di kelas tertawa.

"Laoshi, wo yao zhe shuo ge" Wu laoshi langsung meralat kalimat saya. Sementara saya hanya terbengong-bengong karena kebingungan. "After the class I give you"

Baiklah...

Dengan semangat 45 saya menunggu kelas usai. Namun sayangnya begitu kelas selesai bukannya diberikan lagu itu. Tapi laoshi malah bilang kepada saya, "Kai Li Na, I'm sorry. I not find this song in my laptop"

Hadooohhhhh!!!

Tapi laoshii berjanji mencarikan untuk saya. Besoknya laoshi lupa memberikan lagu tersebut pada saya, saya pun tak memaksanya lagi. Ia meminta email saya. Saya berikan, tapi begitu saya cek email, lagu yang dimaksud tidak ada.

Saya berniat melupakan.

Masalah pun sudah bermunculan. Saya sakit kepala juga karena kedinginan. Belum lagi kendala saya bahasa Inggris pas-pasan dan bahasa mandarin jungkir balik. Saya lupa lagu itu.

Senin pagi yag cerah, saya masuk ke kelas terlambat. Saya masuk di jam kedua. Jam pertama saya lewatkan di tempat tidur. Karena semalaman kepala saya seperti dihantam batu. Akibatnya saya insomnia. Saat jam pelajaran berakhir dan saya meminta ppt pada laoshi, ia berkata, "Kai Li Na, check your email".

"Gmail or yahoo?"

"Gmail"

Pulang kuliah saya bersama teman baik saya langsung ke kantin. Makan. Begitu kembali ke asrama saya langsung menyerbu laptop. Menyalakannya dan menunggu loading. Kemudian sholat Zuhur. Tidak sabar rasanya saya ingin segera membuka email itu.

Benar saja.

Satu lagu sudaj dikirim ke email saya. Lagu itu terus saya putar berulang kali sampai sedikitnya saya hapal. Lagu ini berkisah tentang persahabatan yang sudah dilupakan. Bagus.

Mungkin banyak yang berkomentar, carii aja di youtube atau google. Kenapa mestti ribet. Nah, benar!

Kalau lagunya dalam tulisan latin saya tentu dengan mudah bisa mengubek-ubek google. Permasalahannya adalah saya tidak bisa membaca hanzi. Dan saya tidak tahu apapun sampai hari ini laoshi saya memberikan lagu tersebut pada saya.

Saya sedang sedikit stress. Galau juga iya. Anehnya, lagu ini bisa mengobati perasaan saya yang campur aduk. Entah karena laoshi saya memberikan lagu ini untuk saya atau pun karena saya memang bisa makan dengan kartu kantin yang jarang sekali saya gunakan.



Jumat, 18 Oktober 2013

Day 1810.2013: Cantik Malah Jelek

Pulang makan di warung muslim, aku dan temanku berhenti di depan sebuah toko pernak pernik. Tanpa aba-aba kami memutuskan untuk masuk. Eveline hanya melihat-lihat bagian pintu, aku juga demikian. Aku sama sekali tak berniat membeli. Tapi mataku terlanjur bertumpu pada stiker keyboard yang terpajang indah di sana.

Kulirik satu persatu tanpa minat, kenyataannya aku malah jatuh cinta pada dua motif yang menurutku sangat cantik bila menyentuh keyboard Kuroi. Warnanya perpaduan tosca dan ungu. Semua keyboard hurufnya ungu, dan yang lainnya tosca. Oh, benar-benar yang aku inginkan. Hurufnya juga bentuk Comic San. Tidak monoton sedikit pun. Kuputuskan untuk membeli. Harganya cuma 7 yuan, seharga 14 ribu. Sementara di Banda Aceh harganya di atas 15 ribu. Aku pikir... Cukup murah!

Ketika aku kembali ke kamar, aku langsung membuka laptopku dan memasangnya di sana. Sayangnya, apa yang aku  harapkan terjadinya kebalik. Kuroi bukannya cantik. Tapi malah jadi jelek.

Empat keypad tidak ada stikernya, belum lagi beberapa keypad harus menerima bagian terkecil. Pokonya jelek sekali hasilnya. Aku jadi berpikir sedikit menyesal membeli keypad ini. Hiks..

Day 1810.2013: Residence Permit-ku Sudah Selesai

Selasa sore, aku diberi kamar oleh Man, mahasiswa S3 di CUC yang juga sedang menjalani kelas bahasa sebelum memulai kuliah tahun depan. Dia berasal dari Thailand, orangnya asyik dan humoris. Ia suka memanggilku Unta karena kemiripan nama dengan Ulfa. Sungguh panggilan yang menyebalkan.

"Unta, residence permit-ku sudah selesai. Aku sudah mengambilnya kemarin." Katanya riang dalam bahasa Inggris.

Aku menatapnya saja sambil pura-pura iri.

“Aku belum selesai. Enak ya kamu, bisa langsung jalan-jalan." Kataku. Padahal dengan temperatur begini mau jalan-jalan kemana? Sepertinya keliling Beijing pun sudah teler setengah mati.

"Aku bisa pulang ke Thailand semester depan.” Katanya lagi. Girang sekali. "Jangan lupa. You have bribe with me" Dia mengingatkan.

Bribe? Sogokan.

Ah ya..

Aku punya janji memasak masakan Indonesia untuk dia. Sejauh ini aku belum punya ide untuk memasak sesuatu yang simpel dan enak serta bahannya mudah dicari di Beijing. Aku hanya berjanji. Tentu saja, dia juga punya janji untuk masak Tom Yam Kung untukku.

“Ulfa, pergi ke office dan tanyakan pada miss Anqi. Kapan paspormu selesai. Kupikir punyamu pun sudah selesai" Katanya.

"Belum. Kamu lebih dulu menyerahkan berkas ke office. Aku seminggu atau dua minggu sesudah kamu mengantarnya ke office"

"Jadi kapan kau mengurusinya?"

"Hari kamu menyuruhku ke office untuk membuat residence permit"

Dia mengernyitkan kening, kulit putih mulusnya kentara dengan baju tebal biru dongker. Sambil gemetar kedinginan dia berkata, "Me? Said to you?"

Aku mengangguk, "You said... Ulfa, today.. go to office and give your document to miss Anqi" Aku mengulang perkataannnya di pertengahan September silam.

Dia sepertinya tidak ingat.

"Ayo... Kita pergi ke office sekarang dan menanyakan paspormu. Kalau lama-lama di sana bisa hilang, Ulfa" Ia memaksaku untuk pergi.

"Tapi miss Anqi bilang aku akan menerima sms darinya bila residence permit-nya selesai" Aku masih menolak. Office itu letaknya dekat pintu selatan, siapa yang mau dengan suasana dingin begini kesana hanya untuk bertanya. Bertanya!

"Ayolah... Tanyakan saja, Ulfa"

Aku berkilah dengan alasan lainnya. Akhirnya dia memang menerima alasanku. Dia mengantarku ke gedung International Center。 Dia bilang padaku dia punya teman di lantai sepuluh, ia juga menunjukkan kartu pustaka padaku. Sebuah kartu yang menurutku produk gagal meskipun bentuknya bagus.

Fotonya jelek sekali. Berulang kali ia menutup foto wajahnya dari paksaan tanganku. Aku kembali ke kamarku dan dia menjumpai temannya di lantai 10. Aku tidakk tahu siapa, kurasa ia adalah seseorang yang berasal dari Thailand juga.

Begitu aku merebahkan badan di atas spring bed empuk berlapis sprei putih khas hotel dan selimut putih, ponselku berdering. Sebuah SMS masuk dengan nama SIE CUC. SMS itu berisi: Your passport is ready for pick up from office. Anqi (中国传媒大学).

Residence Permitku juga sudah selesai. Rasanya aku senang sekali. Aku mengirim sms pada temanku. Kukatakan padanya aku baru mendapat sms dari office untuk mengambil pasport-ku. Dia mengatakan padaku agar segera mengambilnya.

Aku memutuskan mengambil besok. Kupikir kalau mengambil sekarang tentu saja aku sangat lelah. Namun keesokan harinya juga aku lelah. Tidak sanggup mengambilnya.

Aku baru sempat mengambil pada hari Jumat sore. Miss Anqi memberikannya padaku dengan senang hati. Passport-ku, satu-satunya milik mahasiswa Indonesia yang terdaftar sebagai mahasiswa berstatus beasiswa. Aku tidak tahu harus malu atau bangga dengan status itu.

Setiap tahunnya aku akan memperpanjang residence permit. Begitupun dengan mahasiswa atau pekerja yang menetap diri uar negeri. Ini mungkin sejenis pajak tinggal baru orang asing di negara yang bukan negaranya sendiri. Residence permit akan memperjelas status kita sebagai warga negara asing yang menetap dengan status sah di negeri tersebut.

Bayangkan jika kita hanya mengurus visa tanpa residence permit. Sementara kita akan menetap dalam jangka waktu lama. Aku rasa negara manapun tak akan segan-segan mempulangkan si pemegang paspor ke negara asalnya.

Residence Permit saya akan habis masa berlakunya pada tanggal 17 September 2014, artinya saya harus segera memperpanjang sebelum tanggal tersebut. Setidaknya, saya harus menabung sebesar 1 juta lebih dalam rupiah untuk membayar izin tinggal di negara tirai bambu ini.

Kamis, 17 Oktober 2013

Day 1710.2013: Demam

Aku terbangun dengan mata yang masih berat. Mengantuk. Perutku terus saja berkeriuk, bukan minta makan, tapi berulang kali mengeluarkan apa yang sudah kuisi di dalamnya. Kurasa aku memang butuh sesuatu yang bisa menahannya untuk terus mengeluarkan sesuatu.

Badanku juga hangat. Kepalaku nyut-nyutan. Aku tahu ini gejala sakit. Seperti biasanya, jika sudah terlalu dingin, maka kepalaku seperti dihantam ribuan ton paku. Menusuk sekali. Dan lagi... Mungkin langganan setiap lebaran. Mengingat setiap kali lebaran aku selalu sakit.

Di sini, di Beijing, aku melewati lebaran di ruang kelas. Hari ini aku mengikuti semua pelajaran dengan dictation, aku tidak bisa mengerjakan setiap kalimat dengan benar. Aku lupa. Aku tidak bisa mengingat hanzi meskipun bisa membaca dan mengetahuinya. Banyak karakter yang aku tak paham. Kupikir, aku harus mulai belajar mulai hari ini. Membuat kalimat dan menyelesaikan semua PR yang menumpuk.

Sayangnya..

Itupun aku tak sanggup kerjakan. Aku baru menyelesaikan satu bab saja, melanjutkan tugas yang aku kerjakan di kelas tadi. Bukannya selesai. Aku tertidur pulas hingga magrib. Ketika bangun badanku tambah tidak nyaman.

Kondisi seperti ini tentu tidak mungkin aku kabarkan pada orang tuaku. Hanya teman yang bisa memberitahu aku solusi apa yang bisa aku tempuh. Ya, seperti yang juga akan orang sarankan, "Pergi ke rumah sakit。”

Bedanya, temanku ini lebih rinci karena kami sama-sama mahasiswa beasiswa dari pemerintahan. "Pergi ke klinik kampus di dekat gerbang utara, kemudian ambil resep dan minta stempelnya.. Lalu bawa resep dengan stempel dan struk pembayaran ke kantor. Berikan pada miss Anqi. Ia akan menggantikan uang yang kamu keluarkan."

Aku cuma berterimakasih saja padanya. Aku sendiri ragu, apakah orang-orang di sana bisa berbahasa Inggris? Jika bisa, aku pikir ini jauh lebih baik. Jika tidak bagaimana aku bisa mengeluh sakitku pada mereka?

Mungkin aku akan pergi dengan Eveline dan meminta bantuannya untuk menterjemahkan untukku. Itu jauh lebih baik daripada menunggu di kamar menunggu keajaiban. Belum lagi jika aku sampai tidak mempan minum obat Indonesia. Aku membawa satu lempeng paracetamol dari Indonesia, beberapa butr entrostop, dan enervon C. Semuanya sudah aku siapkan untuk penghadang sakit di sini. Ternyata banyak yang mengatakan justru tidak cukup.


Selasa, 15 Oktober 2013

Day 1610.2013: Beijing 1 Derajat Celcius

Aku terbangun ketika melihat semburat cahaya terang melalui jendela kamarku. Layar biru dengan motif abstrak agak putih menutup cahaya terang di luar sana. Mataku langsung membelalak lebar begitu sadar hari ini aku tidak libur lagi. Kemarin dua orang dosen yang masuk memang memberiku izin tidak masuk karena merayakan idul Adha. Tapi sekarang aku masuk kuliah seperti biasa.

Aku langsung ke kamar mandi, menyalakan air keran wastafel dan kembali ke kamar untuk memanaskan air di teko listrik. Aku menyalakan air di keran untuk mendapatkan air panas dan membuang air kotor sisa tabung. Begitu saran temanku. Sembari menunggu air kotor terbuang, kusiapkan pakaian untuk ke kampus.Kurapikan tempat tidur, meskipun pelayan kamar akan dengan setia dan rapi merapikan tempat tidur dan kamarku.

Bagiku mereka adalah manusia. Sekalipun itu tugasnya, aku tidak boleh membiarkan orang-orang itu melakukan hal yang lebih berat di kamarku.  Sebisa mungkin aku merapikan tempat tidurku sendiri. Ayi-ayi itu cukup menyapu kamar, mengelap meja, membuka jendela dan membersihkan lantai kamar mandi, wastafel serta closet saja. Hal yang tidak bisa kulakukan karena keterbatasan peralatan.

Aku masih menggunakan gayung dan mengambil air yang aku tampung di wastafel. Meskipun di kamar mandiku tersedia shower untuk mandi. Aku malas menggunakannya. Bagiku terlalu lama mandi menggunakan shower.

Aku belum keluar dari kamar, tapi aku menebak di luar sangat dingin. Malam kemarin temperaturnya sudah 4 derajat celcius, bukan berarti hari ini tidak mungkin sedikit lebih tinggi atau rendah.

Namun setelah mandi, berpakaian dan keluar dari kamar. Udara sejuk langsung menusuk ke dalam tulang. Dingin sekali.

Begitu keluar dari gedung International Center Building, dinginnya begitu menusuk dan membuat kering. Kering sekali. Bibirku yang tak kuoleskan pelembab langsung mengeras dan terluka. Kupercepat langkahku sampai ke lantai empat gedung kuliah. Kecepatan langkah dan tenaga yang kugunakan untuk naik tangga justru tidak membuat badanku sedikit menghangat. Aku justru kedinginan dan sesak napas.

Di kelas hanya beberapa orang hadir. Kebanyakan dari mereka terlambat bangun atau memilih masuk di jam kedua karena cuaca dingin. Aku sebaliknya, lebih baik terlambat dan masuk kelas pada jam pertama daripada ketinggalan satu jam pelajaran. Tentunya aku tidak paham lagi apa yang diajarkan sebelumnya.

Aku memakai tiga lapis pakaian. Satu lapis pakaian long john, sejenis kaos lengan panjang yang ngepress di tubuh tapi hangat. Satu lapis jaket tebal dengan bagian dalam bulu-bulu dan selapis lagi luaran seperti mantel tapi mirip jaket dan modis seperti blazer. Tebal dan hangat. Itu pun belum membantu untuk membuat aku menjadi lebih hangat.

Di kelas juga masih dingin. Sepertinya pihak kampus juga belum berniat memasang menyalakan penghangat sentral di dalam kelas. Aku pikir hanya aku yang merasakan dingin ini. Maklum, di Indonesia tidak ada musim dingin apalagi salju. Tidak hanya itu, Banda Aceh kota yang sangat panas. Sedingin-dinginnya Banda Aceh temparaturnya 21 derajat. Sekarang, hari ini, detik aku menulis catatan ini, matahari bersinar terang. Tapi temperaturnya hanya 1 derajat.

Dinginnya menusuk.

Aku tidak tahan dingin. Di Takengon, Aceh Tengah, rasanya aku terkapar tidak bangun-bangun lagi ketika malam tiba. Di Beijing aku tidak boleh terkapar.

Di kamar saja aku memakai sandal tebal bulu-bulu denga kaos kaki tebal dan jaket lengkap. Aku memanaskan air berulang kali untuk menghangatkan tubuh.

Untunglah temanku sedikit cerewet mengingatkan. Dia terus mendesakku untuk beli jaket tebal, baju dingin, perlangkapan musim dingin lainnya. Sebenarnya aku ingin beli pas musim dingin tiba. Katanya harga lebih miring dan bisa dibanting sesuai dengan keinginan pembeli.

"Siapa yang mau jualan musim dingin, buk?!" Dia akan berkata seperti itu dengan intonasi tinggi dan sedikit menyebalkan.

Finally...

Apa yang dia katakan benar. Apa yang teman-temanku yang lain bilang bukan tidak benar. Mereka juga benar. Namun berbeda kondisi daerah, sehingga mengeluarkan duit lebih mahal itu sedikit bukan masalah.

Sampai hari ini aku belum memiliki perlengkapan yang lengkap untuk musim dingin. Aku hanya memiliki satu jaket musim dingin untuk luaran. Aku beli di mall dengan harga diskon. 300 ribu bila langsung dirupiahkan. Saat pulang makan malam, aku mengajak temanku untuk melihat-lihat pasar malam. Kenyataannya aku mendapatkan satu baju musim dingin panjang warna putih dengan harga 50 yuan. 100 ribu rupiah. Aku tidak tahu kenapa semurah itu. Yang penting aku sudah punya dua.

Aku sendiri tidak yakin itu bisa menjagaku sampai temperatur minus 20 derajat. Namun temanku berrpesan agar aku membeli produk Uniqlo yang harganya memang nyaris 1 juta bahkan lebih 1 juta bila dirupiahkan. Tapi itu sudah cukup bagus dan melindungi tubuh dari dingin. Sayangnya aku belum bisa memiliki merek yang mahal itu. Kupikir, sebaiknya aku beli tahun depan atau saat obral besar-besaran saja nanti.

Temanku memberi saran, "Kurusin dulu body kamu, terus ntar setelah kurus ablek lagi ke mall dan beli ukuran anak-anak. Lagian kan tinggi kamu tingginya anak-anak. Bukan dewasa."

Awalnya sebal dikatai begitu.

Setelah aku pikir iya juga ya.
Untuk ukuran sudah oke. Pas panjangnya, pas besarnya. Hanya menderita di bagian perut saja. Kupikir, jika musim gugur sampai awal musim dingin berhasil menurunkan berat badan. Aku bisa membeli satu yang bermerek. Aku sudah mengincar warna putih atau biru muda. Bagus sekali.

Terkadang aku berpikir juga. Kenapa beasiswa tidak mencakup perlengkapan musim dingin sekaligus. Bukankah itu masuk ke bagian kesehatan?

Setelah aku hitung-hitung, perlengkapan musim dingin saja, bukan merek terkenal, butuh duit lebih kurang 3000 yuan. Lebih kurang 6 juta dalam rupiah. Ck ck ck!

Day 1510.2013: Seseorang di Depan Pintu

Aku dan Eveline tengah bercerita sambil tertawa keras di kamar. Jam sudah menunjukkan waktu Isya. Sambil mengobok-obok google dan mencari tahu cara menelepon murah dari Beijing ke Indonesia, aku ikut tertawa. Sebenarnya aku tidak konsentrasi mendengarkan ceritanya. Ia bercerita tentang temannya yang setengah mati naksir cowok yang lebih muda tiga tahun darinya.

Aku tidak menyadari ada sebuah pesan chat masuk. Dari sahabatku yang berwarga negara Thailand. Dia berkata padaku sudah mendaftarkan diri di Shufa (chinese calligraphy) class. Besok ia akan dikonfirmasi lagi untuk kuota kelas. Apakah masih tersedia atau belum. Ia sangat girang, terlihat dari cara dia memanggilku, "Unta, I already regis, but I have to wait, laoshi will tell me tomorrow the class full or not".

Dia mengabariku sudah mendaftar.

Aku hanya mengatakan sangat berharap kalau kelasnya tidak penuh dan dia bisa bergabung bersamaku untuk hadir di kelas chinese calligraphy. Apalagi ini kelasnya gratis. Hanya lima kali pertemuan, kemudian kami bisa belajar baik di sini. Tempatnya memang jauh, tapi kupikir tidak terlalu jauh untuk mencari ilmu. Kami menggunakan ditie (subway) yang kecepatannya melebihi rata-rata. Mungkin setiap Rabu kami hanya butuh waktu ekstra saja untuk mengejar waktu ke Line 13 dan mengganti zhan (stasiun) berulang kali. Lalu berdesakan saat jam pulang kerja.

Saat tengah membalas chat dengan teman Thailand saya, tiga kali ketukan terdengar pelan di pintu.

"Siapa itu?" Tanya Eveline, teman Indonesia saya.

"Paling Clara. Katanya dia mau datang kemari sepulang kuliah" Kataku sambil bangkit dari meja rias dan berjalan ke pintu. Kepala saya dibungkus dengan syal rajutan warna abu-abu hasil karya teman saya di Banda Aceh. Namanya Iza.

Aku membuka pintu. Tidak ada orang di depan kamar. Seperti biasanya, teman-teman Indonesia  punya kebiasaan setelah mengetuk pintu kemudian bersembunyi merapat di dinding untuk mengangetkanku. Sejenis permainan cilukba dengan batita.

Tapi sosok yang aku lihat bukanlah Clara, gadis 17 tahun dengan kacamata setebal minus tujuh. Dia seorang lelaki tinggi bertubuh atletis dengan wajah rupawan. Aku terkejut. Aku tidak mengenalnya.

"I'm Sorry.." Katanya. "Aku mencari kamar Anna. Ternyata saya salah"

"Kamarnya di samping kamar saya" Aku menunjuk kamar no A407, bersebelahan dengan kamarku. Sementara aku di kamar A409.

"Ya, terimakasih. Apakah kamu melihat dia hari ini? Aku tidak bisa menghubunginya" Si cowok berkata.

"Ya, aku juga tidak bisa menghubunginya. Dia teman sekelas saya. Sudah 4 hari dia tidak masuk. Saya pikir dia tidak enak badan atau bagaimana. Apakah kamu datang dari Rusia untuk menjenguk Anna?" Tanyaku polos. Padahal jelas-jelas kalau wajahnya bukan bule. Tapi penduduk lokal.

"Bukan. Saya datang dari Harbin." Dia menjelaskan asalnya. Saya sudah tahu, namun tidak mungkin saya langsung bertanya siapa kamu pada lelaki yang belum saya kenal sama sekali. 

"Kamu teman baik Anna? Aku tidak bisa menghubungi Anna. Sudah beberapa hari ini. Aku juga tidak punya nomor roomate-nya"

"Oh, Tuhan. Bagaimana ini?" Tanya lelaki itu seperti pada diri sendiri.

"Apa terjadi sesuatu pada Anna? Kamu tampak cemas sekali. Kamu sahabatnya?" Aku bertanya lagi.

"Bukan. Aku pacarnya"

Jreng!!

Beruntung sekali Anna mendapat pacar setampan ini. Kelihatannya juga mapan. Setidaknya begitu komentar temanku ketika keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sebenarnya ini kebiasaan buruk, berbicara dengan bahasa Indonesia di depan 'korban'. Kalau ngomongnya bagus oke, ini seringkali kami mengomentari hal buruk tentangnya.

Lelaki itu bertanya namaku, kusebut nama Inggrisku, hasil ramah tamah di meja makan. Olivia. Dia tampak mudah mengucapkannya. Dibandingkan dengan nama Indonesia saya yang cukup sulit bagi penduduk lokal. 

Dia memperkanalkan namanya padaku. Namanya Yang, pacar Anna. Datang dari Harbin, tinggal di Beijing. Bekerja di sebuah perusahaan. Aku tidak berani bertanya umurnya berapa. Dia mencari Anna karena mendadak tidak ada kabar dan sulit ditemui.

Empat hari lalu dia berkunjung ke Harbin, ke rumah Yang. Dia menginap di sana. Keesokan harinya tidak mungkin ia bisa kembali dan masuk kelas. Ketika kukatakan Anna tidak masuk beberappa hari ia tampak semakin cemas.

Aku bisa melihat rasa bersalah begitu dalam, kecemasan dan perasaan sayang Yang pada Anna. Dia memintaku untuk menolongnya. Menghubungi Aiya. Teman sekelasku juga. Aku tidak punya nomornya. Kuberanikan menghubungi laoshi, wali kelasku. Aku menelepon di depannya.

"Laoshi, ni you Aiya de shouji hao ma ma?" Tanyaku ragu-ragu. Apakah benar bahasa mandarinnya seperti itu? Laoshi, apakah Anda punya nomor telepon Aiya?

"You, wei shenme?" Ternyata laoshi mengerti pertanyaanku. Dia menjawab, punya. 

"Ni gei wo, keyi ma?" Kali ini aku meminta.

"Keyi. Deng yi xia"

Boleh. Tunggu sebentar.

Dalam hitungan menit laoshi sudah mengirimkan aku nomor ponsel Aiya. Aku menelepon Aiya. Tapi nomornya tidak aktif. Aku juga tidak punya nomor telepon Bilal yang dekat dengan Aiya. Akhirnya aku hanya mencatat nomor Aiya pada secarik kertas dan memberikan pada Yang.

Selebihnya aku tetap duduk di kamar dan melanjutkan online. 

Ketika Eveline kembali ke kamarnya, dan aku sendiri. Kuputuskan untuk menulis sesuatu di blog. Aku juga berniat untuk membuat sebuah artikel tentang lebaran di negeri ini. Saat itu, pintu kamarku diketuk lagi.

"Maaf, aku mengganggu. Aku belum bisa menemukan Anna. Bisakah kamu menolongku? Jika nanti Anna kembali atau kamu sudah bisa menghubungi Aiya. Bisakah kamu mengabarkan aku?" Mohonnya dengan wajah cemas.

"Tentu" Kataku.

"Berikan aku kertas dan pulpen. Aku bisa menuliskannya untukmu"

Kuambil selembar post it dan pulpen. Saat dia menulis nomor ponselnya, tangannya bergetar. Wajahnya yang putih terlihat pucat. Baru pertama kalinya aku melihat cowok bergetar saat khawatir pada kekasihnya. Apalagi ini kisah cinta dua orang asing yang berbeda budaya dan bahasa. Anna tidak bisa berbahasa mandarin, bahasa yang mempersatukan mereka adalah bahasa Inggris.

Beberapa waktu lalu, Anna mengajak saya untuk ke supermarket. Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal. Bertukar bahasa dan sesekali mempraktekkan bahasa mandarin. Dia bukan saja cantik. Dia juga menarik.

Di negerinya dia sedang menyelesaikan kuliah S1-nya di pendidikan bahasa Inggris. Dia ke Beijing untuk belajar bahasa mandarin sembari menunggu waktu wisuda. Dia katakan padaku, dia bisa mengajari berbahasa Inggris lebih baik jika aku mau.

Iseng aku bertanya padanya, "Kenapa kamu memilih kampus CUC untuk belajar bahasa?"

Dia menjawab, "Karena CUC biayanya paling murah untuk belajar bahasa."

Kutanya lagi karena penasaran. "Kenapa kamu tidak memilih kampus lain seperti Sun Yat Sen di Guangzhou, Xiamen University atau di daerah lain?". Menurutku kampus-kampus yang kusebut itu punya kredibilitas tinggi di mata orang asing. Aku sudah pernah ke Xiamen University dan aku tahu di sana sangat bagus untuk belajar bahasa. Karena di sana adalah andalannya.

"Aku hanya tahu Beijing" Dia tertawa kecil.

Perbincangan berlanjut dari kuliah ke negara masing-masing. Dia tidak tinggal di Moskow, dia tinggal di kota nomor dua terbesar di Rusia. Dia tahu Indonesia. Dia juga tahu Aceh, negeri yang dihantam tsunami pada tahun 2004 silam.

"Kapan kamu kembali ke Rusia?" Tanyaku.

"Januari"

"Kamu kembali lagi kemari? Ke Beijing?"

"I hope so"

Aku langsung menebak, dia hanya mengambil kelas bahasa selama enam bulan. Sama seperti Eveline. Tapi kupikir, sayang sekali jika mengambil bahasa hanya enam bulan jika tidak punya basic sama sekali.

"Jika hubunganku dengan pacarku baik-baik saja. Aku akan kembali. JIka tidak, aku tidak akan kembali. Kita lihat ke depan bagaimana"

Dia tertawa.

Waktu itu, aku sama sekali tidak memahami maksudnya. Aku pikir pacarnya di Rusia. Ternyata pacarnya adalah lelaki tampan yang mengetuk pintu kamarku.

Senin, 14 Oktober 2013

Day 1410.2013: Saya Juga Indonesia

Selasa sore dengan tentengan barang yang cukup banyak aku berdesakan dengan penumpang lain di subway. Berulang kali aku melirik map light yang menandakan perjalanan yang sedang berlangsung. Suara bising, aroma tubuh tak sedap, semua bersatu dalam suasana yang tidak menyenangkan.

Saya melirik Eveline yang berdiri tak jauh dari saya. Di sekelilingnya bapak-bapak dengan seragam kerja rapi.

"Line, berapa zhan kita ke Sihui?" Tanyaku. zhan (stasiun) yang kami tempuh nantinya tempat berganti ditie (subway).

"Sepuluh"

“Hah?! Serius?" Tanyaku tak percaya.

"Iya"

Aku pun melirik ke arah map yang lampunya berubah dari hijau ke merah setiap meninggalkan stasiun sebelumnya. Stasiun yang akan dituju berkedap kedip. Ternyata benar, kami harus melewati 10 zhan lagi. Belum lagi di zhan kesepuluh kami harus mengganti line ke zhan lain. Jaraknya pun tidak dekat. Aku mulai gusar karena terlalu ramai orang.

Aku tidak bisa berada di tempat yang ramai. Aku pusing, mual dan bisa jatuh pingsan. Apalagi di subway ini, memasuki musim dingin orang-orang lokal tidak pernah mandi. Baunya terkadang menguras isi perut sampai keluar.

Seorang bapak memperhatikan aku. Hal seperti ini sudah biasa buatku. Kemana saja aku pergi akan menjadi pusat perhatian. Dilihat lama-lama, dibicarakan dan ditanya-tanya. Apalagi kalau aku sudah bicara dalam bahasa Indonesia dengan teman-temanku. Perhatian lebih tertuju kepadaku karena aku berjilbab, kulit gelap tapi mata sedikit sipit (kata orang-orang, sih). Berbeda dengan temanku yang etnis keturunan Tionghoa.

"Dia orang mana?" Tanya si bapak pada temanku.

"Orang Indonesia" Temanku cuek menjawab.

"Orang Indonesia cantik-cantik ya.." Si bapak berkomentar. Aku hanya tersenyum. Aku ingin punya kulit seperti mereka. Putih, mulus, bening. Tapi mereka malah bilang aku cantik.

Di Indonesia tidak ada yang bilang aku cantik. Mereka malah mengatakan aku cantik. Ini bukan untuk pertama kalinya. Aku sendiri tidak tahu apa yang membuat mereka mengatakan ccantik. Temanku, Jufrizal, mahasiswa master di Nanchang University mengatakan  kalau dia juga disukai oleh penduduk lokal karena dianggap tampan.

Aku tertawa mendengarnya. Bukan maksud mengejek. Tapi karena nasib kami sama di perantauan.

Aku dan temanku di greatwall


Eveline hanya tersenyum, mengangguk-angguk dan menikmati lagi perjalanan kami yang masih berjarak beberapa kilometer.

"Kamu orang mana?" Si bapak bertanya lagi pada Eveline.

”Indonesia juga" Dia masih cuek.

Si bapak terbengong dan hanya mengatakan, "Owh!" lalu beraling ke arah lain.

Eveline, temanku, memang lebih terlihat seperti penduduk lokal daripada orang Indonesia. Keuntungan bagi dia adalah selalu diberi harga murah ketika berbelanja. Itu karena dia dianggap orang asli dan menemani turis. Kerugiannya, menurut pengakuan Eveline sendiri, bila dia ingin bekerja di sini itu akan sulit sekali. Ia tidak tampak seperti orang asing.

Selasa, 01 Oktober 2013

Bunga di Chaoshi



Usai makan malam di shitang (kantin) yang letaknya di lantai dua chaoshi (supermarket). Aku dan temanku dari Indonesia berjalan ke chaoshi. Berharap kami bisa membeli sesuatu di sini dengan budget yang ada di kantong. Siang itu aku tidak membawa uang sepeser pun. Berharap temanku membayar utangnya sebesar 34 yuan. Yach… Setara lah dengan 68 ribu rupiah. Untungnya dia memang melunasi hutangnya hari itu juga.

Tentu saja dengan rasa percaya diri tinggi aku masuk ke chaoshi dan membeli sebungkus besar kuaci dengan harga 7 yuan. Kupeluk erat-erat kuaci itu, seakan bila lengah sedikit akan ada orang yang tidak bertanggung jawab mencuri dariku.

Aha!

Aku harus menunggu temanku di luar kasir. Di depan penjual pulsa dan bunga. Mataku menangkap sederetan bunga segar yang dipajang indah di dekat lemari. Banyak orang yang membeli bunga tersebut. Kupikir itu palsu. Aku beranikan untuk diam-diam menyentuh.

Alamak!

Ini bunga asli, jeng!

Tanpa sepengetahuan penjual, aku menjepret bunga tersebut dan menyimpan di memori ponselku. Ketika temanku datang, dia heran melihatku berdiri serius di sana.

“Lu mau beli bunga?” Tanyanya

“Bukan. Ngelihat aja. Bagus banget bunganya. Aku pikir asli. Ternyata asli.”

“Iya. Di sini mana mau orang pakai yang palsu”

“Aku pegang lho”

“Masa?”

“Iya. Diam-diam”

“Gila lo! Kalau si laoban tau lo bisa digebuk kali. Yach… Ini anak aneh banget sih”

Aku tertawa. Dasar aneh! Sebodoh-bodohnya aku cari kondisi aman dong.

“Pas si laoban nggak lihat aku pegang. Makanya aku tau kalau itu bunga asli atau nggak. Nih, aku foto” Aku pamer foto bunga itu kepada temanku.

“Bagus banget. Gilaaa!!”

Tuh kan. Bagus aja dibilang gila. Gimana kalau nggak bagus.

Sabtu, 14 September 2013

Wellcome in Beijing

"Beijing?! Wow!!" Itu yang orang ekspresikan ketika kukatakan aku akan melanjutkan study master di Beijing tahun ini hingga tahun 2017. Atau ada yang lebih miris dalam mengungkapkan, "Nggak salah tuh?! Tingkat di Jakarta aja ngeri banget, nggak cocok lah buat kita. apalagi Beijing. Komunis, susah makan muslim, kamu perempuan lho. Memangnya bahasa bisa?"

Cuek!

Itu yang harusnya aku lakukan begitu kalimat-kalimat pengurang semangat itu muncul. Ya, namanya perjuangan, tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalaupun aku harus pergi ke Beijing dan melanjutkan study, tentu aku tahu apa yang harus aku lakukan tanpa mengabaikan diriku sendiri.

Awalnya berat, itu pasti!

Semakin dekat waktu keberangkatan, semakin besar pula keinginan tidak pergi. Kata orang memang sudah begitu. Untungnya ayah dan mamak memaksa untuk bertahan dan keduanya menahan air mata ketika aku pergi. Itu jauh lebih berat. Melihat ketegaran mereka, justru aku semakin tidak ingin meninggalkan tempat ini. Benar-benar membuat dada sesak.

Kenyataan setelah aku tiba di Beijing sama seperti ketika aku tiba pertama kali di Banda Aceh.

Jumat, 17 Mei 2013

Day 1905.2013: Buku Catatan Ayahcek

Cover buku catatan jaman dulu

Saat aku membersihkan rak buku di rumah, tidak sengaja aku menemukan sebuah buku catatan yang lama. Sebuah buku tipis dengan cover bergambar burung seperti gambar di atas. Di halaman muka tertulis nama pemiliknya dengan tulisan arab, jika dibaca dalam huruf latin, bacanya MUHAMMAD MASYKUR ABDULLAH. Itu nama paman saya.

Iseng saya membuka halaman demi halaman buku. Tulisannya sangat rapi dan model tegak bersambung. Buku ini berupa catatan kesusastraan.

Tulisan 1

Tulisan 2

Tulisan 3

Nah, setelah melihat tulisan itu saya jadi terpikir untuk membuat buku harian dengan tulisan tangan tegak bersambung.

Rabu, 08 Mei 2013

Ultrabook Terbaru


Tiba-tiba saja kuroi, laptopku yang berwarna hitam padam. Dia adalah sahabat terbaik selama beberapa tahun belakangan. Selain jasanya cukup besar untuk menyelesaikan study-ku, dia juga setia menemaniku bekerja mengejar deadline. Nah, tanpa dia rasanya hidup seperti melayang entah kemana.

Berhari-hari aku duduk termenung dengan air mata berlinang. Rasa kehilangan begitu nyata kini. Ada sedikit penyesalan mengapa tidak menjaga kuroi sampai dia menutup mata. Tapi kehilangan itu hanya sebentar, tidak sampai hitungan bulan. Temanku yang bekerja di salah satu toko computer di Banda Aceh mengatakan padaku, “Sekarang jaman Samsung, neng! Udah saatnya pakai Samsung”.

Aku terhenyak. Oh ya..?

Selama ini aku tahu sekali kalau produk dari Samsung memang bagus. Mulai dari ponsel, printer dan beberapa peralatan elektroniknya. Ya, sama seperti Jerman, Korea tiga main-main dalam menciptakan teknologi. Dan hari itu pula aku punya keinginan untuk memiliki laptop Ultrabook Samsung terbaru.

Tampilan yang aku lihat di pameran komputer

Aku kirim sms untuk temanku yang bekerja di toko computer, ‘Guy, gimana soal laptop yang kemarin itu? Aku tertarik.’ Begitu sms-ku. Dua jam kemudian ia membalas, ‘Ntar aku bawain brosur. Hari ini pameran. Agak sibuk aku’.

Tapi yang namanya rasa penasaran memang mengalahkan kesabaran. Aku tak menunggu waktu lagi. Aku juga baru tahu kalau ada pameran hari ini. Jarak antara pameran computer dari rumah tak jauh. Bisa ditempuh berjalan kaki selama lima menit. Segera aku keluar rumah dan menuju ke lokasi pameran.

Samsung merekomendasikan Windows 8 untuk Ultrabook

Dan.. wow!

Ultrabook terbaru keluaran Samsung ternyata lebih wow dari yang aku bayangkan. Baru melihat bentuknya saja aku sudah tertarik. Apalagi jika aku memilikinya.

Sejauh ini Samsung merekomendasikan Windows 8 (64 bit). Tampilan Windows 8 keren dan banyak yang mengatakan sangat mudah dalam penggunaannya. Temanku ada yang laptopnya menggunakan program Windows 8 dan aku suka mengutak atik karena tampilannya bagus. Seperti tampilan HP berfitur tinggi jaman sekarang. Namun ini bukan HP, tentunya semakin keren dan canggih.


Ultrabook terbaru mempunya prosessor core i5, 3337U dengan penyimpanan data sebesar 500 GB. Cameranya saja 1,3 megapixel. Nah, yang menarik dari ultrabook terbaru untuk saya yang tak terlalu memahami dunia computer adalah karena ultrabook ini ultra slim & light. Baterainya juga lebih tahan lama.

Waktu itu teman saya memberikan selembar brosur yang isinya sama seperti link berikut ini:

Nah, setelah membaca ini aku tambah tertarik untuk memiliki ultrabook terbaru dari Samsung. Ya, Samsung memang tidak hanya menawarkan merek dan kejayaan. Tapi Samsung juga menawarkan kualitas bersaing di level international. Ultrabook terbaru ini salah satu contohnya.

Warnanya menarik untuk semua kalangan.

Bagiku memiliki ultrabook terbaru dalam waktu dekat merupakan anugerah terindah yang pernah aku miliki. Bukan karena mengikuti trend, tapi karena kualitas dan fitur yang ditawarkan oleh   Samsung melalui ultrabook terbaru memang pantas diacungkan jempol. Ultrabook, Samsung, aku ingin melihatnya segera sebagai daftar gadget-ku.
Ini dia ultrabook idamanku.


Day 0805.2013: Lebah di Atas Dahan Kelapa

Seperti biasanya, saya pulang dari kantor jika tidak naik labi-labi (sejenis angkutan umum) pasti dijemput oleh nan pengyou. Saya turun di depan mesjid, kemudian berjalan kaki melewati kuburan di samping mesjid hingga ke rumah. Kadang kala saya di antar sampai rumah.

Hari ini saya berjalan kaki. Ketika melewati mesjid, mata saya tertuju pada sesuatu yang menggantung warna coklat dan terlihat seperti mozaik yang hidup di atas pohon. Lama saya mengamati. Ah, ternyata itu kawanan lebah yang sedang mengumpulkan madu. Seketika saya mengambil ponsel di dalam tas dan mengabadikan rumah lebah itu.

Lebar rumah lebah


Sial!
Hasilnya nggak sebagus yang saya harapkan. Lebah itu hanya terlihat sepintas.

Ini bukan pertama kalinya saya melihat kawanan dan sarang lebah di dekat rumah kos. Tahun lalu, di samping rumah saya malah besarnya sebesar drum. Para lebah ini membuat sarang di atas pohon asam. Menurut pemilik pohon asam, lebah ini sudah bersarang selama satu tahun lebih di sana. Jika madunya diambil jumlahnya setengah drum. Terus dipanen dan tidak berpindah sedikit pun.

Bagaimana nasib lebah ini saya tidak tahu. Apakah akan menghasilkan madu seperti lebah di samping rumah atau akan berakhir dengan berpindah sarang ke tempat yang lebih aman.

Samar-samar terlihat warna coklat, itulah sarang lebah yang aku maksud

Minggu, 14 April 2013

Day 0804.2013: Notes Bambu

Begh!
Rasanya hidup seperti dimasukkan ke dalam kotak yang paling tidak menyenangkan ketika harus berada di rumah sakit. Begitulah yang saya rasakan saat menulis catatan ini. Saya nyaris muntah di ruangan yang dihuni oleh empat orang pasien ini.

Notes motif bambu yang saya bicarakan. Inilah dia!


Memang hari itu kamar Raudah, salah satu kamar di paviliun Dahlia Rumah Sakit Umum Datu Beru yang berlokasi di Takengon tidak begitu ramai. Hanya dihuni oleh dua orang. Ayah saya yang mengalami sakit post stroke dan seorang wanita beranak dua yang menderita tumor di bawah geraham.

Berbagai aktivitas pengusir jenuh saya lakukan sebelumnya. Mulai dari smsan, menelepon teman sampai bermain game telah saya lakukan. FB-an via HP juga. Tapi aktivitas ini hanya mengurangi daya tahan batre HP saya.  Sedangkan untuk satu malam ke depan, saya butuh batre HP ini untuk berkomunikasi.

Tidak ada buku yang bisa saya baca. Toko buku di kota ini jauh. Itupun koleksinya sedikit dan tak menarik. Rata-rata buku yang dijual di sana sudah saya miliki. Mendadak saja, tanpa terpikir sebelumnya, saya bergerak untuk membeli notes di koperasi.

Saya sadar, harga barang di koperasi rumah sakit sangat mahal. Langkah saya begitu ringan keluar dari ruang Raudah dengan uang 50 ribu. Satu-satunya lembaran yang tersisa di dalam dompet saat ini.

Ternyata koperasi tutup setelah lewat jam 12. Saya terpaksa keluar dari lingkungan rumah sakit dan menyebarang ke sebuah super market. Awalnya saya pikir super market ini hampir bangkrut, melihat begitu sedikit barang yang terpajang di di sana,

Tak ada buku tulis di sana. Hanya ada dua buah notes ukuran mungil, Harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga di Banda Aceh. Tapi saya tertarik dengan salah satu yang dipajang di sana. Motifnya belum perna saya temui di ibukota Nanggroe Aceh Darussalam itu.

Motif bambu. Ini menarik buat saya. Sampai saat saya menulis catatan ini, seperempat dari halaman notes sudah terisi.

Tulisan saya jelek jika sedang menulis di buku yang bagus. Hah!


Ah, hidup memang lebih simpel dengan berbagi. Menulis itu melegakan, menyembuhkan, menyibukkan.

^_^

Jumat, 15 Maret 2013

Dangao Ayi Niar


Dangao (baca: tankao), dalam bahasa mandarin berarti kue tart. Bisa berupa kue ulang tahun, blackforest atau makanan sejenisnya yang terlihat menarik dan tak sabar dijamah. Coba saja jika melewati toko bakery, tentu keinginan untuk memilikinya lebih besar daripada memakannya. Sekalipun sekedar untuk di pajang.


Minggu pagi, tanggal 24 Februari 2013, kelas bahasa mandarin di BKPBM berakhir. Hari ini semua siswa mengikuti ujian akhir berupa ujian tulis dan ujian praktek. Ujian tuliis terdiri dari ujian mengarang dan menulis karakter han. Sementara ujian praktek dilatih untuk bicara yang mempunyai dua nilai sekaligus, bicara dan mendengar.

Saat ujian praktek berlangsung, saya keluar dari ruang tempat saya biasa bersemedi dengan pekerjaan. Saya duduk di kelas bersama para siswa lain yang berwajah kaku. Tegang menghadapi ujian. Satu orang selesai, yang lainnya masuk. Mereka bergantian masuk ke ruang ‘semedi’ dan siap untuk mengikuti ujian.

Mata saya menangkap sebuah kotak besar dua warna. Putih dan pink. Saya dapat menebak, itu adalah kotak yang berisi kue. Saya penasaran apa isinya. Tapi saya tak berani untuk menanyakan pada mereka apa isinya. Biasanya, ayi Niar akan membawa dangao untuk semua teman-teman sekelas. Saya tentu saja kebagian walau Cuma sepotong.

Dangao ayi Niar lembut dan lezat. Rasanya pas. Jika biasanya kita menikmati kue tart yang membuat neg. Dangao ayi Niar tidak memberikan kesan seperti itu. Justru ayi niar membuat dangao yang sangat lezat.

Beberapa kali kami menanyakan bagaimana bisa ayi Niar membuat dangao yang begitu lezat. Ia hanya tersenyum. Sekelipun tak menceritakan apa yang membuat semua sajiannya begitu tak tertandingi.

Ilham, cowok tamatan SMU yang baru berusia 19 tahun dan berwajah tampan seperti actor Korea malah sangat menyukai dangao ayi Niar. Ia kerap membungkus dangao ayi Niar untuk dibawa pulang.


Hari ini, dangao yang dibawa oleh ayi Niar jauh lebih besar dari biasanya. Kremnya banyak, hiasan bunga mawar warna merah muda berjejer cantik menggugah selera. Di sana ada tulisan “Xie xie laoshi.. Women hen gaoxing jintian”. Artinya kira-kira begini, “Terimakasih guru, kami sangat senang hari ini”.

Saya pernah belajar bahasa mandarin, di kelas saya dijelaskan bahwa keterangan waktu diletakkan di depan. Seharusnya jintian diletakkan di sebelum kata women. Tapi tentu saja masih banyak pendapat lain dalam penggunaan grammar. Saya sendiri bukan ahlinya. Percakapan saja saya masih tek duk tralala. Bingung tingkat tinggi.

Kembali ke cerita dangao.

Kami semua sangat mengharapkan dangao itu segera dipotong. Sebelum dangao dipotong, saya bersama para xuesheng berpose genit dengan kue besar. Misliani dengan girang selalu berniat untuk berpose sendiri di dekat dangao. Sayangnya keinginannya sulit tercapai selama ada saya di sampingnya. Saat posenya sudah bagus, saya selalu mencuri pose di sampingnya. Meskipun pada akhirnya aksi nakal saya berakhir juga. Saya menjepret pose Misliani memotong dangao.



Ketika sesi makan-makan dangao berlangsung, Ika, laoshi mandarin yang aktif saat ini membisiki saya sesuatu. “Kak, kita privat buat dangao sama bu Niar, yuk. Dasarnya saja, untuk hiasan kita belajar sendiri.”

“Bisa. Ayuk.” Kata saya. Sebenarnya dalam hati saya meragukan juga kata ‘ayuk’ yang saya ucapkan. Sejauh ini saya belum punya gairah untuk membuat kue-kue. Apalagi sejenis dangao yang cantik seperti ayi Niar punya.

Saat ini saya hanya ingin belajar menyajikan masakan sederhana tapi menggairahkan untuk keluarga. Seperti bahan dasar tempe, tahu, sayuran, atau ikan. Tentu saja ini akan selalu dinanti. Tapi belajar membuat dangao bukan ide yang buruk. Mungkin saya bisa memulainya dengan membuat ukuran kecil. 

Selasa, 12 Maret 2013

Aku, 10 Tahun Lalu


Pesta perpisahan kenaikan kelas di buxiban (tempat les) tempat aku mengabdi ramai. Semua sibuk dengan dangao (Baca: Dangao Ayi Niar). Reza dan Ilham, dua lelaki yang kompak memakai pakaian hitam sudah mengambil posisi manis dengan sepiring kecil dangao. Beberapa perempuan lintas usia sibuk dengan pose-pose mereka dengan dangao. Ada yang berkeras ingin foto dengan dangao, ada pula yang hanya ingin menikmati dangao bagian pinggir yang berlapis coklat. Semua keseruan terungkapkan di sini.


Saya melihat seseorang yang bertubuh mungil duduk di bangku sendiri. Ia memegang kamera. Dia bukanlah xuesheng (siswa) di buxiban ini. Ia baru berencana mengambil kelas pada periode ketiga yang akan dimulai pada bulan Maret 2013. Sementara ibunya sudah menyelesaikan pada hari ini dan berencana mengambil kelas lanjutan di bulan yang sama.

Namanya Ulfa, sama seperti namaku. Dia anak dekan sebuah perguruan tinggi negeri di Aceh. Ia masih terdaftar sebagai siswa SMUN 4 Banda Aceh, duduk di kelas dua. Sama seperti pelajar lain, ia juga sudah menentukan minatnya kemana.

“Ulfa pingin kerja di bank, kak.” Katanya.

Iya juga bercerita kalau sekarang sedang mencari guru les akuntansi untuk memudahkan tujuannya. Jika memang mungkin dia akan melanjutkan ke Fakultas Ekonomi. Kalaupun tak ada di tempat lain, ia ingin di Unsyiah saja.

“Ayah ingin Ulfa ke China, ya?” Tanya saya.

“Iya. Tapi Ulfa pinginnya ke negara seperti Inggris saja” Ungkapnya.

Saya tersenyum.

Anak punya kemauan, tapi orangtua punya kehendak. Dimana-mana sama. Apalagi jika orangtua mampu membiayai pendidikan anak.

“Kalau begitu cari beasiswa ke Inggris. atau ikuti kata orangtua” Kata saya. Entah sekenanya ataupun benar-benar dari lubuk hati saya yang paling dalam. Saya tidak bisa merasakan perbedaannya. Mungkin pengaruh kelezatan dangao yang sedang saya nikmati saat itu.

“Kalau ke China. Ayah mau membiayai katanya. Beasiswa dari ayah” Ujar Ulfa. Wajahnya datar. Seolah tidak mau menjelaskan lebih lebar lagi. Wajahnya terlihat sangat pasrah.

“Kalau memang Ulfa mau, kakak punya daftar kampus di China lengkap dengan jurusannya. Kakak bisa bagi Ulfa. Bagaimana pendapat bunda?” Tanya saya.

Saya merasa perlu tahu alasan ibunya terhadap keinginan Ulfa.

“Bunda juga sama kayak Ayah. Menyuruh Ulfa masuk kuliah di China saja”

Saya tersenyum. Kehilangan kata-kata tepatnya.

Tidak lama kemudian, pembicaraan kami terputus. Laoshi memanggil saya untuk berfoot bersama mereka. Sekalipun saya tidak ikut dengan kelas mereka, tapi saya dan mereka cukup dekat. Mungkin pengaruh usia yang berada di tengah-tengah.

Kami mengobrol macam-macam. Sampai tiba pembahasannya ke masalah gigi.

“Kenapa gigi kakak?” Tanya Aidil. Dia adalah mahasiswa Kedokteran gigi. Tubuhnya mungil dan anaknya lembut. Dia pintar berbahasa Korea. Tapi keluarganya menginginkan Aidil belajar bahasa mandarin juga. Menurut abang Aidil, bahasa mandarin penting dalam bermasyarakat dan bernegara.

“Gatal. Tapi kata dokternya nggak apa-apa. Bersih dari karang” Saya menceritakan sedikit hasil pemeriksaan hari Jumat silam. Sepertinya informasi seperti ini dibutuhkan oleh Aidil.

Saya terus bercerita, sampai ketika ayah Ulfa (beliau juga dekan dan dosen saya masa kuliah) masuk ke ruangan bersama dua orang anak. Satu saya kenal dengan Aulia, anak beliau satu-satunya yang laki-laki. Satunya lagi bernama Putri. Dia sudah duduk di SMP, tapi sifatnya masih kekanakan. Hal yang wajar untuk anak seusianya.

“Ulfa, kemari sebentar” Panggilnya.

Saya mengikuti laki-laki paruh baya itu.

Ia menunjukkan pada saya sebuah laptop yang nasibnya tak jauh beda dengan laptop saya. Dulu saat semester lima atau empat, saya pernah menggunakan laptop itu untuk menyelesaikan sebuah cerpen dan saya ikut lombakan. Waktu itu beliau tak sengaja memberikan agar saya menyelesaikan cerpen saya. Tapi waktu itu saya disuruh mengetik kurikulum terbaru dari Fakultas.

“Coba tolong edit tulisan Putri, ya.  Dia punya bakat menulis” Kata beliau.

“Iya, pak. Mana tulisannya?” Tanya saya sambil menunggu laptop loading.

Beliau memanggil Putri. Saya masih menunggu.

“Bakat itu harus diarahkan, pak. Jangan seperti saya dulu” Kata saya. Tapi beliau diam saja. tapi saat itu saya lupa pada anak pertamanya, Ulfa.

Tak lama kemudian layar 15 inci itu terpampang tulisan Putri dengan border buah apel merah. Tata letak penulisan kacau. Namun kaimat pertama yang saya baca cukup menarik.

Benar!

Dia punya bakat dalam dunia kepenulisan. Jika ia tidak dikekang, usia menginjak bangku SMU dia punya buku sendiri. Bakatnya di bidang cerpen.

Beberapa saat lamanya saya memberi penjelasan pada Putri. Tapi gangguan dari Aulia datang. Si adik ingin diperhatikan untuk menyalakan film. Begitupun dengan Ashila yang meminta saya menggambar. Aulia punya bakat menggambar rumah. Kalau diarahkan dengan baik, ia bisa menjadi aristek atau insinyur.

Sebelumnya, dua malam sebelum saya menulis catatan inii. Salah satu siswa kelas tiga di sebuah madrasah model di Banda Aceh juga bercerita. Ia mengatakan pada saya jika mamanya memaksa ia untuk masuk ke Pendidikan Dokter Unsyiah. Sementara ia ingin kuliah di jurusa Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Saat ini ia galau. Bingung bagaimana menjelaskan pada kedua orangtuanya untuk mengizinkan pilihannya.

Waktu itu saya menyarakan dengan saran sesimpel-simpelnya. Setidaknya hal ini juga saya pernah alami, 10 tahun lalu.

“Ambil saja sesuai saran mama. Kemudian di pilihan keduanya pilih Komunikasi. Hubungan Internasional itu battang tubuhnya Komunikasi. Di sana kamu bisa buktikan sama Mama kalau kamu mampu. Nah, di saat kamu sedang kuliah di komunikasi, cari cara untuk kuliah di UI. Buktikan kalau kamu memang mampu dengan pilihanmu” Jelas saya pada sebuah chat.

Ia mengatakan sedang mencoba melakukan itu.

Dua bulan yang lalu, adik orang terdekat saya juga mengalami hal yang sama. Ia berminat pada jurusan bahasa Inggris atau Matematika. Tapi pihak keluarganya memaksa ia masuk ke kedokteran. Termasuk abangnya sendiri yang paling keras memaksa dia untuk masuk ke Kedokteran.

Dalam banyak hal, saya tak mengerti mengapa seseorang itu memaksa untuk mengambil jurusan yang ia sukai, bukan yang anak sukai. Padahal, jika saja ia memasuki dunia yang ia inginkan, ia akan berhasil di sana. Secara tidak langsung, si anak akan mengerjakan apa yang ia mau. Dengan demikian, ia akan berkarya dan berprestasi. Dari prestasi itu tercipta peluang yang besar untuk mendapatkan apa yang lebih besar.

Sejauh ini saya pernah melihat hal ini terjadi pada kakak sepupu saya. Sejak kecil kedua orangtuanya sadar bahwa dia sangat berbakat dalam menggambar. Ia lulus di ITB dengan nilai bagus dan melanjutkan kuliah di Australia dengan beasiswa pemerintah. Jurusan yang ia ambil sejurus dan dia terbukti sukses dalam karirnya.

Berbeda dengan saya yang terlahir bukan dari orangtua berada.

Jika ditanya cita-cita masa kecil, saya pernah bercita-cita ingin menjadi pramugari saat SD. Itu karena pramugari selalu terlihat cantik, bertemu banyak orang, mengunjungi banyak negara. Itu yang menarik. Saya ingin terbang setiap hari dengan tujuan dan orrang-orang yang berbeda.

Cita-cita itu berubah ketika saya naik ke kelas enam SD. Di sana saya mulai menyadari bahwa ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain menjadi pramugari. Saya ingin menjadi penulis.

Alasannya simpel saja. Penulis  itu selalu terlihat pintar dengan tulisannya. Semua orang mengenalnya meskipun tak pernah melihatnya. Buku-bukunya selalu dicari orang, sekalipun orang itu sudah meninggal. Ini menarik minat saya. Apalagi saya menyukai dunia tulis menulis kemudian. Waktu itu saya suka baca majalah Bobo yang dibeli ayah secara second, paling baru terbitan tahun lalu. tapi saya senang karena merasa ayah mendukung saya secara diam-diam.

Kemudian ketika saya masuk ke bangku Tsanawiyah, saya mengetahui satu hal penting. Menjadi penulis tak mesti sekolah. Siapapun bisa menjadi penulis asal ia punya daya imajinasi dan kemampuan untuk merangkai kata. Ini say abaca di majalah Annida. Waktu itu dimuat sebuah profil penulis yang tamatan Teknik. Di lain edisi dimuat pula seorang dokter dan guru.

Teman-teman saya kebanyakn mempunyai cita-cita guru. Saya terpikir untuk menambah cita-cita menjadi guru atau apapun. Terpikir oleh saya waktu itu untuk mejadi guru Bahasa Inggris. Usia 11-15an memang usianya galau-galau soal cita-cita. Saya berubah cita-cita menjadi desainer. Itu karena seseorang memuji karya gambar-gambar pakaian yang saya lukis. Ini tak lebih karena saya terlahir di keluarga tukang jahit, kemudian darah seni lukis mengalir sedikit di dalam darah saya.

Cita-cita saya masih bertahan di menjadi penulis sampai saya duduk di kelas dua bangku aliyah. Baru kemudian di kelas dua juga saya berubah pikiran untuk menjadi desainer interior. Saya menyukai dekorasi dan melukis hal-hal yang bersifat memperindah ruangan.

Saya pernah dimarahi oleh mamak ketika melihat kamar saya tempeli poster cowok. Dari Taufik Hidayat sampai Justin Timberlake. Semasa sekolah saya rajin berlangganan majalah. Setiap uang jajan saya sisihkan untuk membeli majalah. Dari majalah pula saya belajar interior desain kamar.

Dukungan saya untuk menjadi arsitek sangat besar pada saat saya kelas tiga. Senang juga ketika mendengar bahwa saya lulus USMU di arsitektur. Sayangnya, kedua orangtua tidak setuju. Keduanya sepakat menyuruh saya mengambil testing di Universitas Syiah Kuala, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Saya meilih jurusan Pendidikan Kimia, Pendidikan Matematika dan Pendidikan Bahasa Inggris. Satupun tidak lolos. Menurut informan yang akurat, ketidaklulusan saya karena faktor mengambil jurusan di satu fakultas. Itu tak diperbolehkan. Yach.. Orangtua saya bukan akademisi. Mereka hanya sepasang suami istri penjahit yang kesehariannya bekerja pontang panting untuk menyekolahkan anak-anak menjadi anak yang berguna.

Keseharian mereka jika bukan di kebun menggarap lahan, tentu saja di rumah. Berhahadapan dengan kain-kain para pelanggan. Sementara untuk diri mereka sendiri, saya tak pernah melihat baju baru. Baju yang mereka pakai hasil rombak sana sini lungsuran para saudara.

Dan saat ketidaklulusan saya di Unsyiah. Saya tidak bisa menerima. Saya menganggap cita-cita saya ‘ditendang’ oleh orang yang saya cintai. Kemudian atas saran seorang saudara saya masuk ke jurusan Komunikasi di IAIN Ar-Raniry. Dulunya saya punya abang sepupu yang alumni jurusan ini. Saat ini ia sedang kuliah di Inggris untuk program doctoral.

Saya tidak tahu menyukai jurusan ini atau tidak. Yang jelas semua cita-cita saya buyar. Saya tidak menjadi guru, karena memang pada akhirnya saya sadar kalau tidak menyukai profesi ini. Saya tidak menjadi arsitek. Itu pasti. Terpenting, saya juga tidak menjadi desainer interior. Semua sudah terkubur.

Satu-satunya harapan saya adalah menjadi penulis. Tuhan seperti merencanakan jalan yang indah untuk saya. Saat itu saya bertemu dengan orang-orang yang bergelut di bidang kepenulisan. Sampai suatu saat saya menjadi salah satu bagian dari dunia ini.

Sampai detik ini, sampai catatan ini Anda baca. Saya masih sangat merindukan mendesain. Duduk di bangku kuliah jurusan desain interior atau arsitek. Ataupun duduk manis di bangku kuliah sastra Jepang. Bukan jurusan Komunikasi yang tak pernah terlintas di benak saya.

Namun di balik itu semua, saya bersyukut bahwa Tuhan begitu baik pada saya. Saya bisa menulis, menyelesaikan kuliah dari hasil menulis. Menyelesaikan skripsi dengan kemampuan saya berpikir dan menulis. Saya merasa dengan menulis saya terbebas dari beban hidup. Saya tak mesti berkomentar panjang lebar di dunia maya untuk memaki. Saya menulis, saya terbebas dan saya menemukan kebebasan.

Yach.. Saya sepuluh tahun lalu seperti cermin yang dipantulkan melalui para anak SMU yang galau dengan masa depan. Mereka curhat, saya memberi saran. Tapi saya ingin tegaskan, tak ada oangtua yang ingin masa depan anaknya suram. Mereka memilih karena kita tak tunjukkan apa yang bisa kita lakukan untuk berubah.

Mungkin jika 10 tahun lalu saya berkata menyukai sastra Jepang, mungkin orangtua saya menentang. Tapi jika diam-diam saya belajar bahasa Jepang otodidak, atau berbekal bahasa Inggris pas-pasan saya menerjemahkan sebuah novel. Kemudian novel itu saya publikasikan. Kemudian saya bisa membuktikan pada mereka bahwa saya ternyata mampu menjadi apa yang saya inginkan. Tentu saja saat ini saya bergelar sarjana sastra, atau sarjana teknik.

Tak ada yang pelu disesali. Kita hanya perlu belajatr. Mungkin kita gagal, tapi generasi selanjutnya harus bisa menyuarakan nurani.