Selasa, 15 Oktober 2013

Day 1510.2013: Seseorang di Depan Pintu

Aku dan Eveline tengah bercerita sambil tertawa keras di kamar. Jam sudah menunjukkan waktu Isya. Sambil mengobok-obok google dan mencari tahu cara menelepon murah dari Beijing ke Indonesia, aku ikut tertawa. Sebenarnya aku tidak konsentrasi mendengarkan ceritanya. Ia bercerita tentang temannya yang setengah mati naksir cowok yang lebih muda tiga tahun darinya.

Aku tidak menyadari ada sebuah pesan chat masuk. Dari sahabatku yang berwarga negara Thailand. Dia berkata padaku sudah mendaftarkan diri di Shufa (chinese calligraphy) class. Besok ia akan dikonfirmasi lagi untuk kuota kelas. Apakah masih tersedia atau belum. Ia sangat girang, terlihat dari cara dia memanggilku, "Unta, I already regis, but I have to wait, laoshi will tell me tomorrow the class full or not".

Dia mengabariku sudah mendaftar.

Aku hanya mengatakan sangat berharap kalau kelasnya tidak penuh dan dia bisa bergabung bersamaku untuk hadir di kelas chinese calligraphy. Apalagi ini kelasnya gratis. Hanya lima kali pertemuan, kemudian kami bisa belajar baik di sini. Tempatnya memang jauh, tapi kupikir tidak terlalu jauh untuk mencari ilmu. Kami menggunakan ditie (subway) yang kecepatannya melebihi rata-rata. Mungkin setiap Rabu kami hanya butuh waktu ekstra saja untuk mengejar waktu ke Line 13 dan mengganti zhan (stasiun) berulang kali. Lalu berdesakan saat jam pulang kerja.

Saat tengah membalas chat dengan teman Thailand saya, tiga kali ketukan terdengar pelan di pintu.

"Siapa itu?" Tanya Eveline, teman Indonesia saya.

"Paling Clara. Katanya dia mau datang kemari sepulang kuliah" Kataku sambil bangkit dari meja rias dan berjalan ke pintu. Kepala saya dibungkus dengan syal rajutan warna abu-abu hasil karya teman saya di Banda Aceh. Namanya Iza.

Aku membuka pintu. Tidak ada orang di depan kamar. Seperti biasanya, teman-teman Indonesia  punya kebiasaan setelah mengetuk pintu kemudian bersembunyi merapat di dinding untuk mengangetkanku. Sejenis permainan cilukba dengan batita.

Tapi sosok yang aku lihat bukanlah Clara, gadis 17 tahun dengan kacamata setebal minus tujuh. Dia seorang lelaki tinggi bertubuh atletis dengan wajah rupawan. Aku terkejut. Aku tidak mengenalnya.

"I'm Sorry.." Katanya. "Aku mencari kamar Anna. Ternyata saya salah"

"Kamarnya di samping kamar saya" Aku menunjuk kamar no A407, bersebelahan dengan kamarku. Sementara aku di kamar A409.

"Ya, terimakasih. Apakah kamu melihat dia hari ini? Aku tidak bisa menghubunginya" Si cowok berkata.

"Ya, aku juga tidak bisa menghubunginya. Dia teman sekelas saya. Sudah 4 hari dia tidak masuk. Saya pikir dia tidak enak badan atau bagaimana. Apakah kamu datang dari Rusia untuk menjenguk Anna?" Tanyaku polos. Padahal jelas-jelas kalau wajahnya bukan bule. Tapi penduduk lokal.

"Bukan. Saya datang dari Harbin." Dia menjelaskan asalnya. Saya sudah tahu, namun tidak mungkin saya langsung bertanya siapa kamu pada lelaki yang belum saya kenal sama sekali. 

"Kamu teman baik Anna? Aku tidak bisa menghubungi Anna. Sudah beberapa hari ini. Aku juga tidak punya nomor roomate-nya"

"Oh, Tuhan. Bagaimana ini?" Tanya lelaki itu seperti pada diri sendiri.

"Apa terjadi sesuatu pada Anna? Kamu tampak cemas sekali. Kamu sahabatnya?" Aku bertanya lagi.

"Bukan. Aku pacarnya"

Jreng!!

Beruntung sekali Anna mendapat pacar setampan ini. Kelihatannya juga mapan. Setidaknya begitu komentar temanku ketika keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sebenarnya ini kebiasaan buruk, berbicara dengan bahasa Indonesia di depan 'korban'. Kalau ngomongnya bagus oke, ini seringkali kami mengomentari hal buruk tentangnya.

Lelaki itu bertanya namaku, kusebut nama Inggrisku, hasil ramah tamah di meja makan. Olivia. Dia tampak mudah mengucapkannya. Dibandingkan dengan nama Indonesia saya yang cukup sulit bagi penduduk lokal. 

Dia memperkanalkan namanya padaku. Namanya Yang, pacar Anna. Datang dari Harbin, tinggal di Beijing. Bekerja di sebuah perusahaan. Aku tidak berani bertanya umurnya berapa. Dia mencari Anna karena mendadak tidak ada kabar dan sulit ditemui.

Empat hari lalu dia berkunjung ke Harbin, ke rumah Yang. Dia menginap di sana. Keesokan harinya tidak mungkin ia bisa kembali dan masuk kelas. Ketika kukatakan Anna tidak masuk beberappa hari ia tampak semakin cemas.

Aku bisa melihat rasa bersalah begitu dalam, kecemasan dan perasaan sayang Yang pada Anna. Dia memintaku untuk menolongnya. Menghubungi Aiya. Teman sekelasku juga. Aku tidak punya nomornya. Kuberanikan menghubungi laoshi, wali kelasku. Aku menelepon di depannya.

"Laoshi, ni you Aiya de shouji hao ma ma?" Tanyaku ragu-ragu. Apakah benar bahasa mandarinnya seperti itu? Laoshi, apakah Anda punya nomor telepon Aiya?

"You, wei shenme?" Ternyata laoshi mengerti pertanyaanku. Dia menjawab, punya. 

"Ni gei wo, keyi ma?" Kali ini aku meminta.

"Keyi. Deng yi xia"

Boleh. Tunggu sebentar.

Dalam hitungan menit laoshi sudah mengirimkan aku nomor ponsel Aiya. Aku menelepon Aiya. Tapi nomornya tidak aktif. Aku juga tidak punya nomor telepon Bilal yang dekat dengan Aiya. Akhirnya aku hanya mencatat nomor Aiya pada secarik kertas dan memberikan pada Yang.

Selebihnya aku tetap duduk di kamar dan melanjutkan online. 

Ketika Eveline kembali ke kamarnya, dan aku sendiri. Kuputuskan untuk menulis sesuatu di blog. Aku juga berniat untuk membuat sebuah artikel tentang lebaran di negeri ini. Saat itu, pintu kamarku diketuk lagi.

"Maaf, aku mengganggu. Aku belum bisa menemukan Anna. Bisakah kamu menolongku? Jika nanti Anna kembali atau kamu sudah bisa menghubungi Aiya. Bisakah kamu mengabarkan aku?" Mohonnya dengan wajah cemas.

"Tentu" Kataku.

"Berikan aku kertas dan pulpen. Aku bisa menuliskannya untukmu"

Kuambil selembar post it dan pulpen. Saat dia menulis nomor ponselnya, tangannya bergetar. Wajahnya yang putih terlihat pucat. Baru pertama kalinya aku melihat cowok bergetar saat khawatir pada kekasihnya. Apalagi ini kisah cinta dua orang asing yang berbeda budaya dan bahasa. Anna tidak bisa berbahasa mandarin, bahasa yang mempersatukan mereka adalah bahasa Inggris.

Beberapa waktu lalu, Anna mengajak saya untuk ke supermarket. Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal. Bertukar bahasa dan sesekali mempraktekkan bahasa mandarin. Dia bukan saja cantik. Dia juga menarik.

Di negerinya dia sedang menyelesaikan kuliah S1-nya di pendidikan bahasa Inggris. Dia ke Beijing untuk belajar bahasa mandarin sembari menunggu waktu wisuda. Dia katakan padaku, dia bisa mengajari berbahasa Inggris lebih baik jika aku mau.

Iseng aku bertanya padanya, "Kenapa kamu memilih kampus CUC untuk belajar bahasa?"

Dia menjawab, "Karena CUC biayanya paling murah untuk belajar bahasa."

Kutanya lagi karena penasaran. "Kenapa kamu tidak memilih kampus lain seperti Sun Yat Sen di Guangzhou, Xiamen University atau di daerah lain?". Menurutku kampus-kampus yang kusebut itu punya kredibilitas tinggi di mata orang asing. Aku sudah pernah ke Xiamen University dan aku tahu di sana sangat bagus untuk belajar bahasa. Karena di sana adalah andalannya.

"Aku hanya tahu Beijing" Dia tertawa kecil.

Perbincangan berlanjut dari kuliah ke negara masing-masing. Dia tidak tinggal di Moskow, dia tinggal di kota nomor dua terbesar di Rusia. Dia tahu Indonesia. Dia juga tahu Aceh, negeri yang dihantam tsunami pada tahun 2004 silam.

"Kapan kamu kembali ke Rusia?" Tanyaku.

"Januari"

"Kamu kembali lagi kemari? Ke Beijing?"

"I hope so"

Aku langsung menebak, dia hanya mengambil kelas bahasa selama enam bulan. Sama seperti Eveline. Tapi kupikir, sayang sekali jika mengambil bahasa hanya enam bulan jika tidak punya basic sama sekali.

"Jika hubunganku dengan pacarku baik-baik saja. Aku akan kembali. JIka tidak, aku tidak akan kembali. Kita lihat ke depan bagaimana"

Dia tertawa.

Waktu itu, aku sama sekali tidak memahami maksudnya. Aku pikir pacarnya di Rusia. Ternyata pacarnya adalah lelaki tampan yang mengetuk pintu kamarku.

Tidak ada komentar: