Kamis, 15 Desember 2011

Partai Lokal, Bentuk Ketidakpuasan?


Pergantian jam mata kuliah, fakultas dakwah terlihat ramai. Apalagi sekitar koridor madding menuju BEMAF Dakwah. Di depan ruang bercat hijau itu sebuah kursi panjang di duduki oleh beberapa mahasiswa, menonton permainan tennis meja. Sebuah meja di tengah lapangan, warnanya mulai usang di makan cuaca. 4 orang laki-laki menangkis bola pingpong orens yang memantul kesana kemari.
Beberapa mahasiswa lainnya masih berjalan lalu lalang menuju beberapa arah. Ke kantin, fakultas Adab dan BIRO. Semuanya tampak tak peduli pada keadaan sekitar. Seorang laki-laki bertubuh tegap atletis, memakai kemeja putih dan celana coklat berjalan sambil tersenyum ramah. Ia mengambil posisi di bangku panjang sambil mempersilahkan dan menyapa beberapa orang.
Ia dikenal sebagai Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Dakwah (BEMAF Dakwah) periode 2005-2006. Beberapa hari yang lalu baru saja menyelasaikan study  strata 1 (S1) di jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, fakultas dakwah. Dialah T. Zulyadi, 24 tahun.
Lama bergelut dalam bidang keorganisasian membuatnya secara tidak langsung terlibat dalam pembicaraan politik. Aktivis ini menganggap partai local yang terlahir di Aceh adalah bentuk ketidak puasan rakyat terhadap partai nasional di Aceh. Kepahitan konflik masa lalu telah menumbuhkan sedikit rasa  ingin berbuat lebih bagi nanggroe  yang telah menaungi rakyat Aceh.
Hal ini terlihat dari kemenangan Irwandi-Nazar dan lahirnya patrtai local pasca penandatanganan Momerondum of Understanding (MoU), Helsinki 15 Agustus 2005 lalu. Di sana tercantum jelas bahwa partai local boleh terealisasi di Aceh. Namun, hanya Aceh lah satu-satunya yang memiliki partai local, sementara beberapa daerah di Indonesia belum memiliki  partai local seperti Aceh.
Partai local di Aceh menurutnya sah-sah aja selama ada kepengurusan jelas seperti partai nasioanal pada umumnya. Partai yang baik merupakan partai yang memeilki kepengurusan yang baik dan mengayomi harapan rakyat banyak.
“Partai local bisa lahir dan berkembang asalkan ada pengurus utama, daerah, cabang dan ranting seperti partai nasional. Karena tanpa ada kepengurusan seperti itu partai itu sama sekali tidak ada fungsinya.” Katanya.
Ada satu harapan yang sangat di tekankan pada partai local. Selayaknya partai nasional. Partai local setidaknya lebih berpihak pada masyarakat banyak, karena ia lahir dari rakyat dan hasil ketidakpuasan public. Apalagi ke depan parlok bias menenbus dan menguasai lembaga perpolitikan Indonesia. Bukan tidak mungkin dapat berdampingan sejajar dengan partai nasional lainnya.
Di tanyai masalah keinginan dalam terlibat dalam kancah politik, Pak Te, panggilan akrab mahasiswa dakwah untuk laki-laki ini hanya tersenyum lebar. Ia belum tertarik dalam berpolitik.
“saya pernah di tawari ikut andil di partai local, Partai Rakyat Aceh, tapi saya berpikir belum saatnya saya ke sana. Untuk saat ini sih belum. Tapi ke depan saya tidak tau. Mungkin saja saya akan bermain dalam politik tersebut.” Ujarnya menutup pembicaraan.
Suasana  sekitar BEMAF Dakwah mulai ramai begitu Pak Te duduk disana. Seorang laki-laki dari Fakultas Ushuluddin datang dan duduk di sisinya. Setelah mengobrol beberapa lama seorang perempuan menghampirinya. Menunjukkan skripsinya yang belum selesai. Beberapa saat mereka tampak berbincang akrab, memperbincangkan skripsi.
Sementara di depan secretariat BEMAF itu pemain tennis meja mulai berganti pemain. Beberapa mahasiswapun mulai memasuki ruangan. Membuka dunia dengan pendidikan, mengharapkan secercah harapan di masa yang akan datang. Berharap pimpinan ke depan akan memberi jalan mulus dalam memperebaiki pendidikan.***

Tidak ada komentar: