Senin, 14 April 2014

Citizen Reporter: "Lebih Kejam dari Ibu Tiri"

Tidak selamanya apa yang kita lihat dan dengar sesuai dengan apa yang orang lain alami. Merasakan berada di posisi yang sulit mungkin akan mudah bagi kita memberi solusi. Belum tentu bagi orang lain. Hal yang sama juga pernah alami, beberapa status Facebook saya banyak bercerita tentang kota Beijing dan segala seluk beluknya. Inilah bagian kecil dari cerita dari negeri tirai bambu yang dimuat di majalah Sumberpost rubrik Citizen Reporter, versi online-nya dapat dibaca di http://sumberpost.com/citizen-journalism-negeri-china-lebih-kejam-dari-ibu-tiri/#.U0I19ah_spQ
 *
“Wah, ternyata benar kata orang. Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Mak, lon meujak woe...!!”

Tulisan itu ditulis oleh seorang alumni UIN Ar-Raniry yang juga sedang berkuliah di luar negeri. Namun saya tidak tahu di negara bagian mana. Jarangnya komunikasi dan kesibukan masing-masing tidak bisa membuat kami sesering dulu bercerita, bercanda dan berbagi. Namun dari statusnya jelas bahwa ia sedang memulai hidup di kota besar.

Sama. Saya juga sedang memulai semester kedua di ibukota, sebuah kota besar di Asia Timur yang menjadi pusatnya benua Asia. Beijing, ibukota negara Republik Rakyat China yang dikenal dengan sebutan negeri tirai bambu atau negeri panda. Kota ini dulu disebut Peking, sampai saat ini masih dikenal dengan nama Peking meskipun sudah jarang terdengar.

Pusat kota Beijing terletak di Tian’anmen. Sebuah tempat tujuan wisata yang amat terkenal dengan sejarah perjuangan dan pergerakan China. Novel-novel karya Lisa See, seorang hua ren (etnis tionghoa keturunan) asal Amerika kerap menyitir bangunan ini dalam novel-novelnya.  Hingga saat ini tempat itu masih terawat dan menjadi lokasi upacara bendera pada hari kemerdekaan China yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober.

Pertanyaan pertama ketika kembali ke tanah air, melalui jejaring sosial, email adalah “Mengapa pilih ke Beijing?” Saya pun tidak tahu mengapa memilih Beijing, saya masih punya deretan nama negara lain dalam catatan hidup saya. Beijing tidak termasuk di dalamnya. Terkadang jawaban saya menjadi sangat ngelantur, tapi sebenarnya fakta.

“Beijing yang memilih saya untuk datang, bukan saya yang memilih Beijing untuk mengunjungi.” Jawaban itu kerap saya berikan.

Pada dasarnya saya tidak suka tinggal di ibukota. Beberapa alasan mungkin juga disetujui oleh orang-orang yang sering ke ibukota negara tertentu, meskipun negara kita sendiri, Indonesia. Pertama, kehidupan ibukota yang individualis. Kedua, polusi yang tidak baik untuk kesehatan. Ketiga, biaya hidup yang relatif mahal. Keempat, terlalu banyak orang di ibukota dan sederetan alasan lain.

Ada sedikit galau ketika saya lulus beasiswa di Beijing. Terlebih ketika dinyatakan bahwa di kota ini banyak sekali orang Indonesia. Terutama anak-anak ibukota yang cenderung sombong dan tidak bisa berbaur dengan anak-anak daerah. Anak-anak daerah yang dimaksud adalah mahasiswa asal provinsi selain DKI Jakarta. Pandangan yang buruk memang, terlebih jika ada beberapa orang yang tidak seperti itu.

Semester pertama di Beijing saya lalui dengan langkah tertatih. Kedatangan saya di Beijing pertama kali suhunya 21 derajat. Sejuk seperti Takengon, tapi polusi tebal. Sementara di Takengon tidak ada polusi. Saya mengalami demam mendadak, otot sakit dan hanya seorang diri di kampus Communication University of China. Sementara masih banyak yang bisa dilakukan dalam jangka waktu tiga hari. Kelengkapan administrasi pendaftaran ulang harus selesai dalam waktu itu.

Parahnya tidak ada yang mengerti bahasa mandarin saya karena perbedaan dialek yang saya pelajari dengan kondisi di lapangan. Beijing memiliki dialek sendiri yang disebut er hua. Mereka bicara seperti orang kumur-kumur, setiap kata ditambah er er er. Namun bahasa mandarin Beijing adalah yang asli. Konon katanya bahasa mandarin beifang (bagian utara) merupakan yang paling benar karena tidak ada pengaruh bahasa lokal. Di awal-awal kedatangan saya, orang-orang yang saya temui kebanyakan tidak bisa bahasa Inggris. Saya pun masih tidak percaya diri untuk membuka mulut bicara bahasa Inggris di kota ini.

Antara ingin pulang karena shock culture dan bertahan karena keinginan, akhirnya saya pasang muka tembok. Tidak perlu cemas, tidak perlu takut. Setiap orang pasti melakukan kesalahan. Tanpa kesalahan manusia tidak pernah belajar. Bismillah...

Dalam dua hari, bahasa Inggris yang awalnya tersendat-sendat menjadi lancar. Orang-orang yang saya ajak bicara dalam bahasa Inggris mengerti apa yang saya ucapkan. Saya semakin percaya diri untuk melangkah keluar. Sebelum keluar saya mengingat apa saja yang akan saya lakukan di luar. Kemudian mengingat bahasa Inggris-nya. Meskipun ketika keluar kampus bahasa Inggris tidak membantu sama sekali. Pedagang tidak menggunakan bahasa Inggris, tapi cukup cerdas menggunakan petunjuk untuk saling mengerti. Ini karena banyaknya orang asing di Beijing. Mereka banyak yang tidak menggunakan bahasa mandarin, namun hidup di Beijing karena bisnis atau belajar dalam bahasa Inggris.

Minggu kedua saya bertemu dengan orang Indonesia. Hanya dua orang. Berikutnya saya tahu ada enam orang Indonesia di kampus saya. Semuanya anak ibukota, Jakarta. Cerita-cerita yang selama ini beredar tentang mahasiswa Indonesia di luar negeri juga terjawab.

Antara kesal, senang dan sedih mempermainkan hati. Kesal karena saya benar-benar berbeda dari segi budaya, latar belakang, gaya hidup juga agama. Terkadang berada dalam satu lift, tapi tidak saling menyapa. Bila menyapa duluan sering tak dihiraukan. Karena sudah lebih dulu di Beijing, mahasiswa lama, tentu temannya juga sudah lebih banyak. Di sisi lain senang tidak banyak orang sebangsa di sini. Artinya bisa belajar bahasa lebih baik dan tidak perlu mengikuti acara nongkrong-nongkrong yang tidak penting. Bukan berarti di kamar untuk belajar terus, namun lebih baik tidak bila tidak ingin melewati ‘jalan di luar jalur.’

Karena kesibukan aktivitas yang berbeda, antara satu mahasiswa dengan yang lainnya jarang bertemu. Ini pula yang menjaga hubungan baik satu sama lain tetap harmonis. Sesekali ketika bertemu di luar asrama dan luar kelas, kami bersapa dan mengobrol singkat tentang aktivitas masing-masing. Kemudian ia bersama teman-temannya yang orang asing. Saya juga melakukan hal yang sama, jalan dengan teman-teman saya yang juga orang asing.

Ketika kondisi ini terjadi, betapa bersyukurnya saya menguasai bahasa asing. Memiliki banyak teman dengan latar belakang berbeda adalah anugerah paling indah di perantauan. Kita banyak mengetahui kondisi negara orang tanpa harus mengunjungi negara tersebut. Kita mendapat banyak oleh-oleh ketika awal semester usai liburan, juga mendapat beragam bahasa. Terlepas dari kita bersungguh-sungguh mempelajari bahasa tersebut atau tidak. Karena bahasa komunikasi yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Inggris.

Satu semester sudah lewat, perkembangan bahasa saya masih mama huhu alias tidak baik dan tidak pula buruk. Terkadang lawan bicara saya bingung ketika saya bicara mandarin. Nadanya masih sering salah atau keterbatasan kosa kata. Saran-saran yang berisi nasehat untuk meningkatkan bahasa keluar masuk kuping selama satu semester.

Apa yang orang sarankan tidak semudah itu dijalankan. Posisi sulit untuk siapa saja ketika kuliah di ibukota, di kampus yang 80% mahasiswanya mampu menguasai bahasa asing. Itu tidak semudah yang kita sarankan atau cibirkan.

Hubungan mahasiswa lokal dengan mahasiswa asing ibaratnya asas manfaat. Mereka adalah mahasiswa yang mampu berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Kemampuan bahasa asing mereka yang tidak buruk, keterbatasan kosa kata dan kemampuan berbahasa kita yang kurang memberi keuntungan yang banyak pada lawan bicara lokal.

Dene Gabaldon, teman sekamar saya asal Amerika juga mengeluhkan hal yang sama. Dia pernah belajar bahasa mandarin setahun di Nanjing. Bahasa mandarinnya sudah bagus. Ia kembali New Mexico untuk bekerja dan menunggu jawaban pengajuan beasiswanya. Ketika ia menerima beasiswa dan kembali ke China, sudah terbayang ia akan belajar dialek di kota ini. Kenyataannya ia sendiri tidak mendapatkan apa yang ia harapkan.

Dene kuliah di jurusan New Media yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Teman-temannya adalah mahasiswa asing dan beberapa mahasiswa lokal. Perlahan bahasa mandarinnya terkikis menjadi lebih buruk.

“Bagaimana saya bisa mengembangkan. Teman sekelasku semua bisa berbahasa Inggris. Bahkan orang-orang lokal sendiri bicara bahasa Inggris. Sekalipun saya bicara bahasa mandarin. Ini sulit buatku yang ingin belajar, karena mereka menjawab dengan bahasa Inggris. Nanti kamu akan merasakan hal yang sama” keluh Dene.

Tidak perlu menunggu lama untuk mengalami apa yang diceritakan Dene. Hal yang sama juga saya alami. Semester lalu banyak yang mengatakan, “Ulfa, jangan main dengan orang asing. Tidak bagus. Kamu harus belajar bahasa mandarin, bukan bahasa Inggris. Mereka tidak memberi efek baik untuk kamu.”

Dalam keadaan kacau saya berpikir bagaimana cara melatih bahasa mandarin saya. Atas saran beberapa orang, saya membuat akun QQ yang banyak digunakan oleh warga China. Akun ini sejenis yahoo massenger atau aplikasi chatting lainnya. QQ amat populer di China karena akses Facebook diblokir. Banyak teman di QQ berbicara bahasa Inggris setelah mengetahui saya orang asing. Ada pula yang melatih bahasa Indonesia.

Pada lebaran Idul Adha 2013, saya kemudian berkenalan dengan tiga mahasiswa dari jurusan International Communication and Journalism. Bahasa Inggris mereka bagus. Saya berbincang, berkenalan, bertukar nomor ponsel dengan tiga gadis China ini. Salah satunya bernama Wang Xiao Xiao, asal Anhui. Provinsi yang terletak di bagian tengah China.

“Aku bisa membantumu belajar bahasa mandarin.” Kata Xiao Xiao suatu ketika saat bercerita tentang bagaimana kesulitan saya untuk mengingat shengdiao (nada dalam kosa kata mandarin). Tentu saja saya girang sekali.

Awal-awal berkomunikasi kami menggunakan bahasa mandarin. Jika ada kata yang tidak saya mengerti akan saya tanya balik, “....shenme yi si?” atau artinya apa. Kemudian ia akan menjelaskan dalam bahasa Inggris.

Itu tidak berlangsung lama. Hanya sebentar. Pada pertemuan dan obrolan berikutya, ia nyaris tidak bicara dalam bahasa mandarin. Saya bicara bahasa mandarin, dia menjawab dalam bahasa Inggris. Ketika saya tidak tahu harus berkata apa dalam mandarin, saya berkata dalam bahasa Inggris. Dan kemudian bukanlah latihan bahasa mandarin yang berlangsung. Tapi berlatih bahasa Inggris.

Kejadian seperti ini bukan hanya terjadi antara saya dan Xiao Xiao. Tapi juga saya dengan mahasiswa lokal lainnya. Hal yang sama juga dialami oleh teman-teman asing saya dengan mahasiswa lokal lainnya. Memiliki banyak teman namun tiak banyak mengalami peningkatan bahasa.

“Sulit bagi kita untuk mencari orang yang tidak bisa berbahasa asing. Karena kita hanya akan mendapat teman yang bisa berbahasa asing. Sementara yang tidak bisa berbahasa asing akan membuat jarak dengan kita. Aku berbicara dengan mahasiswa jurusan bahasa Rusia, tapi mereka bicara bahasa Rusia denganku. Sama seperti beberapa orang lainnya. Jika ada yang jurusan bahasa Indonesia, mereka juga akan bicara dengan bahasa Indonesia denganmu. Maka sebaiknya jangan bertemu dengan mereka. Kita hanya akan tetap belajar di kelas, sesekali keluar kampus dan bicara dengan banyak pekerja tua di jalanan. Itu jauh lebih baik.” Mishakiv Evgenie asal Rusia mengeluh soal bahasa.

Keluhan serupa datang dari banyak mahasiswa asing di Beijing, khususnya di kampus CUC yang memiliki Fakultas Bahasa Asing. Di masa depan alumni CUC akan bekerja dan membangun relasi dengan dunia global. Dimana bahasa asing menjadi modal utama mereka untuk mencari pekerjaan. Tidak heran bila mereka punya bekal bahasa asing yang kuat. Banyaknya mahasiswa asing di kampus mempermudah mereka untuk terus berlatih dan meningkatkan bahasa.

Ketika ada pertemuan mahasiswa asing di sekolah, seperti orientasi mahasiswa baru dan sejenisnya. Pembicara di depan akan bicara dengan bahasa mandarin, kemudian diterjemahkan dalam empat bahasa lainnya. Bahasa Inggris, Korea, Rusia dan Spanyol. Tidak heran bila menguasai salah satu bahasa asing itu maka perkembangan bahasa utama akan lambat.

Sisi positif yang dapat dipetik dari kesulitan ini justru adanya keinginan untuk belajar bahasa lain. Walaupun sulit untuk menguasai bahasa asing sekaligus. Bukan karena tidak fokus, tapi karena kita memiliki teman berbagai dari berbagai bangsa. Sehingga bahasa yang dominan dikuasai menjadi alat komunikasi sehari-hari.

Kehidupan di ibukota juga individualis. Satu sama lain tidak saling peduli. Sisi positifnya adalah terhindar dari gosip-gosip yang tidak sehat. Terkadang kita juga lebih mandiri mengerjakan sesuatu. Tidak tergantung pada teman atau kelompok tertentu. Di sisi lain kehidupan sosial yang saling mengerti sangatlah penting.

Suatu hari di musim dingin saya makan di kantin bersama teman satu negara. Setelah memesan makanan dan duduk di meja yang kosong, kami mulai makan sambil mengobrol. Tiba-tiba saya merasakan kursi yang saya duduki goyang. Saya bangkit untuk memeriksa kursi tersebut. Begitu saya duduk kembali, kursi tersebut malah terbalik. Saya meluncur ke bawah meja dengan posisi tengkurap.

Seisi kantin diam dan menoleh pada saya. Tidak seorangpun membantu membangunkan saya. Mereka hanya melihat dan tercengang beberapa detik. Kemudian fokus lagi pada makanan masing-masing. Bahkan teman saya tidak berbuat apa-apa. Saya bangun tertatih-tatih. Beberapa menit saya merasa malu, sakit yang saya rasakan lenyap.  Makanan yang tinggal sedikit tidak lagi saya habiskan. Saya ingin keluar secepatnya dari kantin. Tangan saya terkilir, untuk memegang botol minuman pun tidak bisa.

Beruntung seorang penjual naicha (teh susu) di pintu masuk kantin melihat kejadian itu. Ketika saya keluar dia menghampiri saya dan memegang tangan saya. Sejenak ia bicara dengan gaya kumur-kumur yang tidak saya pahami. Ia mengelus-elus, memijat dan menekan sedikit tangan saya. Tidak ada rasa sakit. Ia menyuruh saya menggerak-gerakkan. Tangan saya sembuh sudah.

Sejak saat itu saya lebih berhati-hati. Tidak gegabah, krasak krusuk dan ikutan tidak peduli. Bila keluar asrama seorang diri, saya mulai mengikuti gaya mahasiswa Beijing. Buku di tangan, headset di kuping dan berjalan tanpa lihat kiri kanan. Hal yang terlihat menyenangkan.

Dalam hati saya merasa kesepian di keramaian bila berjalan sendiri. Meskipun di Banda Aceh sering berjalan sendiri, tidak saling menyapa, satu sama lain tidak merasa kesepian. Di dalam hati masih tumbuh benih-benih rasa sosial yang tinggi. Satu sama lain masih memancarkan energi positif untuk saling membutuhkan, ada rasa peduli dan saling terikat walau tak mengenal.

*


Penulis adalah alumni majalah Sumberpost angkatan pertama. Penulis merupakan alumni jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, IAIN Ar-Raniry. Lulus pada tahun 2010 dan sedang melanjutkan pendidikan di Communication University of China, Beijing.