Selasa, 22 Oktober 2013

Day 2210.2013: Dia Sedang P.hD?

Berbicara soal pernikahan memang sangat sensitif di usia melewati 25 tahun. Apalagi saat kebanyakan teman-teman seangkatan sudah menikah dan dikarunia anak. Banyak anggapan negatif ketika masa penantian jodoh diisi dengan hal positif seperti bekerja atau melanjutkan pendidikan. Seolah hanya mengejar karir dan tidak mau menikah.

Padahal bukan karena tidak mau, tapi jodohnya saja yang belum mendekat. Jika belum jodoh, di depan penghulu pun bisa tidak ajdi menikah. So, apa salahnya berpikir positif dengan slow but sure..

Hal seperti ini juga saya alami ketika di Banda Aceh. Berbeda dengan di Beijing. Semua orang tidak peduli status seperti ini. Kebanyakan dari mereka hanya bertanya, "Kamu sudah menikah?" atau "Bertunangan?". Itu juga karena mereka melihat cincin emas yang melingkar di jari manis saya.

Sebelum berangkat ke Beijing, saya sempat sms-an dengan sahabat saya yang sudah berkeluarga. Ia menikah pada tahun 2009 dan sekarang memiliki seorang putra. Kami membahas banyak hal, termasuk pandangan orang-orang setelah saya pergi nanti.

Saya menanggapi setiap kalimat Julka Maizar dengan tertawa-tawa saja. Dalam hati saya membenarkan. Tapi saya belum membuktikannya saja.

Di Beijing, status lajang tanpa ikatan pacaran sepertinya terlihat aneh dan tidak laku. Sampai-sampai pertanyaan "Apakah kamu sudah mempunyai pacar?" menjadi topik dalam materi pelajaran. Pelajaran yang sangat menyebalkan sebenarnya, karena dengan begitu saya harus siap menerima pertanyaan-pertanyaan. Apalagi jika menyangkut umur.

Kentungan buat saya mungkin tidak ada. Saya hanya mendapat predikat cewek paling imut dan mungil di kelas karena tinggi dan berat saya di bawah rata-rata siswa lainnya. Bahkan saat saya menyebut umur saya 26 tahun, banyak yang menyeletuk, "Zen de ma?" atau bila diartikan dalam bahasa Indonesia berarti "Benarkah?"

Saya hanya mengangguk saja. Membiarkan orang-orang dengan wajah melongo menatap saya seperti itu. Satu keuntungan bagi teman sekalas yag usianya memang lebih tua dari saya. Perlakuan mereka kepada saya yang menganggap lebih mudah tidakk berubah. Tapi begitu orang yang lebih muda sangat kaget dan terkadang sikap mereka justru berubah kikuk.

Pelajaran tentang pacar masuk di mata pelajaran perccakapan, yang menuntut semua orang harus menjawab pertanyaan dan bercerita dalam bahasa mandarin plus inggris. Semua bersiap dengan android dengan berbagai merek. Kecuali saya, tidak punya android dan hanya bertahan dengan hape Nokia tat tit tut saja. Saya berpikir untuk mengeluarkan kata-kata yang mudah dan saya pahami dalam bahasa mandarin atau inggris.

Hingga akhirnya, tibalah waktu saya bercerita. Hati saya mendadak galau. Jujur atau tidak. Tidak ada yang tahu. Tapi saya sadar, di kelas kisah hidup saya selalu dinantikan banyak orang. Sehingga ketika dosen memanggil nama "Kai Li Na" tentu saja semua orang akan terdiam.

"Kamu punya pacar?" Tanya laoshi dalam bahasa mandarin.

"You" yang artinya punya.

"Ta de duo da?"

Laoshi bertanya, umurnya berapa?

Saya jawab, "28 tahun" ershiba sui le.

Hening.

Untungnya tidak ada pertanyaan lanjutan seputar pacar saya. Jam 12 siang, ketika pulang kelas. Saya dan teman saya dari kelas berbeda bertemu. Dia berasal dari Thailand dan sedang mengambil P.hD di kampus yang sama.

Kami bercerita banyak hal. Dari cerita kami aku tahu dia tidak dalam hubungan pacaran. Dia berkata pernah pacaran, tapi sudah lama sekali. Bahkan dia sudah lupa bagaimana wajah mantan pacarnya. Dia tak banyak membahas masa lalu percintaannya. Saya pun ragu, apakah dia normal atau tidak.

Saya banyak bercerita, sekaligus mewanti-wanti agar dia tahu bahwa saya sedang berstatus. Meskipun dia sangat baik dan selalu melindungi saya dalam banyak hal.

Saat tengah menyuap makanan, tiba-tiba dia bertanya yang membuat saya tersedak. "Pacar kamu sedang P.hD di mana?"

Bayangan pertama yang muncul adalah wajah Meimei, sahabat saya. Pertanyaan itu pernah dikatakan oleh Mei pada saya. Itu yang akan ditanya orang-orang pada saya nantinya.

Jujur.

Saya bingung menjawab bagaimana. Dalam bahasa Inggris pula. Kalau dia mengerti bahasa Indonesia, tentu saja gampang bagi saya untuk menjawab "Nggak penting dia kuliah dimana. Selama kita saling memahami." Kalimat yang keluar justru, "Dia sedang menyelesaikan kuliahnya di Indonesia. Karena kendala di kampus. Sistem pendidikan di Indonesia sangat rumit. Tapi dia sudah menyelesaikan gelar sarjana mudanya, kok"

Teman saya hanya ber "Ohh..." panjang. Lalu bertanya, "Kamu berencana mengambil P. hD di Inggris.  Bagaimana dengan dia?"

Kembali saya bingung. Kalau saya sudah menikah, ya tentu saja saya boyong ke Inggris. Percakapan demi percakapan kemudian mengalir begitu saja, berubah dari soal dia P.hD di mana sampai baik buruknya sebuah hubungan jarak jauh.

Namun, pertanyaan ini justru membuat saya kangen pada Julka Maizar, seorang teman yang memiliki motivasi dan impian tinggi ketika kami masih kuliah dulu. Dia punya cita-cita yang menurut saya orang lain tak pernah berpikir seperti dia.

Kerinduan saya pada Mei justru ingin terus mendoakannya di sana. Semakin saya mengingatnya, semakin dalam pula rrindu saya pada teman saya itu. Bahkan ketika saya duduk di tempat paling indah di kampus bersama teman Thailand saya, terbayang masa-masa indah ketika kuliah. Dia duduk bersama saya di tempat ini dan bercerita apapun yang kami mau.

Note:
Very miss you, Mei..



Tidak ada komentar: