Kamis, 15 Desember 2011

Memangnya Hidup Ini Indah?

Garis tangan, katanya ramalan nasib. Memangnya hidup ini bisa di perjuangkan melalui garis-garis tangan?.
Bisa!
Terkadang, dan itu hanya kebetulan. Impian dan tujuan mungkin akhir dari semuanya, tapi sejak kapan? Sampai kapan?
Aku pernah mempunyai cita-cita, impian, aku ingin menjadi dokter. Biasalah cita-cita anak kelas 4 SD. Apa yang menarik ya di ikutin aja. Jadi dokter, karena melihat ada dokter anak yang memberikan perhatian ekstra saat aku dirawat jalan selama beberapa bulan. Saat itu akusedang menderita penyakit infeksi radang tenggorokan. Tau kan? Kalau hidupku tak pernah lepas dari yang namanya obat dan penyakit.
Mungkin hanya dengan impian aku bisa bertahan hidup.
Ya, impian.
Dulu aku pernah bercita-citamenjadi polwan. Di jalan mereka tampak hebat sekali dalam seragam coklat-coklatnya. Di TV, aksi kerennya mulai terlihat saat gerakan bela dirinya melumpuhkan lawan. Mantap! Keren!
Aku mau jadi polwan. Sip, deh....
Kendala mulai muncul saat aku kela 5 SD, penyakit thypus terjangkit ke beberapa anak di kelasku. Termasuk aku, virus salmonela thyposa memang menyerangku belakangan, saat semua keceriaan teman-temanku terenggut dan sebentuk senym mulai terukir lagi, di bibir-bibir mungil mereka.
Hmmmm.....
Pertumbuhanku sekian puluh persen terhambat, aku jadi rentan penyakit. Ah, nggak juga! Memangnya dulu aku nggak pernah sakit? Dari dulu hidupku hanya menikmati bermacam-macam penyakit, kok. Kata orang “penyakitan”.
Polwan mengundurkan diri dari list cita-citaku. Pramugari menyusul......
Terbang ribuan meter dari permukaan laut. Melihat dunia dari angkasa, aku bisa terbang layaknya burung. Keliling dunia.....
Aku bisa lihat petronas dari langit Malaysia, ada Eiffel di Perancis. Siapa bilang aku tidak bisa singah di Sphinx, mungkin saja aku ketemu cleopatra. Atau melintasi tembok Cina dan memetik sakura di Jepang. Menikmati  indahnya tulip di Belanda, aku juga akan buktikan kalau aku bisa melihat empire state berkali-kali. Aku akan terbang sebagai pramugari, melayani penumpang di pesawat, bahkan aku bisa saja berfoto dengan artis-artis atau berjabat tangan dengan presiden.
Ada pesawat jatuh, di kabarkan seluruh penumpang dan awaknya tewas. Pramugarinya termasuk juga, dong.....?
Aku tidak mau lagi jadi pramugari. Ntar pesawatnya jatuh. Tapi kata Mama hidup ini indah. Jalani aja....
Bagaimana mau menjalaninya kalau memang hidup ini sama sekali tidak indah. Lihat saja, sepatuku sudah terbuka bagian depannya. Kata- tena-teman sepatuku minta makan. Bahkan Ibu guruku sendiri bilang begitu.
“Rin, beli sepatu baru yaa....malu dong, sepatunya udah minta makan.” Itu kata ibu guru bahasa Indonesia, Mamanya Dian Maryati Satria. Di kelas 6 SD kayaknya Cuma aku pake sepatu jelek.
Pulang ke rumah, takut-takut kuutarakan maksudku pada Mama. Mama hanya melirik sekilas dan berkata “sabar yach.....”
Aku minta sama Ayah. Ayah pasti marah padaku, dua bulan lalu akukan baru ganti sepatu. Sebulan lalu akau baru di belikan tas orens bergambar tweety and speedy gonzales. Ada Tom-nya lagi.
Iseng-iseng aja, ambil kertas tulis.....
Sepatu robek. Mama tidak sayang aku, Ayah juga. Tidak mau beli sepatu lagi, padahal teman-temanku punya sepatu bagus.....
Masih panjang lagi tulisanku. Aku lupa menyusunnya di rak buku, malah tergerakdibawah majalah Bobo.
Pulang dari kebun Ayah mengambilnya, dan membacanya. Aku tidur, paginya terbangun, di atas meja blajar kutemukan kotak terbungkus kloran. Ada tulisan di kertas buku tulis yang di robek rapi.
Buat :
               Rina
Kubuka kotak itu......
Aaaa....!!
Isinya sepatu. Ayah benar-benar membeliku sepasang sepatu ATT warna hitam. Meskipun teman-teman mengejekku, aku tetap bangga memakainya.
“ATT......! Anak Tukang Tempe.......!” emang gue pikirin.
Hidup ini indah. Benar. Cuma menulis satu halaman aku bisa dapat sepatu baru. Hidup ini indah, apalagi Cuma baca Bobo dan ngisi TTS di koran Waspada Minggu.
Ada berita heboh di koran. Keluarga Cendana di usut, apa itu di usut? Ah, peduli banget. Tapi hbat tuh koran kok bisa tau ya kalau orangan-orangan Soeharto itu......
“Itu kerjaan wartawan. Mencari berita untuk di beritahu kepada orang lain.” Kata Ayah menjelaskan.
Keren tuh! Mantap!
Aku mau jadi wartawan. Bisa tau segalanya. Bisa ketemu sama artis, presiden dan pintar. Hebat!
“Kamu kira enak jadi wartawan. Salah-salah nulis berita bisa ditangkap, lho..... masuk penjara. Mau?!” suatu hari Ayah berceritatentang wartawan.
Duh.....
Kok kayaknya makin menantang, yaa...... tekadku sudah bulat dan harus di pertahankan kebulatnnya. Aku pengen jadi wartawan.
Tapi kok banyak yang gak setuju, yaa.....karena aku perempuan? Gak ngaruh lagi. Kan banyak tuh wartawan perempuan.
Ups!
Ada dunia dalam berita di TVRI. Pembaca beritanya Teuku Malinda, keren banget. Belakangan aku baru tau kalo pembaca berita itunamanya anchor. Keren yaa....
Aku suka tuh jadi anchor. Bisa nggak yaa..... eh. Kalau mau jadi seperti itu kuliah di mana? Kedokteran jadi dokter, Ekonomi? Mungkin! Siapa tau Ekonomi.
Pokoknya aku mau jadi penyiar di TV aja. Keren! Dikenal orang, bnyak tau, cantik, dan menarik. Siapa sih yang gak suka.
Waktu terus mendewasakan kita, sampai detik demi detik tak terhitung lagi. Tak menyisakan satu kisah dan warnapun yang patut kita sesali. Ia terus bergulir tanpa tau arah, kemana harus melangkah membawa impian.
Kelas 2 SMU......
Kayaknya bukan usia yang terlalu kecil untuk menghayal lebih jauh. Yup! Salahkah aku punya mimpi sendiri untuk mewujukannya suatu hari nanti. Aku punya mimpi mengelilingi dunia, aku ingin punya toko  buku yang menjual berbagai macam sebesar Gramedia gitulah.....
Suatu kebanggaan buatku kalau punya impian sendiri. Aku pengen menjadi penulis layaknya JK. Rowling. Aku yakin aku punya bakat. 2 tahun menjadi ketua mading sekolah adalah suatu bukti kalau aku bisa tampil layaknya Asma Nadia atau Helvy Tiana Rosa. Keren!
Oh....No!
Mungkin mimpiku harus kukubur jauh-jauh kali yaa..... aku jebol di arsitektur Universitas malikussaleh, Lhoksemauwe. Oh, my god! Aku jadi arsitek. Aku masih bisa menulis, banyakkan yang jadi penulis itu bukan dari latar tulis-tulis itu, atau jurnalistik gitu, deh.....
Hu...hu.....
Tega! Tega memang. Aku nggak boleh ambil arsitektur. Katanya terlalu tinggi. Bukan apa-apa, mungkin orangtuaku takut tidak sanggup membiayaiku untuk melanjutkan study. Apalagi di arsitektur. Kan tinggi banget tuh.....
Entah doa siapa.....?
Kini aku dengan sukacita meraih mimpi di Komunikasi Penyiaran. Jadi wartawan oke, penyiar te-o-pe, presenter why not? Public relation keren tuh.......
* * *
aku melipat kembali kertas tempat isi hatiku tertuang di suatu malam sepuluh tahun yang lalu. Saat aku masih bimbang meraih asa yang tertinggal. Kini aku seorang editor di sebuah penerbit, hmmmmm.....namun usiaku tidak lama lagi.
Untuk menenang semuanya. Di dasar hatiku tertanam sebuah kisah yang amat indah. Dan itu hanya aku yang tau. Ternyata..... hidup ini memang indah, meski aku tinggal menghitung hari

Tidak ada komentar: