Rabu, 21 Desember 2011

Fiksi: "Mas Salah"

Majalah POTRET/ Edisi No. 51-2011


Miss Salah.
Aku tak suka julukan itu. Toh selama ini aku bisa memanajemen setiap permasalahan  dengan menulisnya sebagai cerita pendekku dan terangkum dalam folder reportase hati. Walaupun tak sepenuhnya apa yang kutulis benar, tapi aku cukup merasa lega karenanya. Itu manajemenku dalam memecahkan tiap permasalahan. Endingnya sengaja aku buat indah, aku berharap akan ada masukan atau masalahku akan berakhir dengan happy ending.
Hal lain yang terbesar dalam hidupku adalah mengeluh. Ini pula yang membuat orang menilaiku dengan berbagai sebutan. Termasuk julukan perempuan bermasalah.
Sampai ketika aku berumah tangga dengan Mas Shalahan, kebiasaan mengeluh untuk diri sendiri masih saja terulang. Mas Salah juga selalu menyalahkan aku terlalu sensitif. Aku suka membesar-besarkan hal kecil, katanya. Menururku itu tak benar.
“Mestinya kamu menghilangkan masalah kecil dan mengecilkan masalah besar, dek..” Nasehat Mas Salah ketika kuceritakan keributanku dengan Rosa di kantor.
Mas Salah ini. Bukannya membelaku, ia malah membuat amarahku di ambang pintu.
“Mas, kapan sih mas berhenti menyalahkan aku. Di mata mas memang selalu salah.” Protesku, setengah menangis.
“Ya... Namanya saja Mas Salah. Sangat cocok dengan Miss Salah. Iya, kan?!” Ia merangkulku. Aku tersenyum.... Amarahku meredam.

AKU menimang-nimang buku Khaleed Moestafa. Rasanya aku harus memilikinya. Hanya satu lagi. Kalaupun ada di toko buku lain, sepertinya harganya tak seringan ini. Aku member di toko buku ini, kalau di toko lain kan tidak. Bagaimana ya....?
Ini masih pertengahan bulan. Tapi pengeluaranku sudah banyak sekali. Aku harus memebli ini dan itu. Kemarin aku kepincut pada baju warna krem di butik. Keren sekali baju itu. Aku yakin sekali ini sangat manis bila aku yang memakainya. Apalagi pemilik butiknya bilang begitu padaku, dia tak bohong. Karena aku sudah cukup mengenalnya. Ketika aku coba di kamar pas, benar saja, memang sangat anggun. Akhirnya aku keluarkan setengah gajiku untuk membayar harga baju itu.
Aku berharap Mas Salah juga sangat senang dengan pilihanku. Terang saja aku memamerkan pilihanku pada Mas Salah. Bukan pujian yang kudapat darinya. Tapi komentar yang tak kuharap sama sekali. Emm, tidak bisa di sebut komentar kalau itu, tepatnya cercaan.
“Dek, dek... Mau pakai ke mana pakaian itu. Kerjaanmu kan sudah sangat teratur. Busana disediakan studio, di luar itu kamu pakai seragam, kan?! Kalau untuk pesta atau apa.... baju yang Mas belikan belum habis kamu pakai. Dek, hemat sedikitlah.... walaupun gajimu sendiri, coba ditabung untuk masa depan. Ingat, kamu masih punya cita-cita mengambil master di Jepang, kan?”
Memang iya. Tapi aku juga ingin memanjakan diriku sendiri seperti teman-temanku yang lain. Mereka bisa bersenang-senang. Toh suami mereka tak keberatan. Kenapa Mas Salah selalu mempermasalahkan hal kecil seperti ini sih....
Ugh, pusing.
Kali ini aku yakin sekali tak menjadi soal apapun yang akan kubeli. Mungkin soal baju itu Mas Salah benar. Terlalu mahal. Tapi ini bukan masalah kok. Hanya sebuah buku saja. Aku harus membelinya. Mumpung ada diskon dari penerbit, ditambah dengan diskon member kan jadi untung banget diriku.
Tiba di rumah, Mas Salah sudah duluan tiba. Tak biasanya. Ia juga sudah membersihkan diri, dan sudah makan siang. Ini yang menyenangkan dari Mas Salah. Tidak terlalu banyak menuntut dari aku. Ia membebaskan aku berkarya. Mas Salah memang luar biasa.
“Dek, mas belikan kamu buku. Mas lihat kamu punya koleksi banyak. Tapi ini kok belum punya ya...” Mas Salah mengeluarkan bungkusan berbentuk persegi empat dari tas kerjanya.
Aku menerimanya senang dan penasaran. Buku apa yang dimaksud Mas Salah? Kubuka pelan-pelan bungkusan itu. Hmm... Tumben Masku baik banget. Ia biasanya akan mengomrl kalau aku terus belanja buku. Katanya aku terlalu boros dan ini itu.
“Lho, Mas...” Aku terkejut.
“Kenapa, dek. Kamu nggak suka ya bukunya?” Wajah Mas Salah tampak kecewa. Aku tertawa, mengeluarkan buku yang sama dari tasku. Lalu mengacungkan ke hadapan Mas Salah.
“Aku juga beli mas. Di toko yang sama pula. Satu lagi mau dikemanain, Mas?” Tanyaku sambil ketawa. Mas Salah tak tersenyum sedikitpun, apalagi tertawa. Aku juga merasa ttak enak karena Mas Salah tak tertawa.
“Dek, hematlah.... Kan mas sudah belikan kamu buku ini. Kenapa beli lagi?” Tanyanya. Aku bengong, Mas Salah tidak bilang atau tanya dulu padaku. Kok aku lagi yang disalahkan.
“Mas nggak bilang.” Jawabku kesal. Aku tak suka jadi objek kesalahan terus.
“Dek, dek....” Dia mengacak-acak rambutku dan beranjak dari sisiku menuju ke kamar kerja. Yakinlah, ia tak akan keluar sampai malam. Ia akan di sana sampai ia bosan.
Aku menghembuskan nafas berat. Kenapa aku lagi yang salah... Mas Salah tak bilang mau buat kejutan untukku.

BUKU yang sama itu akhirnya kami bawa sebagai kado ulang tahun adikku. Sesuai kesepakatan saat kami mulai romantis. Tapi buku yang aku beli. Buku yang dibeli Mas Salah tetap masuk ke rak koleksi. Ini solusi agar Mas Salah tidak ngambeg lagi dan agar dia juga tahu, bahwa aku sangat menghargai pemberiannya.
“Kayaknya kita perlu rak buku baru ya, mas...” Ujarku di sela-sela waktu santai. Mas Salah hanya melirik sejenak. Lalu kembali lagi ke majalah seni yang dibacanya. Cuek.
Akupun ikutan mengalihkan perhatian ke majalah wanita yang aku baca. Menelusuri tiap rubrik dengan teliti. Mungkin belum saatnya berbicara masalah pengeluaran di akhir bulan. Petaka buat Mas Salah.
Rubrik interior kali ini cukup menarik. Sesuai dengan keinginanku. Sebuah lemari yang cocok untuk rumah tipe 81. Bentuknya tinggi hingga ke langit-langit, lebarnya panjangnya sepanjang dinding. Tipis. Cocok sebagai pengganti lemari hias. Aku suka sekali. Awal bulan aku akan beli, Mas Salah pasti setuju.
Kebetulan dua hari kemudian aku gajian. Kali ini bonus setengah dari gajiku. Keberuntunganku tak hanya di situ, masih ada sejumlah uang dari honor pemuatan cerpenku. Lengkap sudah keberuntunganku.
Tak perlu mengambil gaji. Cukup menghabiskan bonus dan honor cerpen saja bulan ini.
Tanpa mengajak Mas Salah, aku pergi ke toko furniture yang diinformasikan majalah. Aku memesan lemari tersebut dengan semangat. Hanya tiga perempat dari anggaran yang kurencanakan.
Klop!!
 Akan kutempatkan di ruang keluarga. Dengan senang hati aku mempersilahkan pegawai furniture itu masuk ke rumah dan menempatkan lemari buku di tempat yang aku inginkan. Bagus sekali. Tinggal memindahkan semua buku dari kardus ke lemari dan tinggal mengisi kekosongan saja.
Sorenya, aku ingin membuat kejutan pada Mas Salah. Menunjukkan padanya, dari bonus dan honor sebulan saja, aku sudah membeli rak lemari buku yang aku impikan.
“Masuk sini, mas... Sini...!! Ya, taroh di......” Mas Salah tercengang. Tidak melanjutkan instruksi pada beberapa orang yang tengah menggotong lemari yang sama. Tetapi ukurannya sedikit lebih kecil.
“Dek, maksudnya apa?” Tanyanya heran.
“Lho, Mas...?! Ini buat siapa? Kita?” aku terkejut.
“Ya... Buat kamu, dek. Buat kita.”  Suaranya lesu.
Kalau aku tidak cepat mengambil inisiatif pasti Mas Salah akan kecewa. Tak ada cara lain selain...
“Mas, ayo di bawa kemari. Di taro berhadapan ya... tuh, bagus kan?” Aku segera mencairkan suasana yang mulai tegang. Mas Salah tak berkata sepatahpun. Ia hanya melihatku tak mengerti.
Setelah para pegawai pulang, aku menggandeng Mas Salah duduk di depan TV. Menatapnya penuh arti. Tersenyum semanis mungkin di hadapannya. Kucoba membuatnya sedikit senang dengan sikapku.
“Dek, kan mas sudah bilang kalau...”
“Mas Salah... Arum masih punya gaji bulan ini. Masih utuh, belum Arum gunakan sedikitpun.” Aku memotong kalimat Mas Salah dan memperlihatkan buku tabunganku. Di sana tercetak jumlah gajiku bulan ini. Mata Mas Salah terbelalak. Ia tak percaya.
“Ini, dek....?! kamu nggak bohong kan sama Mas?”
“Nggak. Itu memang gaji Arum bulan ini. Arum beli lemari dari uang bonus dan honor menulis.”
Mas Salah menatapku dalam-dalam. Air matanya keruh.
“Dek, dek.... Mas kan selalu bilang. Ya.... Kamu tuh yang hemat sedikit jadi orang. Semua uang kamu bisa kamu simpan kan? Jangan dibelanjain semua...” Ceramahnya.
Mas Salah, masalah lagi. Mas Salah kan tidak bilang kalau kemarin mau membeli lemari itu kalau gajian. Kalau aku bisa membeli sendiri, kenapa aku harus menunggu. Memanglah.... ini benar-benar masalah dengan Mas Salah.
MAS SALAH mengajakku ke pesta pernikahan teman sekantornya. Aku jadi bingung mau pakai baju apa. Baju-baju pemberian Mas Salah sepertinya kurang cocok untuk acara malam. Satu-satunya baju yang pas untukku adalah baju krem yang aku beli di butik bulan lalu. Yang jadi masalah bagi Mas Salah.
Aku tampil anggun dengan gaun itu. Pemilik butik bilang ini pas untuk segala suasana dan acara. Benar saja. Aku tampak lebih cantik dengan baju ini.
“Lho, dek... Apa kamu nggak ingin pakai baju yang Mas beli di Singapura itu?” Tanya Mas Salah begitu aku muncul di depan pintu kamar.
“Baju ini nggak bagus ya, mas...?!” Aku kecewa, mulanya aku pikir Mas Salah akan memujiku. Tapi kebalikannya, ia menyuruh ganti.
“Bagus, sih... Tapi mas pengen lihat kamu pakai baju merah muda itu, dek.”
Mau tak mau aku mengalah. Setelah perdebatan lima belas menit. Aku merombak ulang dandananku. Memakai baju merah muda yang menurutku sama sekali tidak cocok dengan suasana pesta yang kalem. Apalagi siang hari. Tapi mau gimana? Omongan suami tetap harus diikuti.
Aku pikir aku akan malu di pesta. Ternyata nggak, aku sama sekali tidak merasa dipermalukan. Mas Salah menggandengku sangat mesra, dan memperkenalkan aku pada teman-temannya. Hampir semua orang memujiku sangat cantik.
“Mbak Arum... Gaunnya bagus sekali. Pasti mahal.” Puji seorang perempuan muda. Dia menatap gaunku dengan muka pengen.
Mas Salah sangat senang mendengar pujian untukku. Katanya istrinya cantik, dia cukup bangga. Dia tak hentinya mengatakan pemberiannya tetap yang terbaik. Mas Salah juga membandingkan, kalau aku memakai baju krem, pasti tak kan ada pujian seperti itu untuknya, untukku. Kalau begini, ia merasa lebih adil. Sepertinya pujian itu suatu masalah juga bagi Mas Salah.

MALAM ISTIMEWA ini aku akan memasak rendang untuk Mas Salah. Katanya ia akan makan di rumah. Sekian lama aku menjadi istrinya, ia paling malas makan siang di rumah. Kalaupun kami sama-sama punya waktu, ia lebih memilih mengajakku makan siang di luar. Apalagi kalau awal bulan.
Malam ini Mas Salah akan makan di rumah. Rasa senang menyelimuti hatiku. Alangkah bahagianya aku bisa masak untuk Mas Salah. Rasanya aku telah menjadi istri yang sesungguhnya. Bukan perempuan yang hanya pulang, pergi dan disibukkan dengan karir.
Salam Mas salah terdengar dari ruang tamu. Mas Salah sudah pulang. Tumben, harusnya dia pulang sekitar dua jam lagi. Mungkin ini bagian dari rencananya.
“Dek, aku dapat informasi bagus lho untuk kamu. Tapi menyedihkan buatku.” Mas Salah langsung menyusulku ke dapur lengkap dengan pakaian kerjanya.
“Kabar apa, Mas?” Tanyaku sambil memotong-motong daging.
“Kita makan di luar saja, dek. Dagingnya masukin kulkas saja. Ntar kamu capek, jadi apa yang aku sampein nggak nyambung lagi” Ujarnya.
Aku lemas. Aku sudah capek belanja, membersihkan daging dan menyiapkan bumbu. Eh, Mas Salah malah mengajakku makan di luar. Bagaiamana sih....?!
“Aku ngambek, mas. Bilang sekarang saja” Aku merajuk. Tak kuhentikan kerjaku. Aku bertekad untuk memasak. Mas Salah sepertinya mulai membatalkan niatnya mengajak makan di luar. Ia ingat menyuruhku memasak di rumah.
“Beasiswamu udah keluar, dek. Kamu udah dipanggil dari Universitas Tokyo” Ucapnya pelan. Aku terkejut dan melonjak-lonjak sambil memeluk Mas Salah. Terlupa Mas Salah masih memakai baju kerja.
“Dek.... Tuh kan.... Kotor, deh”
Aku membasahi bajunya dengan air keran. Kami malah main siram-siraman. Mas Salah.... Terkadang tidak membawa masalah.

Darussalam, 13 Juni 2009

Tidak ada komentar: