Selasa, 15 Oktober 2013

Day 1610.2013: Beijing 1 Derajat Celcius

Aku terbangun ketika melihat semburat cahaya terang melalui jendela kamarku. Layar biru dengan motif abstrak agak putih menutup cahaya terang di luar sana. Mataku langsung membelalak lebar begitu sadar hari ini aku tidak libur lagi. Kemarin dua orang dosen yang masuk memang memberiku izin tidak masuk karena merayakan idul Adha. Tapi sekarang aku masuk kuliah seperti biasa.

Aku langsung ke kamar mandi, menyalakan air keran wastafel dan kembali ke kamar untuk memanaskan air di teko listrik. Aku menyalakan air di keran untuk mendapatkan air panas dan membuang air kotor sisa tabung. Begitu saran temanku. Sembari menunggu air kotor terbuang, kusiapkan pakaian untuk ke kampus.Kurapikan tempat tidur, meskipun pelayan kamar akan dengan setia dan rapi merapikan tempat tidur dan kamarku.

Bagiku mereka adalah manusia. Sekalipun itu tugasnya, aku tidak boleh membiarkan orang-orang itu melakukan hal yang lebih berat di kamarku.  Sebisa mungkin aku merapikan tempat tidurku sendiri. Ayi-ayi itu cukup menyapu kamar, mengelap meja, membuka jendela dan membersihkan lantai kamar mandi, wastafel serta closet saja. Hal yang tidak bisa kulakukan karena keterbatasan peralatan.

Aku masih menggunakan gayung dan mengambil air yang aku tampung di wastafel. Meskipun di kamar mandiku tersedia shower untuk mandi. Aku malas menggunakannya. Bagiku terlalu lama mandi menggunakan shower.

Aku belum keluar dari kamar, tapi aku menebak di luar sangat dingin. Malam kemarin temperaturnya sudah 4 derajat celcius, bukan berarti hari ini tidak mungkin sedikit lebih tinggi atau rendah.

Namun setelah mandi, berpakaian dan keluar dari kamar. Udara sejuk langsung menusuk ke dalam tulang. Dingin sekali.

Begitu keluar dari gedung International Center Building, dinginnya begitu menusuk dan membuat kering. Kering sekali. Bibirku yang tak kuoleskan pelembab langsung mengeras dan terluka. Kupercepat langkahku sampai ke lantai empat gedung kuliah. Kecepatan langkah dan tenaga yang kugunakan untuk naik tangga justru tidak membuat badanku sedikit menghangat. Aku justru kedinginan dan sesak napas.

Di kelas hanya beberapa orang hadir. Kebanyakan dari mereka terlambat bangun atau memilih masuk di jam kedua karena cuaca dingin. Aku sebaliknya, lebih baik terlambat dan masuk kelas pada jam pertama daripada ketinggalan satu jam pelajaran. Tentunya aku tidak paham lagi apa yang diajarkan sebelumnya.

Aku memakai tiga lapis pakaian. Satu lapis pakaian long john, sejenis kaos lengan panjang yang ngepress di tubuh tapi hangat. Satu lapis jaket tebal dengan bagian dalam bulu-bulu dan selapis lagi luaran seperti mantel tapi mirip jaket dan modis seperti blazer. Tebal dan hangat. Itu pun belum membantu untuk membuat aku menjadi lebih hangat.

Di kelas juga masih dingin. Sepertinya pihak kampus juga belum berniat memasang menyalakan penghangat sentral di dalam kelas. Aku pikir hanya aku yang merasakan dingin ini. Maklum, di Indonesia tidak ada musim dingin apalagi salju. Tidak hanya itu, Banda Aceh kota yang sangat panas. Sedingin-dinginnya Banda Aceh temparaturnya 21 derajat. Sekarang, hari ini, detik aku menulis catatan ini, matahari bersinar terang. Tapi temperaturnya hanya 1 derajat.

Dinginnya menusuk.

Aku tidak tahan dingin. Di Takengon, Aceh Tengah, rasanya aku terkapar tidak bangun-bangun lagi ketika malam tiba. Di Beijing aku tidak boleh terkapar.

Di kamar saja aku memakai sandal tebal bulu-bulu denga kaos kaki tebal dan jaket lengkap. Aku memanaskan air berulang kali untuk menghangatkan tubuh.

Untunglah temanku sedikit cerewet mengingatkan. Dia terus mendesakku untuk beli jaket tebal, baju dingin, perlangkapan musim dingin lainnya. Sebenarnya aku ingin beli pas musim dingin tiba. Katanya harga lebih miring dan bisa dibanting sesuai dengan keinginan pembeli.

"Siapa yang mau jualan musim dingin, buk?!" Dia akan berkata seperti itu dengan intonasi tinggi dan sedikit menyebalkan.

Finally...

Apa yang dia katakan benar. Apa yang teman-temanku yang lain bilang bukan tidak benar. Mereka juga benar. Namun berbeda kondisi daerah, sehingga mengeluarkan duit lebih mahal itu sedikit bukan masalah.

Sampai hari ini aku belum memiliki perlengkapan yang lengkap untuk musim dingin. Aku hanya memiliki satu jaket musim dingin untuk luaran. Aku beli di mall dengan harga diskon. 300 ribu bila langsung dirupiahkan. Saat pulang makan malam, aku mengajak temanku untuk melihat-lihat pasar malam. Kenyataannya aku mendapatkan satu baju musim dingin panjang warna putih dengan harga 50 yuan. 100 ribu rupiah. Aku tidak tahu kenapa semurah itu. Yang penting aku sudah punya dua.

Aku sendiri tidak yakin itu bisa menjagaku sampai temperatur minus 20 derajat. Namun temanku berrpesan agar aku membeli produk Uniqlo yang harganya memang nyaris 1 juta bahkan lebih 1 juta bila dirupiahkan. Tapi itu sudah cukup bagus dan melindungi tubuh dari dingin. Sayangnya aku belum bisa memiliki merek yang mahal itu. Kupikir, sebaiknya aku beli tahun depan atau saat obral besar-besaran saja nanti.

Temanku memberi saran, "Kurusin dulu body kamu, terus ntar setelah kurus ablek lagi ke mall dan beli ukuran anak-anak. Lagian kan tinggi kamu tingginya anak-anak. Bukan dewasa."

Awalnya sebal dikatai begitu.

Setelah aku pikir iya juga ya.
Untuk ukuran sudah oke. Pas panjangnya, pas besarnya. Hanya menderita di bagian perut saja. Kupikir, jika musim gugur sampai awal musim dingin berhasil menurunkan berat badan. Aku bisa membeli satu yang bermerek. Aku sudah mengincar warna putih atau biru muda. Bagus sekali.

Terkadang aku berpikir juga. Kenapa beasiswa tidak mencakup perlengkapan musim dingin sekaligus. Bukankah itu masuk ke bagian kesehatan?

Setelah aku hitung-hitung, perlengkapan musim dingin saja, bukan merek terkenal, butuh duit lebih kurang 3000 yuan. Lebih kurang 6 juta dalam rupiah. Ck ck ck!

Tidak ada komentar: