Senin, 14 Oktober 2013

Day 1410.2013: Saya Juga Indonesia

Selasa sore dengan tentengan barang yang cukup banyak aku berdesakan dengan penumpang lain di subway. Berulang kali aku melirik map light yang menandakan perjalanan yang sedang berlangsung. Suara bising, aroma tubuh tak sedap, semua bersatu dalam suasana yang tidak menyenangkan.

Saya melirik Eveline yang berdiri tak jauh dari saya. Di sekelilingnya bapak-bapak dengan seragam kerja rapi.

"Line, berapa zhan kita ke Sihui?" Tanyaku. zhan (stasiun) yang kami tempuh nantinya tempat berganti ditie (subway).

"Sepuluh"

“Hah?! Serius?" Tanyaku tak percaya.

"Iya"

Aku pun melirik ke arah map yang lampunya berubah dari hijau ke merah setiap meninggalkan stasiun sebelumnya. Stasiun yang akan dituju berkedap kedip. Ternyata benar, kami harus melewati 10 zhan lagi. Belum lagi di zhan kesepuluh kami harus mengganti line ke zhan lain. Jaraknya pun tidak dekat. Aku mulai gusar karena terlalu ramai orang.

Aku tidak bisa berada di tempat yang ramai. Aku pusing, mual dan bisa jatuh pingsan. Apalagi di subway ini, memasuki musim dingin orang-orang lokal tidak pernah mandi. Baunya terkadang menguras isi perut sampai keluar.

Seorang bapak memperhatikan aku. Hal seperti ini sudah biasa buatku. Kemana saja aku pergi akan menjadi pusat perhatian. Dilihat lama-lama, dibicarakan dan ditanya-tanya. Apalagi kalau aku sudah bicara dalam bahasa Indonesia dengan teman-temanku. Perhatian lebih tertuju kepadaku karena aku berjilbab, kulit gelap tapi mata sedikit sipit (kata orang-orang, sih). Berbeda dengan temanku yang etnis keturunan Tionghoa.

"Dia orang mana?" Tanya si bapak pada temanku.

"Orang Indonesia" Temanku cuek menjawab.

"Orang Indonesia cantik-cantik ya.." Si bapak berkomentar. Aku hanya tersenyum. Aku ingin punya kulit seperti mereka. Putih, mulus, bening. Tapi mereka malah bilang aku cantik.

Di Indonesia tidak ada yang bilang aku cantik. Mereka malah mengatakan aku cantik. Ini bukan untuk pertama kalinya. Aku sendiri tidak tahu apa yang membuat mereka mengatakan ccantik. Temanku, Jufrizal, mahasiswa master di Nanchang University mengatakan  kalau dia juga disukai oleh penduduk lokal karena dianggap tampan.

Aku tertawa mendengarnya. Bukan maksud mengejek. Tapi karena nasib kami sama di perantauan.

Aku dan temanku di greatwall


Eveline hanya tersenyum, mengangguk-angguk dan menikmati lagi perjalanan kami yang masih berjarak beberapa kilometer.

"Kamu orang mana?" Si bapak bertanya lagi pada Eveline.

”Indonesia juga" Dia masih cuek.

Si bapak terbengong dan hanya mengatakan, "Owh!" lalu beraling ke arah lain.

Eveline, temanku, memang lebih terlihat seperti penduduk lokal daripada orang Indonesia. Keuntungan bagi dia adalah selalu diberi harga murah ketika berbelanja. Itu karena dia dianggap orang asli dan menemani turis. Kerugiannya, menurut pengakuan Eveline sendiri, bila dia ingin bekerja di sini itu akan sulit sekali. Ia tidak tampak seperti orang asing.

Tidak ada komentar: