Kamis, 15 Desember 2011

Perempuan-Perempuan di Persimpangan

Pagi sepanjang jalan utama Banda Aceh sedikit sepi. Aktivitas kantor yang baru dimulai, setelah empat hari libur kembali. Suasana sepi tersebut memang sangat terpengaruh. Malah bagi “pebisnis” traffic light. Mereka juga merasakan suasana kurang beruntung.
Senin pagi, di tempat pangkalan biasanya, tak seorangpun terlihat  para Ibu-Ibu dengan bayi digendongan. Hingga Azan menyambut zuhur, suasana Simpang Lima, seputaran Mesjid Raya, Pasar Aceh, dan Jambo Tape sama sekali sepi. Dimana mereka? Tak ada yang tau.
Isu penggusuran orang-orang seperti mereka ternyata merebak di pangkalan tersebut. Itulah yang menyebabkan beberapa tempat itu tak ada penghuni. Tak heran, banyak yang merasa kehilangan, namun tak jarang yang masa bodoh dengan keadaan tersebut.
Namun, usai Dzuhur, menjelang Ashar. Suasana mulai berubah. Terik mentari perlahan mulai mengurangi kadarnya. Perlahan kendaraan bermotor mulai menyesaki jalanan. Anak-anak muda dengan sepeda motor tak kalah bersaing dengan kendaraan umum, bersaing menggunakan jalan. Bersama orang-orang terdekat, berjalan-jalan sore atau pulang kuliah dan les.
Semuanya melewati jalan utama. Berhenti di persimpangan, saat lampu merah menyapa. Beberapa menit mereka terpaku. Menatap lampu merah. Namun seketika perhatian pengguna jalanpun terganggu. Saat seorang wanita dengan wajah letih, kusam dan berkeringat berlapis debu. Tak ada keluh kesah karena itulah dunia mereka.
”Neu bie sedekah bacut (berikan sedekah sedikit) ujarnya lirih. Botol aqua besar dibelah dua. Bagian pantat botol menampung recehan jatuh ke sana. Lelaki di atas Supra X 125 warna merah dengan jaket coklat, tak memberi apapun padanya. Ia melangkah dengan tenang menuju antrian kendaraan lain. Seolah kerjaan maut itu adalah hal biasa bagi mereka. Dengan lincah, ia menghampiri dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Padahal sewaktu-waktu bisa saja salah satu kendaraan itu menerempetnya ketika lampu hijau menyala.
Ia menengadahkan tangan lagi kepada yang lain. Ada yang kasihan, melempar seribu rupiah pada Salmina, perempuan berkulit hitam, terpanggang matahari. Ada yang sekedar mengucapkan kata maaf, tak jarang Ibu dua anak ini didiamkan saja. Seolah ia tak ada. Seakan-akan ia adalah sesuatu yang menjijikkan. Tak perlu dilirik apalagi dilihat.
Dalam bekerja ia melibatkan kedua anaknya yang masih balita, sekedar untuk mearik simpati dan menambah penghasilan. Seorang anak laki-laki kurus, berkulit putih dan berambut pirang. Tangan kirinya didalam mulut, kulitnya basah oleh keringat. Celana kaos dongker dan baju kuning bergambar spongebob membungkus tubuh mungil itu. Tanpa sandal, Berjalan tertatih-tatih dengan aqua gelas kosong di tangannya. Tangan mungil itu menengadah seperti sang Ibu. Mata beningnya menatap tak mengerti pada pengguna jalan yang menatapnya.
Dari ujung ke ujung ia berjalan tanpa ada serupiahpun logam masuk ke gelasnya. Sesekali ia menatap sang ibu yang berjalan kesana kemari dengan baju biru kotor. Adik bayinya menangis dalam gendongan. Kepanasan, keringat membasahi hidungnya yang memerah. Tangisnya pecah saat lampu merah menyala dan sang ibu mulai bergerak.
Tangan sang Ibu cekatan bekerja. Tangan kiri menuangkan air mineral bermerek sling dalam mulut buah hatinya. Mulut bayi itu terus menganga, kehausan. Tangan kanannya cekatan berpindah dari satu orang ke orang lain. Menerima perlakuan tidak mengenakkan dan bahaya yang sewaktu-waktu terjadi.
Anak kecil berambut pirang sesekali melangkah di tepi trotoar. Mengacungkan aqua gelas kosong. Mata beningnya berkaca, menatap tak tak ada lagi jiwa-jiwa yang dermawan. Dimana manusia-manusia berdasi memberikan secuil pendapatannya. Untuk sekedar ia membeli es krim, seperti anak-anak lain.
Sesekali ia berhenti, duduk di taman jalan. Bermain tanah dengan tangan kosong dan berjalan kesana-kemari seorang diri. Dunia anak-anaknya seolah terampas dari sisinya. Ia harus bekerja, tapi tak tau untuk apa dan siapa. Namun fenomena kemiskinan harus dilalui dengan pengorbanan masa bermainnya.
Ia tak mengerti hukum yang telah diberlakukan oleh pemerintah tentang dirinya. Ia hanya korban ketidak adilan lingkungan. Bahkan UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak kini pincang.
Mungkin bukan tugas mereka untuk memikirkannya. Tapi julukan pengemis bukanlah nama yang baik untuk anak sekecil ini. Mereka punya nama minus di masyarakat. Meskipun hukum melindungi mereka jika sesuatu terjadi. Namun rasa kasihan berubah benci di masyarakat.
”Mereka hanya orang-orang malas. Mereka berpura-pura cacat untuk mengemis belas kasihan orang lain. Padahal banyak yang mereka bisa kerjakan. Coba kalau mereka mau berusaha, dia bisa menjadi buruh cuci atau bekerja lain yang lebih terhormat. Bisa kan kalau mereka mau membuat kue dan menitip di warung-warung. Tangan dibawah lebih baik daripada tangan diatas.” Ujar Sri Dewi Murni, salah seorang warga dusun Barat kopelma Darussalam saat melihat pengemis. Menurutnya pemerintah bukan tidak memberdayakan pengemis, tapi telah mereka tak bisa diatur sama sekali.
Anak-anak yang dilibatkan juga tak berhak dididik seperti itu. Tapi tak semua dari mereka tidak memberikan pendidikan bagi anak-anaknya. Banyak diantara mereka menyekolahkan anak-anak mereka. Meskipun sepulang sekolah mereka disuruh mengemis. Hasil dari mengemis itulah jajan mereka.
Tak semua orang mengemis karena malas. Ada karena faktor usia yang semakin senja, hingga ia berpikir cara untuk menyambung hidup. Seperti mak Nuriah, ia mencari nafkah di simpang lima dan digunakan untuk makan sehari-hari serta penginapan.
Lembaga perempuan di Aceh menganggap orang-orang seperti ini adalah korbann kemiskinan. Mereka terpaksa melakukan pekerjaan ini, solusi lain tak ada. Inilah tugas pemerintah kedepan.
”Ini masalah ang sangat besar dari kemiskinan. Makanya banyak pengemis yang turun ke jalan. Mereka mau tak mau terpaksa membawa anaknya ke jalanan.” ujar Raihana Diani, koordinator Beujroh ketika di hubungi lewat telepon.
Kekhawatiran Raihana Diani sebagai salah seorang tokoh perempuan di Aceh di tanggapi oleh Farida Zuraini, kasubdis Litbang dan program dinas sosial Nanggroe Aceh Darussalam. Dinas Sosial sendiri telah melakukan banyak hal untuk masalah anak jalanan. Sebelum tsunami sudah ada program-programnya, namun pascatsunami ini masih dalam proses.
”Setelah tsunami memang banyak perempuan adn anak-anak yang turun kejalan. Program dinas sosial kedepan ada beberapa hal, dan kita akan menjalin kerjasama dengan KPA untuk melihat kenapa anak-anak berada di jalan.” Katanya ketika dihubungi lewat telepon.
Namun dalam hal ini untuk anak tetap ada hukum yang melindungi. Apabila mereka melakukan kesalahan, LBH anak bersedia memberikan pendampingan hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
”Kita akan mendampingi anak-anak ang dilaporkan disini. Atau anak-anak yang ditunjukkan oleh kepolisian atau kejaksaan. Kita akan mendampingi mereka sebagai penasehat hukum. Meskipun ada perkara-perkara yang sampai kesini, namun bisa diselesaikan secara kekeluargaandan tidak sampai kepersidangan.” Tutur penasehat hukum alumni Unsyiah, Dahlia Farida.***

Tidak ada komentar: