Kamis, 02 Juni 2011

Calon Suami


“Kapan dirimu menyempurnakan separuh dari agama kita, say..?!” Pertanyaan itu diajukan oleh teman sekelasku saat Madrasah Aliyah. Kabarnya ia telah menjadi murabbi di kelompok pengajian kampusnya. Aku menghembuskan napas pelan dan mengetik balasan, “belum kepikiran tuh...”

Smsan berlangsung dari jam 8 malam hingga jam 1 dini hari. Aku tak peduli berapa banyak ia telah membalas sms aku. Dari cerittanya aku tahu kalau dia sedang dilema. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang menjalani ta’aruf dengan sdua orang lelaki. Satu orang Langsa dan satunya lagi memang orang Takengon. Mereka berdua sedang menanti jawaban dari temanku itu. Namanya Desi.

Hingga detik ini, aku belum terlalu peduli dengan pernikahan. Toh teman sejawatku di kampus baru 3 orang yang melepas masa lajangnya. Novi, Mei dan Nora. Selebihnya masih menikmati masa lajang dengan impian terbear kuliah master ke luar negeri. Bukan menikah. So, hidupku jauh lebih enjoy daripada memikirkan siapa calon suamiku kelak.

Pernyataan tak menyenangkan bukan berarti bebas keluar masuk kuping kiri dan kananku. Kalimatnya memang tak semanis lagu peterpan yang mengalun dendang ‘tak bisakah kau menungguku...”. aku merasakan lebih pahit.

“Kamu enak, punya pacar”
“Lainlah... Yang sudah punya suami”
“Kapan merit, nggak baik pacaran lama-lama.”

... dan sejenisnya.

Tapi yang peling penting bagiku sekarang adalah menganalisis kembali calon suami yang ada. Intinya aku tak mau penyesalan kemudian seperti yang sudah terjadi pada beberapa temanku. Mereka memang tak mengatakan menyesal secara berterus terang dan langsung. Tapi kalimat tak langsung dan bahasa non verbal yang ditunjukkan cukup membuat aku paham maksudnya.

“Menikahlah ketika siap. Jangan ntar kamu tak bisa memahami suami kamu. Suami kamu itulah yang kelak kamu harus patuhi setelah menikah,” Pesan Nora. Ia mengatakan sangat sulit memahami suaminya.

“Kalau mau nikah itu lihat bibit, bebet dan bobotnya. Waktu pacaran memang iya masih oke, pas ta’aruf juga oke sekali. Dia nggak macam-macam. Tapi biasanya setelah nikah tuh ulahnya keluar,” Kak Lena kembali mengatakan hal yang sama.

“Aku  pikir yang namanya pernikahan itu enak. Tapi ternyata banyak juga nggak enaknya. Aku merasa kesulitan sekali,” Mei tanpa diminta berbagi pengalaman juga.

Sekilas, aku mulai memahami makna suami yang sesungguhnya versi aku. Suami itu sosok yang diagungkan ntar. Eemmm, begitulah kira-kira. Tapi rasanya nggak seperti itu juga.

Menganalisis calon suamiku nantinya:
-        Aku nggak mau punya suami perokok. Selain tidak sehat, aku juga nggak mau matii konyol karena asap rokok yang ia suguhkan perlahan untukku.
-        Suami sampai larut malam di warung kopi. Nongkrong sih nongkrong, tetapi kalau sampai larut malam itu sudah kebangetan deh. Nggak mau aku!!
-        Transparan sama istri. Terkadang ada istri yang memang tak terbuka pada pasangannya. Aku tak mau ini terjadi padaku. Dia harus berterus terang soal apapun padaku. Aku kan istrinya. Masa sih aku juga mesti dengar dari tetangga. Hehehe
-        Selalu ada pas dibutuhkan. Pengennya sih 24 jam di samping aku. Tapi kalau itu terjadi mau makan apa? Ya, dia ngerti lah saat aku butuhin dirinya. Hmmm...
-        Menjadi imamku dan bisa mengendalikan aku. Ini penting, karena suami kan mestinya memang menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Ia mesti rajin sholat, biar aku yang jadi makmum setianya. Siapa sih yang nggak pengen masuk surga?
-        Menuruti dan menasehati. Aku mau ia selalu mengikuti semua keinginanku dalam hal positif. Tapi dia juga harus menasehati aku bila aku sudah mulai berlebihan. Seperti kebiasaan aku sekarang, mulai mengkonsumsi kosmetik produk swedia itu, selain harganya mahal aku juga belum tentu cocok menggunakannya. So, aku sangat berharap ia memberi amsukan dengan cara yang halus dan nggak nyinggung aku. Karena justru dengan itulah aku berubah.
-        Tidak melarang aku menulis. Izinkan aku menulis di media massa. Biarkan aku menulis di blog. Itu saja... Cukup bagiku, calon suamiku.
-        Sekolah, sekolah, sekolah. Ini mungkin agak berat. Tapi aku mau calon suamiku mengizinkan aku melanjutkan pendidikan meskipun ke luar negeri. Kalau mau ikut, ayooo......!!!
Kalau seperti itu yang aku inginkan, adakah seseorang yang mau menjadi pendampingku?

Tidak ada komentar: