Kamis, 02 Juni 2011

Kuroi


Kuroi....!!

Dalam bahasa Jepang berarti Hitam. Lalu? Kenapa dengan kuroi ini?

Pasti ada sebab menagapa aku menulis kuroi. Aku menyukai hitam, lalu aku kana bercerita hal-hal yang sedikit aneh tentang pengalamanku tenatang hitam. Ada benarnya juga aklau berpikir seperti itu.

Kuroi addalah nama laptopku. Mereknya Acer seri Aspire 4730z. 14 inchi, kalau teman-temanku bilang laptop lempar anjing. Mungkin karena ukurannya besar jadi mereka berkata seperti itu.

Warnanya hitam, termasuk keyboardnya. Aku suka hitam dan aku menyukai Kuroi ini. Menurutku suatu keajaiaban aku mampu membelinya dengan jerih payahku sendiri (walaupun ada tempelan dari orang tua sedikit. Hehehe...).

Sudah lama sekali aku mendambakan punya laptop. Ketika orang-orang membawa laptp seperti menenteng handphone, siapa sih yang nggak kepingin? Apalagi bisa akses internet dimana-mana.

Karena itu pula aku bertekad harus punya. Macam-macam pekerjaan aku sandang untuk mencukupi kekeurangan ini.

Mengumpulkan honor tulisan sedikit demi sedikit, bahkan menjadi fasilitator dan semuanya aku jalani. Sampai uangku mencapai enam jutaan. Lalu orang tua menambah sedikit lagi. Akhirnya, kuroi aku miliki.

Kuroi.......!!! aishiteru....!!

Goodbye..


Wanita terlahir dengan segala sesuatu yang penuh pertimbangan dan perasaan yang peka. Segala hal masuk pertimbangan bagi seorang wanita, apalagi hal-hal yang tak pernah terpikir oleh para pria. Begitupun, wanita juga penuh dengan kepekaan tinggi.

Sesama wanita tentu memiliki rasa dan kebersatuan kepekaan yang sama. Namun, tak jarang pula para wanita tak memahami perasaan wanita lain. Tepatnya bukan tak memahami, tapi tak mau tahu atau memang punya niat untuk menyakiti.

Dalam kehidupan di ruang lingkup yang sama, tak urung itu terjadi. Sebutlah si Nadya (tokoh fiktif) berhubungan dengan Ray (tokoh fiktif). Keduanya pernah dekat dengan Desita (tokoh fiktif) di waktu yang berbeda. Namun setelah Nadya dan Ray pacaran, keduanya tak lagi bersama Desita. Karena Desita merasa punya andil dalam menyatukan mereka, maka ia suka berada di posisi orang ketiga.

Terkadang Ray sangat dekat dengan Desita tanpa peduli dari kejauhan Nadya telah mencuri-curi lirik. Bahkan memberi kode agar menjaga perasaannya dengan sedikit berjarak dengan Desita. Namun bagaimanapun Nadya memberi sinyal, tetap saja Ray tak mengerti. Ia tak peka.

Kata-kata “Nggak usah dekat Desita, aku cemburu” baru bisa memisahkan keduanya. Itu tak mungkin diucapkan oleh wanita karena masih memikirkan perasaan pacarnya dan wanita disampingnya.

Meskipun nantinya Desita bertanya kepada Nadya, “Nad, kamu cemburu nggak kalau aku dekat-dekat Ray?”. Jawaban Nadya tentu tidak.

Dalam hal ini bukan tak jujur. Terkadang wanita tidak leluasa terus terang kepada wanita lain karena beberapa sebab. Pertama, mengetahui tipe seperti apa wanita yang diajak bicara. Kedua, wanita ini pernah menjadi masalah dalam kehidupannya. Ketiga, wanita ini bukan seseorang yang cukup akrab dengan dirinya. Keempat, ia tipe yang tertutup.

Bisa jadi Nadya bukanlah tipe tertutup, ini bisa dilihat dari cara ia memberi sinyal-sinyal kepada Ray agar menjaga jarak dengan Desita. Hanya Ray yang tertutup dan tidak peka. Kasarnya, tak punya perasaan.

Terkadang wanita seperti ini lebih banyak merugikan diri sendiri. Ia memendam perasaannya karena pertimbangan-pertimbangan sepele. Seperti terlalu sayang jika mengambil keputusan memutuskan hubungan keduanya. Alasannya karena sudah terlalu lama berdua dan banyak kenangan pahit manis di lalui bersama.

Di sisi lain, wanita juga lebih banyak memikirkan apa yang harusnya menjadi masalah kecil ddan besar di antara keduanya. Para wanita berpikir bagaimana menyelesaikan masalah tersebut tanpa merusak hubungan baik antara dia, pacar dan orang ketiga (wanita lain) jika mereka memnag saling mengenal.

Bukan berarti semua wanita seperti itu. Ada pula yang cepat mengambil keputusan dengan alasan tak mau menyakiti diri sendiri. Terkadang latar belakang pemutusan sepihak ini bukanlah terjadi masalah besar.

Teman saya, Cecilia (bukan nama sebenarnya) pernah berbincang di telepon dengan pacarnya di depan saya. Awalnya mereka berbicara cukup menyenangkan. Bahkan saya ikut menggoda mereka dengan celetukan-celetukan usil.

Satu jam kemudian, mereka hanya bicara berdua tanpa ada gangguan. Pembicaraan mulai terlihat serius dan Cecilia mulai mengeluarkan kata-kata menolak dan seolah keberatan.

“Kalau begitu kita putus saja. Aku mau lihat seberapa bisa abang bertahan tanpa Lia”, ujarnya. Lalu telepon diputuskan.

Aku terpana. Lalu menatapnya penuh tanda tanya. Dia berkata dengan raut muka biasa-biasa saja.

“Putus.”

“Kenapa?”, tanyaku.

Mengalirlah sebuah cerita singkat dari mulutnya.

Ternyata pacarnya minta making love dengannya. Ia tak mau dengan alasan itu bukan hal yang lumrah dan dosa besar. Tapi pacarnya tak terima dan mengatainya kuno.

Cecilia mengutarakan argumentasinya, “kalau begitu cinta abang pada Lia tidak tulus, tapi karena nafsu”, ulangnya lagi.

Jawaban pacarnya cukup memancing emosi Cecilia. Ia menjawab ya. Menurut pacar Cecilia tak ada cinta di dunia ini. Setiap orang menjalani hubungan dengan lawan jenis tak ada yang tulus. Tak ada kata-kata cinta. Tetapi nafsu. Hanya orang boodh yang menjalani hubungan dengan mengatasnamakan cinta.

“Ya udah, goodbye saja” Ungkapnya.

Pacar Cecilia berkata demikian bukan berarti dia memang seperti itu. Bisa saja saat menelepon Cecilia ia dalam keadaan stress berat dan butuh seseorang yang bisa menenangkan.

Tak bisa dipungkiri, dalam kepala lelaki 80%-nya memang penuh dengan pikiran sex. Ia menganggap Cecilia teman yang asyik untuk berbincang ini. Ternyata masalah yang dihadapi oleh Cecilia juga rumit. Sehingga di saat seperti ini ia sendiri tak bisa menjadi teman ngobrol yang baik. Candaan seperti itu dianggap serius.

Berbeda dengan wanita yang lebih peka. Pria tak bisa membaca pikiran wanita di dekatnya. Ia tahu pacar atau seseorang yang dekat dengannya dalam masalah, tapi bukannya memberi solusi, tapi semakin mengacaukan suasana. Mungkin bukan maksud mengacaukan, hanya saja keadaan seperti ini tak bisa dikondisikan oleh pria.

Berbeda dengan wanita yang lebih peka. Jika pasangannya dalam posisi seperti itu, ia akan berusaha mencari solusinya. Setidaknya tak bercanda berlebihan yang berakibat fatal.

Pada hakikatnya. Antara pria dan wanita itu memang mempunyai emosi yang berbeda. Terkadang bisa sangat sensitif pada hal-hal tertentu yang tak terduga.


Calon Suami


“Kapan dirimu menyempurnakan separuh dari agama kita, say..?!” Pertanyaan itu diajukan oleh teman sekelasku saat Madrasah Aliyah. Kabarnya ia telah menjadi murabbi di kelompok pengajian kampusnya. Aku menghembuskan napas pelan dan mengetik balasan, “belum kepikiran tuh...”

Smsan berlangsung dari jam 8 malam hingga jam 1 dini hari. Aku tak peduli berapa banyak ia telah membalas sms aku. Dari cerittanya aku tahu kalau dia sedang dilema. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang menjalani ta’aruf dengan sdua orang lelaki. Satu orang Langsa dan satunya lagi memang orang Takengon. Mereka berdua sedang menanti jawaban dari temanku itu. Namanya Desi.

Hingga detik ini, aku belum terlalu peduli dengan pernikahan. Toh teman sejawatku di kampus baru 3 orang yang melepas masa lajangnya. Novi, Mei dan Nora. Selebihnya masih menikmati masa lajang dengan impian terbear kuliah master ke luar negeri. Bukan menikah. So, hidupku jauh lebih enjoy daripada memikirkan siapa calon suamiku kelak.

Pernyataan tak menyenangkan bukan berarti bebas keluar masuk kuping kiri dan kananku. Kalimatnya memang tak semanis lagu peterpan yang mengalun dendang ‘tak bisakah kau menungguku...”. aku merasakan lebih pahit.

“Kamu enak, punya pacar”
“Lainlah... Yang sudah punya suami”
“Kapan merit, nggak baik pacaran lama-lama.”

... dan sejenisnya.

Tapi yang peling penting bagiku sekarang adalah menganalisis kembali calon suami yang ada. Intinya aku tak mau penyesalan kemudian seperti yang sudah terjadi pada beberapa temanku. Mereka memang tak mengatakan menyesal secara berterus terang dan langsung. Tapi kalimat tak langsung dan bahasa non verbal yang ditunjukkan cukup membuat aku paham maksudnya.

“Menikahlah ketika siap. Jangan ntar kamu tak bisa memahami suami kamu. Suami kamu itulah yang kelak kamu harus patuhi setelah menikah,” Pesan Nora. Ia mengatakan sangat sulit memahami suaminya.

“Kalau mau nikah itu lihat bibit, bebet dan bobotnya. Waktu pacaran memang iya masih oke, pas ta’aruf juga oke sekali. Dia nggak macam-macam. Tapi biasanya setelah nikah tuh ulahnya keluar,” Kak Lena kembali mengatakan hal yang sama.

“Aku  pikir yang namanya pernikahan itu enak. Tapi ternyata banyak juga nggak enaknya. Aku merasa kesulitan sekali,” Mei tanpa diminta berbagi pengalaman juga.

Sekilas, aku mulai memahami makna suami yang sesungguhnya versi aku. Suami itu sosok yang diagungkan ntar. Eemmm, begitulah kira-kira. Tapi rasanya nggak seperti itu juga.

Menganalisis calon suamiku nantinya:
-        Aku nggak mau punya suami perokok. Selain tidak sehat, aku juga nggak mau matii konyol karena asap rokok yang ia suguhkan perlahan untukku.
-        Suami sampai larut malam di warung kopi. Nongkrong sih nongkrong, tetapi kalau sampai larut malam itu sudah kebangetan deh. Nggak mau aku!!
-        Transparan sama istri. Terkadang ada istri yang memang tak terbuka pada pasangannya. Aku tak mau ini terjadi padaku. Dia harus berterus terang soal apapun padaku. Aku kan istrinya. Masa sih aku juga mesti dengar dari tetangga. Hehehe
-        Selalu ada pas dibutuhkan. Pengennya sih 24 jam di samping aku. Tapi kalau itu terjadi mau makan apa? Ya, dia ngerti lah saat aku butuhin dirinya. Hmmm...
-        Menjadi imamku dan bisa mengendalikan aku. Ini penting, karena suami kan mestinya memang menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Ia mesti rajin sholat, biar aku yang jadi makmum setianya. Siapa sih yang nggak pengen masuk surga?
-        Menuruti dan menasehati. Aku mau ia selalu mengikuti semua keinginanku dalam hal positif. Tapi dia juga harus menasehati aku bila aku sudah mulai berlebihan. Seperti kebiasaan aku sekarang, mulai mengkonsumsi kosmetik produk swedia itu, selain harganya mahal aku juga belum tentu cocok menggunakannya. So, aku sangat berharap ia memberi amsukan dengan cara yang halus dan nggak nyinggung aku. Karena justru dengan itulah aku berubah.
-        Tidak melarang aku menulis. Izinkan aku menulis di media massa. Biarkan aku menulis di blog. Itu saja... Cukup bagiku, calon suamiku.
-        Sekolah, sekolah, sekolah. Ini mungkin agak berat. Tapi aku mau calon suamiku mengizinkan aku melanjutkan pendidikan meskipun ke luar negeri. Kalau mau ikut, ayooo......!!!
Kalau seperti itu yang aku inginkan, adakah seseorang yang mau menjadi pendampingku?

Aku dan Cahaya


A Point To Remember....

Film korea itu benar-benar membuatku terharu dan sekaligus takut dengan keadaan di sekeliling. Mengapa tidak, kisah yang amat tragis tapi romantis. Bagi orang lain yang juga menonton film yang sama mungkin tak tragis, tapi aku punya pandangan sendiri terhadap film ini. Bagaimana tidak, kisahnya benar-benar mengharu biru.

Berawal dari pertemuan seorang gadis dengan seorang pria beristri di depan sebuah market Farm Family. Lelaki ini seorang arsitek yang ingin melepas dahaga dengan sebotol minuman kaleng. Namun gadis ini malah merebut minuman itu.

Berujung pada pertemuan yang lebih serius dan mereka menikah. Sayangnya, cewek ini punya kelainan yang tidak biasa. Ia peka cahaya, jika sudah terlalu lama berada di cahaya, ia akan pingsan dan hilang ingatan.

Penyakitnya ini terkadang membuat kecewa si cowok, tapi karena cinta yang begitu besar pada cewek itu, ia bisa menerimanya dan berusaha menyembuhkankan si cewek.

Sungguh, cerita yang mat romantis. Karena pada akhirnya semua orang mencintai si cewek itu kembali bisa melihat cewek itu dan menerima lelaki yang mencintainya dengan sepeuh hati.

Bukan terinspirasi dari film. Tapi setelah menonton film ini aku semakin yakin keanehan yang terjadi padaku itu ada kaitannya juga dengan cahaya.

Beberapa hari ini panas memang sangat menyengat. Tapi aku tak pernah mengalami ini sebelumnya. Sakit yang teramat dalam di dalam kepala. Kemudian semua terlihat remang-remang. Ada sesuatu yang berputar di dalam perut. Keringat dingin mengucur membasahi baju, lalu semuanya gelap.

Aku takut ini berkelanjutan dan aku pingsan di jalan. Bagaimana mungkin aku bisa mengontrol diri dan berkata pada diriku, “jangan pingsan dulu. Aku belum sampai rumah”. Impossible....

Tak mengapa jika di rumah.

Sudah beberapa malam aku terlelap ketika jam sudah menunjukkan dini hari. Saat semua kehidupan dalam buaian mimpi. Namun aku tak pernah tahu dan emnyadari kalau aku mengidap kelainan selain imsomnia.

Kepalaku sakit begitu cahaya terlalu terang menerobos. Gejala yang sama seperti aku sebutkan tadi bermula. Paginya aku terlambat bangun dan tak sanggup menatap hari sama sekali.

Ah, cahaya itu terkadang berusaha membunuhku.