Selasa, 05 Maret 2013

Inspirasi Si Kodok Tuli


Beberapa ekor kodok sedang bersiap panjat pinang. Di atas sana sudah tergantung hadiah impiannya. Beberapa kodok lainnya mencemooh dengan alasan, kodok ini tidak mungkin bisa mendaki pinang yang licin. Berbagai cara tentu tak akan bisa dicapai oleh si kodok. Si kodok tetap memanjat, tak menggubris apapun kata orang. Sampai akhirnya ia sampai ke atas dan berhasil mengambil hadiah yang diinginkan. Kodok tak mendengar apapun yang dikatakan oleh teman-temannya, kodok tak mendengar. Karena dia tuli.
*

“Inti dari kisah ini yang bisa kita jadikan pelajaran, seberapa pedihpun kata-kata orang, jangan dengarkan. Setiap usaha yang kita lakukan tentunya ada hasil, asal kita yakin dengan kemampuan kita. Kalau kodok ini tidak tuli, mungkin nasibnya akan sama dengan kodok-kodok lainnya. Tidak memanjat pinang dan merebut hadiahnya. Tapi kodok tuli ini tak mendengar. Makanya ia mendapat apa yang diinginkannya” Kata teman saya di sebuah ruang perkuliahan.

Saya terkejut. Benar apa yang dikatakannya.

Beberapa kali saya bertemu dengan teman-teman. Duduk di  suatu tempat sambil cemilan yang tak bisa dikatagorikan murah atau mahal. Tapi cukup sulit juga mengeluarkan karena kondisi keuangan sedang kere. Bagi orang yang berpenghasilan belum tetap pastinya merasakan hal ini.

Kebanyakan jika sudah bertemu akan membahas alur kehidupan yang mulai surut atau pertentangan pola pikir bersama teman dekat. Cerita-cerita mereka seperti ter-scan di memori saya. Ada kesamaan, kalaupun tidak sama pasti ada relevansinya sedikit dengan alur kehidupan saya.

Saya pernah merasa seperti bangau terbang rendah. Tidak mendapat apapun dan merasa nasib paling menyedihkan.

Saat itu saya berpikir sayalah manusia yang paling malang sedunia. Semua yang dikatakan orang tentang sulitnya mencari kerja di Aceh saya benarkan. Saya bahkan pernah dimarahi oleh adik kos saya yang baru selesai kuliah dan mengatakan kalau saya tidak realistis menghadapi kenyataan hidup. Kalau saya boleh berkata jujur, selama ini saya merasakan kesulitan-kesulitan itu. tapi bukan lantas saya berdiam diri dengan apa yang dikatakan orang.

Setiap lowongan yang dibuka, saya mengajukan lamaran. Meskipun selama ini untuk kriterian pekerjaan lokal saya selalu ditawarkan untuk mengerjakannya. Saya pernah melamar di IFES, sebuah lembaga internasional. Saat itu semua teman-teman yang mengajukan lamaran dan saya kenal tak ada yang dipanggil sampai tahap wawancara. Saya lolos di tahap wawancara, tapi malang di bagian kemampuan menulis berita dan analisis di bagian bahasa Inggris. Waktu itu saya melamar di bagian analisis berita yang umumnya memakai bahasa inggris semuanya.

Tidak bisa tidak.

Saya tidak lolos dan mendapat email sebulan kemudian. Mereka mengatakan tidak bisa menerima saya karena bahasa inggris dan kualifikasi akhir saya sedikit mengecewakan. Saya terima dengan lapang dada.

Seperti biasanya, saya selalu jatuh ketika tahap wawancara. Saya berpikir apa salah saya. namun hanya berpikir saja tidak cukup. Justru penolakan itu harus menjadi cambuk untuk belajar bahasa inggris.

Saat saya menginnjakkan kaki ke negeri tirai bamboo, saya mendapatkan banyak novel bahasa inggris yang tidak dijual di Indonesia. Semangat empat lima saya menghabiskan uang sebanyak 100 yuan untuk buku-buku itu. Hasilnya? Saya memang lebih pede untuk belajar dan menulis dalam bahasa Inggris.

Nah, di kelas SPU saat kisah kodok mengalir dari teman sekelas saya, kami kemudian bersama-sama saling memotivasi untuk belajar bahasa Inggris. tak ada yang tak mungkin untuk kebaikan ataupun keburukan. Semuanya butuh waktu untuk membuktikan.

Tidak ada komentar: