Selasa, 22 Oktober 2013

Day 2210.2013: Dia Sedang P.hD?

Berbicara soal pernikahan memang sangat sensitif di usia melewati 25 tahun. Apalagi saat kebanyakan teman-teman seangkatan sudah menikah dan dikarunia anak. Banyak anggapan negatif ketika masa penantian jodoh diisi dengan hal positif seperti bekerja atau melanjutkan pendidikan. Seolah hanya mengejar karir dan tidak mau menikah.

Padahal bukan karena tidak mau, tapi jodohnya saja yang belum mendekat. Jika belum jodoh, di depan penghulu pun bisa tidak ajdi menikah. So, apa salahnya berpikir positif dengan slow but sure..

Hal seperti ini juga saya alami ketika di Banda Aceh. Berbeda dengan di Beijing. Semua orang tidak peduli status seperti ini. Kebanyakan dari mereka hanya bertanya, "Kamu sudah menikah?" atau "Bertunangan?". Itu juga karena mereka melihat cincin emas yang melingkar di jari manis saya.

Sebelum berangkat ke Beijing, saya sempat sms-an dengan sahabat saya yang sudah berkeluarga. Ia menikah pada tahun 2009 dan sekarang memiliki seorang putra. Kami membahas banyak hal, termasuk pandangan orang-orang setelah saya pergi nanti.

Saya menanggapi setiap kalimat Julka Maizar dengan tertawa-tawa saja. Dalam hati saya membenarkan. Tapi saya belum membuktikannya saja.

Di Beijing, status lajang tanpa ikatan pacaran sepertinya terlihat aneh dan tidak laku. Sampai-sampai pertanyaan "Apakah kamu sudah mempunyai pacar?" menjadi topik dalam materi pelajaran. Pelajaran yang sangat menyebalkan sebenarnya, karena dengan begitu saya harus siap menerima pertanyaan-pertanyaan. Apalagi jika menyangkut umur.

Kentungan buat saya mungkin tidak ada. Saya hanya mendapat predikat cewek paling imut dan mungil di kelas karena tinggi dan berat saya di bawah rata-rata siswa lainnya. Bahkan saat saya menyebut umur saya 26 tahun, banyak yang menyeletuk, "Zen de ma?" atau bila diartikan dalam bahasa Indonesia berarti "Benarkah?"

Saya hanya mengangguk saja. Membiarkan orang-orang dengan wajah melongo menatap saya seperti itu. Satu keuntungan bagi teman sekalas yag usianya memang lebih tua dari saya. Perlakuan mereka kepada saya yang menganggap lebih mudah tidakk berubah. Tapi begitu orang yang lebih muda sangat kaget dan terkadang sikap mereka justru berubah kikuk.

Pelajaran tentang pacar masuk di mata pelajaran perccakapan, yang menuntut semua orang harus menjawab pertanyaan dan bercerita dalam bahasa mandarin plus inggris. Semua bersiap dengan android dengan berbagai merek. Kecuali saya, tidak punya android dan hanya bertahan dengan hape Nokia tat tit tut saja. Saya berpikir untuk mengeluarkan kata-kata yang mudah dan saya pahami dalam bahasa mandarin atau inggris.

Hingga akhirnya, tibalah waktu saya bercerita. Hati saya mendadak galau. Jujur atau tidak. Tidak ada yang tahu. Tapi saya sadar, di kelas kisah hidup saya selalu dinantikan banyak orang. Sehingga ketika dosen memanggil nama "Kai Li Na" tentu saja semua orang akan terdiam.

"Kamu punya pacar?" Tanya laoshi dalam bahasa mandarin.

"You" yang artinya punya.

"Ta de duo da?"

Laoshi bertanya, umurnya berapa?

Saya jawab, "28 tahun" ershiba sui le.

Hening.

Untungnya tidak ada pertanyaan lanjutan seputar pacar saya. Jam 12 siang, ketika pulang kelas. Saya dan teman saya dari kelas berbeda bertemu. Dia berasal dari Thailand dan sedang mengambil P.hD di kampus yang sama.

Kami bercerita banyak hal. Dari cerita kami aku tahu dia tidak dalam hubungan pacaran. Dia berkata pernah pacaran, tapi sudah lama sekali. Bahkan dia sudah lupa bagaimana wajah mantan pacarnya. Dia tak banyak membahas masa lalu percintaannya. Saya pun ragu, apakah dia normal atau tidak.

Saya banyak bercerita, sekaligus mewanti-wanti agar dia tahu bahwa saya sedang berstatus. Meskipun dia sangat baik dan selalu melindungi saya dalam banyak hal.

Saat tengah menyuap makanan, tiba-tiba dia bertanya yang membuat saya tersedak. "Pacar kamu sedang P.hD di mana?"

Bayangan pertama yang muncul adalah wajah Meimei, sahabat saya. Pertanyaan itu pernah dikatakan oleh Mei pada saya. Itu yang akan ditanya orang-orang pada saya nantinya.

Jujur.

Saya bingung menjawab bagaimana. Dalam bahasa Inggris pula. Kalau dia mengerti bahasa Indonesia, tentu saja gampang bagi saya untuk menjawab "Nggak penting dia kuliah dimana. Selama kita saling memahami." Kalimat yang keluar justru, "Dia sedang menyelesaikan kuliahnya di Indonesia. Karena kendala di kampus. Sistem pendidikan di Indonesia sangat rumit. Tapi dia sudah menyelesaikan gelar sarjana mudanya, kok"

Teman saya hanya ber "Ohh..." panjang. Lalu bertanya, "Kamu berencana mengambil P. hD di Inggris.  Bagaimana dengan dia?"

Kembali saya bingung. Kalau saya sudah menikah, ya tentu saja saya boyong ke Inggris. Percakapan demi percakapan kemudian mengalir begitu saja, berubah dari soal dia P.hD di mana sampai baik buruknya sebuah hubungan jarak jauh.

Namun, pertanyaan ini justru membuat saya kangen pada Julka Maizar, seorang teman yang memiliki motivasi dan impian tinggi ketika kami masih kuliah dulu. Dia punya cita-cita yang menurut saya orang lain tak pernah berpikir seperti dia.

Kerinduan saya pada Mei justru ingin terus mendoakannya di sana. Semakin saya mengingatnya, semakin dalam pula rrindu saya pada teman saya itu. Bahkan ketika saya duduk di tempat paling indah di kampus bersama teman Thailand saya, terbayang masa-masa indah ketika kuliah. Dia duduk bersama saya di tempat ini dan bercerita apapun yang kami mau.

Note:
Very miss you, Mei..



Senin, 21 Oktober 2013

Day 2110.2013: Lagu Yang Aku Inginkan

Semingu yang lalu, begitu jam pelajaran yufa jeda, Wu laoshi menyalakan musik. Ia membiarkan mahasiswanya mendengar lagu mandarin di kelasnya. Saya kebetulan tidak keluar dari kelas, karena dingin dan sedikit pusing. Kepala saya berdenyut minta dipalu.

Saya merebahkan kepala di atas meja. Beberapa teman sekelas saya sibuk mempraktekkan bahasa Spanyol. Kebetulan orang-orang Eropa pernah belajar bahasa tersebut di sekolahnya dulu. Kebetulan ada murid baru yang menggunakan bahasa spanyol di kelas, jadi mereka terus mempraktekkannya.

Teman saya dari kelas sebelah juga tidak muncul. Sepertinya dia sedang menggerjakan tugas bahasa mandarin yang mulai menumpuk. Saya sedang tidak berminat ke kelas sebelah walaupun sekedar say hello.

Saat itu laoshi saya datang menghampiri, "You wenti ma?"

Ada pertanyaan.

Saya bilang tidak sambil mengangkat kepala. Kepala saya mendadak panas. Biasanya ini firasat ada sesuatu yang buruk dengan saya atau orang-orang terdekat saya. Bukan berniat untuk meyakini hal-hal yang demikian, tapi firasat melalui kondisi tubuh bagian tertentu sering kali saya alami bertahun-tahun silam. Sepanjang istirahat saya coba alihkan perhatian ke hal-hal lain. Hari itu saya mencoba membaca karakter hanzi yang muncul sebagai text lagu di layar infocus.

Irama lembut mengalun dari loudspeaker. Sepertinya saya pernah mendengar lagu ini. Saya dengarkan baik-baik.

“Laoshiiii...., wo yao zhe ge chang ge" Teriak saya tiba-tiba. Laoshi baru berjalan beberapa langkah dari saya.

Teman-teman yang masih tersisa di kelas tertawa.

"Laoshi, wo yao zhe shuo ge" Wu laoshi langsung meralat kalimat saya. Sementara saya hanya terbengong-bengong karena kebingungan. "After the class I give you"

Baiklah...

Dengan semangat 45 saya menunggu kelas usai. Namun sayangnya begitu kelas selesai bukannya diberikan lagu itu. Tapi laoshi malah bilang kepada saya, "Kai Li Na, I'm sorry. I not find this song in my laptop"

Hadooohhhhh!!!

Tapi laoshii berjanji mencarikan untuk saya. Besoknya laoshi lupa memberikan lagu tersebut pada saya, saya pun tak memaksanya lagi. Ia meminta email saya. Saya berikan, tapi begitu saya cek email, lagu yang dimaksud tidak ada.

Saya berniat melupakan.

Masalah pun sudah bermunculan. Saya sakit kepala juga karena kedinginan. Belum lagi kendala saya bahasa Inggris pas-pasan dan bahasa mandarin jungkir balik. Saya lupa lagu itu.

Senin pagi yag cerah, saya masuk ke kelas terlambat. Saya masuk di jam kedua. Jam pertama saya lewatkan di tempat tidur. Karena semalaman kepala saya seperti dihantam batu. Akibatnya saya insomnia. Saat jam pelajaran berakhir dan saya meminta ppt pada laoshi, ia berkata, "Kai Li Na, check your email".

"Gmail or yahoo?"

"Gmail"

Pulang kuliah saya bersama teman baik saya langsung ke kantin. Makan. Begitu kembali ke asrama saya langsung menyerbu laptop. Menyalakannya dan menunggu loading. Kemudian sholat Zuhur. Tidak sabar rasanya saya ingin segera membuka email itu.

Benar saja.

Satu lagu sudaj dikirim ke email saya. Lagu itu terus saya putar berulang kali sampai sedikitnya saya hapal. Lagu ini berkisah tentang persahabatan yang sudah dilupakan. Bagus.

Mungkin banyak yang berkomentar, carii aja di youtube atau google. Kenapa mestti ribet. Nah, benar!

Kalau lagunya dalam tulisan latin saya tentu dengan mudah bisa mengubek-ubek google. Permasalahannya adalah saya tidak bisa membaca hanzi. Dan saya tidak tahu apapun sampai hari ini laoshi saya memberikan lagu tersebut pada saya.

Saya sedang sedikit stress. Galau juga iya. Anehnya, lagu ini bisa mengobati perasaan saya yang campur aduk. Entah karena laoshi saya memberikan lagu ini untuk saya atau pun karena saya memang bisa makan dengan kartu kantin yang jarang sekali saya gunakan.



Jumat, 18 Oktober 2013

Day 1810.2013: Cantik Malah Jelek

Pulang makan di warung muslim, aku dan temanku berhenti di depan sebuah toko pernak pernik. Tanpa aba-aba kami memutuskan untuk masuk. Eveline hanya melihat-lihat bagian pintu, aku juga demikian. Aku sama sekali tak berniat membeli. Tapi mataku terlanjur bertumpu pada stiker keyboard yang terpajang indah di sana.

Kulirik satu persatu tanpa minat, kenyataannya aku malah jatuh cinta pada dua motif yang menurutku sangat cantik bila menyentuh keyboard Kuroi. Warnanya perpaduan tosca dan ungu. Semua keyboard hurufnya ungu, dan yang lainnya tosca. Oh, benar-benar yang aku inginkan. Hurufnya juga bentuk Comic San. Tidak monoton sedikit pun. Kuputuskan untuk membeli. Harganya cuma 7 yuan, seharga 14 ribu. Sementara di Banda Aceh harganya di atas 15 ribu. Aku pikir... Cukup murah!

Ketika aku kembali ke kamar, aku langsung membuka laptopku dan memasangnya di sana. Sayangnya, apa yang aku  harapkan terjadinya kebalik. Kuroi bukannya cantik. Tapi malah jadi jelek.

Empat keypad tidak ada stikernya, belum lagi beberapa keypad harus menerima bagian terkecil. Pokonya jelek sekali hasilnya. Aku jadi berpikir sedikit menyesal membeli keypad ini. Hiks..

Day 1810.2013: Residence Permit-ku Sudah Selesai

Selasa sore, aku diberi kamar oleh Man, mahasiswa S3 di CUC yang juga sedang menjalani kelas bahasa sebelum memulai kuliah tahun depan. Dia berasal dari Thailand, orangnya asyik dan humoris. Ia suka memanggilku Unta karena kemiripan nama dengan Ulfa. Sungguh panggilan yang menyebalkan.

"Unta, residence permit-ku sudah selesai. Aku sudah mengambilnya kemarin." Katanya riang dalam bahasa Inggris.

Aku menatapnya saja sambil pura-pura iri.

“Aku belum selesai. Enak ya kamu, bisa langsung jalan-jalan." Kataku. Padahal dengan temperatur begini mau jalan-jalan kemana? Sepertinya keliling Beijing pun sudah teler setengah mati.

"Aku bisa pulang ke Thailand semester depan.” Katanya lagi. Girang sekali. "Jangan lupa. You have bribe with me" Dia mengingatkan.

Bribe? Sogokan.

Ah ya..

Aku punya janji memasak masakan Indonesia untuk dia. Sejauh ini aku belum punya ide untuk memasak sesuatu yang simpel dan enak serta bahannya mudah dicari di Beijing. Aku hanya berjanji. Tentu saja, dia juga punya janji untuk masak Tom Yam Kung untukku.

“Ulfa, pergi ke office dan tanyakan pada miss Anqi. Kapan paspormu selesai. Kupikir punyamu pun sudah selesai" Katanya.

"Belum. Kamu lebih dulu menyerahkan berkas ke office. Aku seminggu atau dua minggu sesudah kamu mengantarnya ke office"

"Jadi kapan kau mengurusinya?"

"Hari kamu menyuruhku ke office untuk membuat residence permit"

Dia mengernyitkan kening, kulit putih mulusnya kentara dengan baju tebal biru dongker. Sambil gemetar kedinginan dia berkata, "Me? Said to you?"

Aku mengangguk, "You said... Ulfa, today.. go to office and give your document to miss Anqi" Aku mengulang perkataannnya di pertengahan September silam.

Dia sepertinya tidak ingat.

"Ayo... Kita pergi ke office sekarang dan menanyakan paspormu. Kalau lama-lama di sana bisa hilang, Ulfa" Ia memaksaku untuk pergi.

"Tapi miss Anqi bilang aku akan menerima sms darinya bila residence permit-nya selesai" Aku masih menolak. Office itu letaknya dekat pintu selatan, siapa yang mau dengan suasana dingin begini kesana hanya untuk bertanya. Bertanya!

"Ayolah... Tanyakan saja, Ulfa"

Aku berkilah dengan alasan lainnya. Akhirnya dia memang menerima alasanku. Dia mengantarku ke gedung International Center。 Dia bilang padaku dia punya teman di lantai sepuluh, ia juga menunjukkan kartu pustaka padaku. Sebuah kartu yang menurutku produk gagal meskipun bentuknya bagus.

Fotonya jelek sekali. Berulang kali ia menutup foto wajahnya dari paksaan tanganku. Aku kembali ke kamarku dan dia menjumpai temannya di lantai 10. Aku tidakk tahu siapa, kurasa ia adalah seseorang yang berasal dari Thailand juga.

Begitu aku merebahkan badan di atas spring bed empuk berlapis sprei putih khas hotel dan selimut putih, ponselku berdering. Sebuah SMS masuk dengan nama SIE CUC. SMS itu berisi: Your passport is ready for pick up from office. Anqi (中国传媒大学).

Residence Permitku juga sudah selesai. Rasanya aku senang sekali. Aku mengirim sms pada temanku. Kukatakan padanya aku baru mendapat sms dari office untuk mengambil pasport-ku. Dia mengatakan padaku agar segera mengambilnya.

Aku memutuskan mengambil besok. Kupikir kalau mengambil sekarang tentu saja aku sangat lelah. Namun keesokan harinya juga aku lelah. Tidak sanggup mengambilnya.

Aku baru sempat mengambil pada hari Jumat sore. Miss Anqi memberikannya padaku dengan senang hati. Passport-ku, satu-satunya milik mahasiswa Indonesia yang terdaftar sebagai mahasiswa berstatus beasiswa. Aku tidak tahu harus malu atau bangga dengan status itu.

Setiap tahunnya aku akan memperpanjang residence permit. Begitupun dengan mahasiswa atau pekerja yang menetap diri uar negeri. Ini mungkin sejenis pajak tinggal baru orang asing di negara yang bukan negaranya sendiri. Residence permit akan memperjelas status kita sebagai warga negara asing yang menetap dengan status sah di negeri tersebut.

Bayangkan jika kita hanya mengurus visa tanpa residence permit. Sementara kita akan menetap dalam jangka waktu lama. Aku rasa negara manapun tak akan segan-segan mempulangkan si pemegang paspor ke negara asalnya.

Residence Permit saya akan habis masa berlakunya pada tanggal 17 September 2014, artinya saya harus segera memperpanjang sebelum tanggal tersebut. Setidaknya, saya harus menabung sebesar 1 juta lebih dalam rupiah untuk membayar izin tinggal di negara tirai bambu ini.

Kamis, 17 Oktober 2013

Day 1710.2013: Demam

Aku terbangun dengan mata yang masih berat. Mengantuk. Perutku terus saja berkeriuk, bukan minta makan, tapi berulang kali mengeluarkan apa yang sudah kuisi di dalamnya. Kurasa aku memang butuh sesuatu yang bisa menahannya untuk terus mengeluarkan sesuatu.

Badanku juga hangat. Kepalaku nyut-nyutan. Aku tahu ini gejala sakit. Seperti biasanya, jika sudah terlalu dingin, maka kepalaku seperti dihantam ribuan ton paku. Menusuk sekali. Dan lagi... Mungkin langganan setiap lebaran. Mengingat setiap kali lebaran aku selalu sakit.

Di sini, di Beijing, aku melewati lebaran di ruang kelas. Hari ini aku mengikuti semua pelajaran dengan dictation, aku tidak bisa mengerjakan setiap kalimat dengan benar. Aku lupa. Aku tidak bisa mengingat hanzi meskipun bisa membaca dan mengetahuinya. Banyak karakter yang aku tak paham. Kupikir, aku harus mulai belajar mulai hari ini. Membuat kalimat dan menyelesaikan semua PR yang menumpuk.

Sayangnya..

Itupun aku tak sanggup kerjakan. Aku baru menyelesaikan satu bab saja, melanjutkan tugas yang aku kerjakan di kelas tadi. Bukannya selesai. Aku tertidur pulas hingga magrib. Ketika bangun badanku tambah tidak nyaman.

Kondisi seperti ini tentu tidak mungkin aku kabarkan pada orang tuaku. Hanya teman yang bisa memberitahu aku solusi apa yang bisa aku tempuh. Ya, seperti yang juga akan orang sarankan, "Pergi ke rumah sakit。”

Bedanya, temanku ini lebih rinci karena kami sama-sama mahasiswa beasiswa dari pemerintahan. "Pergi ke klinik kampus di dekat gerbang utara, kemudian ambil resep dan minta stempelnya.. Lalu bawa resep dengan stempel dan struk pembayaran ke kantor. Berikan pada miss Anqi. Ia akan menggantikan uang yang kamu keluarkan."

Aku cuma berterimakasih saja padanya. Aku sendiri ragu, apakah orang-orang di sana bisa berbahasa Inggris? Jika bisa, aku pikir ini jauh lebih baik. Jika tidak bagaimana aku bisa mengeluh sakitku pada mereka?

Mungkin aku akan pergi dengan Eveline dan meminta bantuannya untuk menterjemahkan untukku. Itu jauh lebih baik daripada menunggu di kamar menunggu keajaiban. Belum lagi jika aku sampai tidak mempan minum obat Indonesia. Aku membawa satu lempeng paracetamol dari Indonesia, beberapa butr entrostop, dan enervon C. Semuanya sudah aku siapkan untuk penghadang sakit di sini. Ternyata banyak yang mengatakan justru tidak cukup.


Selasa, 15 Oktober 2013

Day 1610.2013: Beijing 1 Derajat Celcius

Aku terbangun ketika melihat semburat cahaya terang melalui jendela kamarku. Layar biru dengan motif abstrak agak putih menutup cahaya terang di luar sana. Mataku langsung membelalak lebar begitu sadar hari ini aku tidak libur lagi. Kemarin dua orang dosen yang masuk memang memberiku izin tidak masuk karena merayakan idul Adha. Tapi sekarang aku masuk kuliah seperti biasa.

Aku langsung ke kamar mandi, menyalakan air keran wastafel dan kembali ke kamar untuk memanaskan air di teko listrik. Aku menyalakan air di keran untuk mendapatkan air panas dan membuang air kotor sisa tabung. Begitu saran temanku. Sembari menunggu air kotor terbuang, kusiapkan pakaian untuk ke kampus.Kurapikan tempat tidur, meskipun pelayan kamar akan dengan setia dan rapi merapikan tempat tidur dan kamarku.

Bagiku mereka adalah manusia. Sekalipun itu tugasnya, aku tidak boleh membiarkan orang-orang itu melakukan hal yang lebih berat di kamarku.  Sebisa mungkin aku merapikan tempat tidurku sendiri. Ayi-ayi itu cukup menyapu kamar, mengelap meja, membuka jendela dan membersihkan lantai kamar mandi, wastafel serta closet saja. Hal yang tidak bisa kulakukan karena keterbatasan peralatan.

Aku masih menggunakan gayung dan mengambil air yang aku tampung di wastafel. Meskipun di kamar mandiku tersedia shower untuk mandi. Aku malas menggunakannya. Bagiku terlalu lama mandi menggunakan shower.

Aku belum keluar dari kamar, tapi aku menebak di luar sangat dingin. Malam kemarin temperaturnya sudah 4 derajat celcius, bukan berarti hari ini tidak mungkin sedikit lebih tinggi atau rendah.

Namun setelah mandi, berpakaian dan keluar dari kamar. Udara sejuk langsung menusuk ke dalam tulang. Dingin sekali.

Begitu keluar dari gedung International Center Building, dinginnya begitu menusuk dan membuat kering. Kering sekali. Bibirku yang tak kuoleskan pelembab langsung mengeras dan terluka. Kupercepat langkahku sampai ke lantai empat gedung kuliah. Kecepatan langkah dan tenaga yang kugunakan untuk naik tangga justru tidak membuat badanku sedikit menghangat. Aku justru kedinginan dan sesak napas.

Di kelas hanya beberapa orang hadir. Kebanyakan dari mereka terlambat bangun atau memilih masuk di jam kedua karena cuaca dingin. Aku sebaliknya, lebih baik terlambat dan masuk kelas pada jam pertama daripada ketinggalan satu jam pelajaran. Tentunya aku tidak paham lagi apa yang diajarkan sebelumnya.

Aku memakai tiga lapis pakaian. Satu lapis pakaian long john, sejenis kaos lengan panjang yang ngepress di tubuh tapi hangat. Satu lapis jaket tebal dengan bagian dalam bulu-bulu dan selapis lagi luaran seperti mantel tapi mirip jaket dan modis seperti blazer. Tebal dan hangat. Itu pun belum membantu untuk membuat aku menjadi lebih hangat.

Di kelas juga masih dingin. Sepertinya pihak kampus juga belum berniat memasang menyalakan penghangat sentral di dalam kelas. Aku pikir hanya aku yang merasakan dingin ini. Maklum, di Indonesia tidak ada musim dingin apalagi salju. Tidak hanya itu, Banda Aceh kota yang sangat panas. Sedingin-dinginnya Banda Aceh temparaturnya 21 derajat. Sekarang, hari ini, detik aku menulis catatan ini, matahari bersinar terang. Tapi temperaturnya hanya 1 derajat.

Dinginnya menusuk.

Aku tidak tahan dingin. Di Takengon, Aceh Tengah, rasanya aku terkapar tidak bangun-bangun lagi ketika malam tiba. Di Beijing aku tidak boleh terkapar.

Di kamar saja aku memakai sandal tebal bulu-bulu denga kaos kaki tebal dan jaket lengkap. Aku memanaskan air berulang kali untuk menghangatkan tubuh.

Untunglah temanku sedikit cerewet mengingatkan. Dia terus mendesakku untuk beli jaket tebal, baju dingin, perlangkapan musim dingin lainnya. Sebenarnya aku ingin beli pas musim dingin tiba. Katanya harga lebih miring dan bisa dibanting sesuai dengan keinginan pembeli.

"Siapa yang mau jualan musim dingin, buk?!" Dia akan berkata seperti itu dengan intonasi tinggi dan sedikit menyebalkan.

Finally...

Apa yang dia katakan benar. Apa yang teman-temanku yang lain bilang bukan tidak benar. Mereka juga benar. Namun berbeda kondisi daerah, sehingga mengeluarkan duit lebih mahal itu sedikit bukan masalah.

Sampai hari ini aku belum memiliki perlengkapan yang lengkap untuk musim dingin. Aku hanya memiliki satu jaket musim dingin untuk luaran. Aku beli di mall dengan harga diskon. 300 ribu bila langsung dirupiahkan. Saat pulang makan malam, aku mengajak temanku untuk melihat-lihat pasar malam. Kenyataannya aku mendapatkan satu baju musim dingin panjang warna putih dengan harga 50 yuan. 100 ribu rupiah. Aku tidak tahu kenapa semurah itu. Yang penting aku sudah punya dua.

Aku sendiri tidak yakin itu bisa menjagaku sampai temperatur minus 20 derajat. Namun temanku berrpesan agar aku membeli produk Uniqlo yang harganya memang nyaris 1 juta bahkan lebih 1 juta bila dirupiahkan. Tapi itu sudah cukup bagus dan melindungi tubuh dari dingin. Sayangnya aku belum bisa memiliki merek yang mahal itu. Kupikir, sebaiknya aku beli tahun depan atau saat obral besar-besaran saja nanti.

Temanku memberi saran, "Kurusin dulu body kamu, terus ntar setelah kurus ablek lagi ke mall dan beli ukuran anak-anak. Lagian kan tinggi kamu tingginya anak-anak. Bukan dewasa."

Awalnya sebal dikatai begitu.

Setelah aku pikir iya juga ya.
Untuk ukuran sudah oke. Pas panjangnya, pas besarnya. Hanya menderita di bagian perut saja. Kupikir, jika musim gugur sampai awal musim dingin berhasil menurunkan berat badan. Aku bisa membeli satu yang bermerek. Aku sudah mengincar warna putih atau biru muda. Bagus sekali.

Terkadang aku berpikir juga. Kenapa beasiswa tidak mencakup perlengkapan musim dingin sekaligus. Bukankah itu masuk ke bagian kesehatan?

Setelah aku hitung-hitung, perlengkapan musim dingin saja, bukan merek terkenal, butuh duit lebih kurang 3000 yuan. Lebih kurang 6 juta dalam rupiah. Ck ck ck!

Day 1510.2013: Seseorang di Depan Pintu

Aku dan Eveline tengah bercerita sambil tertawa keras di kamar. Jam sudah menunjukkan waktu Isya. Sambil mengobok-obok google dan mencari tahu cara menelepon murah dari Beijing ke Indonesia, aku ikut tertawa. Sebenarnya aku tidak konsentrasi mendengarkan ceritanya. Ia bercerita tentang temannya yang setengah mati naksir cowok yang lebih muda tiga tahun darinya.

Aku tidak menyadari ada sebuah pesan chat masuk. Dari sahabatku yang berwarga negara Thailand. Dia berkata padaku sudah mendaftarkan diri di Shufa (chinese calligraphy) class. Besok ia akan dikonfirmasi lagi untuk kuota kelas. Apakah masih tersedia atau belum. Ia sangat girang, terlihat dari cara dia memanggilku, "Unta, I already regis, but I have to wait, laoshi will tell me tomorrow the class full or not".

Dia mengabariku sudah mendaftar.

Aku hanya mengatakan sangat berharap kalau kelasnya tidak penuh dan dia bisa bergabung bersamaku untuk hadir di kelas chinese calligraphy. Apalagi ini kelasnya gratis. Hanya lima kali pertemuan, kemudian kami bisa belajar baik di sini. Tempatnya memang jauh, tapi kupikir tidak terlalu jauh untuk mencari ilmu. Kami menggunakan ditie (subway) yang kecepatannya melebihi rata-rata. Mungkin setiap Rabu kami hanya butuh waktu ekstra saja untuk mengejar waktu ke Line 13 dan mengganti zhan (stasiun) berulang kali. Lalu berdesakan saat jam pulang kerja.

Saat tengah membalas chat dengan teman Thailand saya, tiga kali ketukan terdengar pelan di pintu.

"Siapa itu?" Tanya Eveline, teman Indonesia saya.

"Paling Clara. Katanya dia mau datang kemari sepulang kuliah" Kataku sambil bangkit dari meja rias dan berjalan ke pintu. Kepala saya dibungkus dengan syal rajutan warna abu-abu hasil karya teman saya di Banda Aceh. Namanya Iza.

Aku membuka pintu. Tidak ada orang di depan kamar. Seperti biasanya, teman-teman Indonesia  punya kebiasaan setelah mengetuk pintu kemudian bersembunyi merapat di dinding untuk mengangetkanku. Sejenis permainan cilukba dengan batita.

Tapi sosok yang aku lihat bukanlah Clara, gadis 17 tahun dengan kacamata setebal minus tujuh. Dia seorang lelaki tinggi bertubuh atletis dengan wajah rupawan. Aku terkejut. Aku tidak mengenalnya.

"I'm Sorry.." Katanya. "Aku mencari kamar Anna. Ternyata saya salah"

"Kamarnya di samping kamar saya" Aku menunjuk kamar no A407, bersebelahan dengan kamarku. Sementara aku di kamar A409.

"Ya, terimakasih. Apakah kamu melihat dia hari ini? Aku tidak bisa menghubunginya" Si cowok berkata.

"Ya, aku juga tidak bisa menghubunginya. Dia teman sekelas saya. Sudah 4 hari dia tidak masuk. Saya pikir dia tidak enak badan atau bagaimana. Apakah kamu datang dari Rusia untuk menjenguk Anna?" Tanyaku polos. Padahal jelas-jelas kalau wajahnya bukan bule. Tapi penduduk lokal.

"Bukan. Saya datang dari Harbin." Dia menjelaskan asalnya. Saya sudah tahu, namun tidak mungkin saya langsung bertanya siapa kamu pada lelaki yang belum saya kenal sama sekali. 

"Kamu teman baik Anna? Aku tidak bisa menghubungi Anna. Sudah beberapa hari ini. Aku juga tidak punya nomor roomate-nya"

"Oh, Tuhan. Bagaimana ini?" Tanya lelaki itu seperti pada diri sendiri.

"Apa terjadi sesuatu pada Anna? Kamu tampak cemas sekali. Kamu sahabatnya?" Aku bertanya lagi.

"Bukan. Aku pacarnya"

Jreng!!

Beruntung sekali Anna mendapat pacar setampan ini. Kelihatannya juga mapan. Setidaknya begitu komentar temanku ketika keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sebenarnya ini kebiasaan buruk, berbicara dengan bahasa Indonesia di depan 'korban'. Kalau ngomongnya bagus oke, ini seringkali kami mengomentari hal buruk tentangnya.

Lelaki itu bertanya namaku, kusebut nama Inggrisku, hasil ramah tamah di meja makan. Olivia. Dia tampak mudah mengucapkannya. Dibandingkan dengan nama Indonesia saya yang cukup sulit bagi penduduk lokal. 

Dia memperkanalkan namanya padaku. Namanya Yang, pacar Anna. Datang dari Harbin, tinggal di Beijing. Bekerja di sebuah perusahaan. Aku tidak berani bertanya umurnya berapa. Dia mencari Anna karena mendadak tidak ada kabar dan sulit ditemui.

Empat hari lalu dia berkunjung ke Harbin, ke rumah Yang. Dia menginap di sana. Keesokan harinya tidak mungkin ia bisa kembali dan masuk kelas. Ketika kukatakan Anna tidak masuk beberappa hari ia tampak semakin cemas.

Aku bisa melihat rasa bersalah begitu dalam, kecemasan dan perasaan sayang Yang pada Anna. Dia memintaku untuk menolongnya. Menghubungi Aiya. Teman sekelasku juga. Aku tidak punya nomornya. Kuberanikan menghubungi laoshi, wali kelasku. Aku menelepon di depannya.

"Laoshi, ni you Aiya de shouji hao ma ma?" Tanyaku ragu-ragu. Apakah benar bahasa mandarinnya seperti itu? Laoshi, apakah Anda punya nomor telepon Aiya?

"You, wei shenme?" Ternyata laoshi mengerti pertanyaanku. Dia menjawab, punya. 

"Ni gei wo, keyi ma?" Kali ini aku meminta.

"Keyi. Deng yi xia"

Boleh. Tunggu sebentar.

Dalam hitungan menit laoshi sudah mengirimkan aku nomor ponsel Aiya. Aku menelepon Aiya. Tapi nomornya tidak aktif. Aku juga tidak punya nomor telepon Bilal yang dekat dengan Aiya. Akhirnya aku hanya mencatat nomor Aiya pada secarik kertas dan memberikan pada Yang.

Selebihnya aku tetap duduk di kamar dan melanjutkan online. 

Ketika Eveline kembali ke kamarnya, dan aku sendiri. Kuputuskan untuk menulis sesuatu di blog. Aku juga berniat untuk membuat sebuah artikel tentang lebaran di negeri ini. Saat itu, pintu kamarku diketuk lagi.

"Maaf, aku mengganggu. Aku belum bisa menemukan Anna. Bisakah kamu menolongku? Jika nanti Anna kembali atau kamu sudah bisa menghubungi Aiya. Bisakah kamu mengabarkan aku?" Mohonnya dengan wajah cemas.

"Tentu" Kataku.

"Berikan aku kertas dan pulpen. Aku bisa menuliskannya untukmu"

Kuambil selembar post it dan pulpen. Saat dia menulis nomor ponselnya, tangannya bergetar. Wajahnya yang putih terlihat pucat. Baru pertama kalinya aku melihat cowok bergetar saat khawatir pada kekasihnya. Apalagi ini kisah cinta dua orang asing yang berbeda budaya dan bahasa. Anna tidak bisa berbahasa mandarin, bahasa yang mempersatukan mereka adalah bahasa Inggris.

Beberapa waktu lalu, Anna mengajak saya untuk ke supermarket. Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal. Bertukar bahasa dan sesekali mempraktekkan bahasa mandarin. Dia bukan saja cantik. Dia juga menarik.

Di negerinya dia sedang menyelesaikan kuliah S1-nya di pendidikan bahasa Inggris. Dia ke Beijing untuk belajar bahasa mandarin sembari menunggu waktu wisuda. Dia katakan padaku, dia bisa mengajari berbahasa Inggris lebih baik jika aku mau.

Iseng aku bertanya padanya, "Kenapa kamu memilih kampus CUC untuk belajar bahasa?"

Dia menjawab, "Karena CUC biayanya paling murah untuk belajar bahasa."

Kutanya lagi karena penasaran. "Kenapa kamu tidak memilih kampus lain seperti Sun Yat Sen di Guangzhou, Xiamen University atau di daerah lain?". Menurutku kampus-kampus yang kusebut itu punya kredibilitas tinggi di mata orang asing. Aku sudah pernah ke Xiamen University dan aku tahu di sana sangat bagus untuk belajar bahasa. Karena di sana adalah andalannya.

"Aku hanya tahu Beijing" Dia tertawa kecil.

Perbincangan berlanjut dari kuliah ke negara masing-masing. Dia tidak tinggal di Moskow, dia tinggal di kota nomor dua terbesar di Rusia. Dia tahu Indonesia. Dia juga tahu Aceh, negeri yang dihantam tsunami pada tahun 2004 silam.

"Kapan kamu kembali ke Rusia?" Tanyaku.

"Januari"

"Kamu kembali lagi kemari? Ke Beijing?"

"I hope so"

Aku langsung menebak, dia hanya mengambil kelas bahasa selama enam bulan. Sama seperti Eveline. Tapi kupikir, sayang sekali jika mengambil bahasa hanya enam bulan jika tidak punya basic sama sekali.

"Jika hubunganku dengan pacarku baik-baik saja. Aku akan kembali. JIka tidak, aku tidak akan kembali. Kita lihat ke depan bagaimana"

Dia tertawa.

Waktu itu, aku sama sekali tidak memahami maksudnya. Aku pikir pacarnya di Rusia. Ternyata pacarnya adalah lelaki tampan yang mengetuk pintu kamarku.

Senin, 14 Oktober 2013

Day 1410.2013: Saya Juga Indonesia

Selasa sore dengan tentengan barang yang cukup banyak aku berdesakan dengan penumpang lain di subway. Berulang kali aku melirik map light yang menandakan perjalanan yang sedang berlangsung. Suara bising, aroma tubuh tak sedap, semua bersatu dalam suasana yang tidak menyenangkan.

Saya melirik Eveline yang berdiri tak jauh dari saya. Di sekelilingnya bapak-bapak dengan seragam kerja rapi.

"Line, berapa zhan kita ke Sihui?" Tanyaku. zhan (stasiun) yang kami tempuh nantinya tempat berganti ditie (subway).

"Sepuluh"

“Hah?! Serius?" Tanyaku tak percaya.

"Iya"

Aku pun melirik ke arah map yang lampunya berubah dari hijau ke merah setiap meninggalkan stasiun sebelumnya. Stasiun yang akan dituju berkedap kedip. Ternyata benar, kami harus melewati 10 zhan lagi. Belum lagi di zhan kesepuluh kami harus mengganti line ke zhan lain. Jaraknya pun tidak dekat. Aku mulai gusar karena terlalu ramai orang.

Aku tidak bisa berada di tempat yang ramai. Aku pusing, mual dan bisa jatuh pingsan. Apalagi di subway ini, memasuki musim dingin orang-orang lokal tidak pernah mandi. Baunya terkadang menguras isi perut sampai keluar.

Seorang bapak memperhatikan aku. Hal seperti ini sudah biasa buatku. Kemana saja aku pergi akan menjadi pusat perhatian. Dilihat lama-lama, dibicarakan dan ditanya-tanya. Apalagi kalau aku sudah bicara dalam bahasa Indonesia dengan teman-temanku. Perhatian lebih tertuju kepadaku karena aku berjilbab, kulit gelap tapi mata sedikit sipit (kata orang-orang, sih). Berbeda dengan temanku yang etnis keturunan Tionghoa.

"Dia orang mana?" Tanya si bapak pada temanku.

"Orang Indonesia" Temanku cuek menjawab.

"Orang Indonesia cantik-cantik ya.." Si bapak berkomentar. Aku hanya tersenyum. Aku ingin punya kulit seperti mereka. Putih, mulus, bening. Tapi mereka malah bilang aku cantik.

Di Indonesia tidak ada yang bilang aku cantik. Mereka malah mengatakan aku cantik. Ini bukan untuk pertama kalinya. Aku sendiri tidak tahu apa yang membuat mereka mengatakan ccantik. Temanku, Jufrizal, mahasiswa master di Nanchang University mengatakan  kalau dia juga disukai oleh penduduk lokal karena dianggap tampan.

Aku tertawa mendengarnya. Bukan maksud mengejek. Tapi karena nasib kami sama di perantauan.

Aku dan temanku di greatwall


Eveline hanya tersenyum, mengangguk-angguk dan menikmati lagi perjalanan kami yang masih berjarak beberapa kilometer.

"Kamu orang mana?" Si bapak bertanya lagi pada Eveline.

”Indonesia juga" Dia masih cuek.

Si bapak terbengong dan hanya mengatakan, "Owh!" lalu beraling ke arah lain.

Eveline, temanku, memang lebih terlihat seperti penduduk lokal daripada orang Indonesia. Keuntungan bagi dia adalah selalu diberi harga murah ketika berbelanja. Itu karena dia dianggap orang asli dan menemani turis. Kerugiannya, menurut pengakuan Eveline sendiri, bila dia ingin bekerja di sini itu akan sulit sekali. Ia tidak tampak seperti orang asing.

Selasa, 01 Oktober 2013

Bunga di Chaoshi



Usai makan malam di shitang (kantin) yang letaknya di lantai dua chaoshi (supermarket). Aku dan temanku dari Indonesia berjalan ke chaoshi. Berharap kami bisa membeli sesuatu di sini dengan budget yang ada di kantong. Siang itu aku tidak membawa uang sepeser pun. Berharap temanku membayar utangnya sebesar 34 yuan. Yach… Setara lah dengan 68 ribu rupiah. Untungnya dia memang melunasi hutangnya hari itu juga.

Tentu saja dengan rasa percaya diri tinggi aku masuk ke chaoshi dan membeli sebungkus besar kuaci dengan harga 7 yuan. Kupeluk erat-erat kuaci itu, seakan bila lengah sedikit akan ada orang yang tidak bertanggung jawab mencuri dariku.

Aha!

Aku harus menunggu temanku di luar kasir. Di depan penjual pulsa dan bunga. Mataku menangkap sederetan bunga segar yang dipajang indah di dekat lemari. Banyak orang yang membeli bunga tersebut. Kupikir itu palsu. Aku beranikan untuk diam-diam menyentuh.

Alamak!

Ini bunga asli, jeng!

Tanpa sepengetahuan penjual, aku menjepret bunga tersebut dan menyimpan di memori ponselku. Ketika temanku datang, dia heran melihatku berdiri serius di sana.

“Lu mau beli bunga?” Tanyanya

“Bukan. Ngelihat aja. Bagus banget bunganya. Aku pikir asli. Ternyata asli.”

“Iya. Di sini mana mau orang pakai yang palsu”

“Aku pegang lho”

“Masa?”

“Iya. Diam-diam”

“Gila lo! Kalau si laoban tau lo bisa digebuk kali. Yach… Ini anak aneh banget sih”

Aku tertawa. Dasar aneh! Sebodoh-bodohnya aku cari kondisi aman dong.

“Pas si laoban nggak lihat aku pegang. Makanya aku tau kalau itu bunga asli atau nggak. Nih, aku foto” Aku pamer foto bunga itu kepada temanku.

“Bagus banget. Gilaaa!!”

Tuh kan. Bagus aja dibilang gila. Gimana kalau nggak bagus.