Beberapa ekor kodok sedang bersiap panjat pinang. Di atas sana
sudah tergantung hadiah impiannya. Beberapa kodok lainnya mencemooh dengan
alasan, kodok ini tidak mungkin bisa mendaki pinang yang licin. Berbagai cara
tentu tak akan bisa dicapai oleh si kodok. Si kodok tetap memanjat, tak
menggubris apapun kata orang. Sampai akhirnya ia sampai ke atas dan berhasil
mengambil hadiah yang diinginkan. Kodok tak mendengar apapun yang dikatakan
oleh teman-temannya, kodok tak mendengar. Karena dia tuli.
*
“Inti dari
kisah ini yang bisa kita jadikan pelajaran, seberapa pedihpun kata-kata orang,
jangan dengarkan. Setiap usaha yang kita lakukan tentunya ada hasil, asal kita
yakin dengan kemampuan kita. Kalau kodok ini tidak tuli, mungkin nasibnya akan
sama dengan kodok-kodok lainnya. Tidak memanjat pinang dan merebut hadiahnya.
Tapi kodok tuli ini tak mendengar. Makanya ia mendapat apa yang diinginkannya”
Kata teman saya di sebuah ruang perkuliahan.
Saya
terkejut. Benar apa yang dikatakannya.
Beberapa
kali saya bertemu dengan teman-teman. Duduk di
suatu tempat sambil cemilan yang tak bisa dikatagorikan murah atau
mahal. Tapi cukup sulit juga mengeluarkan karena kondisi keuangan sedang kere.
Bagi orang yang berpenghasilan belum tetap pastinya merasakan hal ini.
Kebanyakan
jika sudah bertemu akan membahas alur kehidupan yang mulai surut atau
pertentangan pola pikir bersama teman dekat. Cerita-cerita mereka seperti ter-scan di memori saya. Ada kesamaan,
kalaupun tidak sama pasti ada relevansinya sedikit dengan alur kehidupan saya.
Saya pernah
merasa seperti bangau terbang rendah. Tidak mendapat apapun dan merasa nasib
paling menyedihkan.
Saat itu
saya berpikir sayalah manusia yang paling malang sedunia. Semua yang dikatakan
orang tentang sulitnya mencari kerja di Aceh saya benarkan. Saya bahkan pernah
dimarahi oleh adik kos saya yang baru selesai kuliah dan mengatakan kalau saya tidak
realistis menghadapi kenyataan hidup. Kalau saya boleh berkata jujur, selama
ini saya merasakan kesulitan-kesulitan itu. tapi bukan lantas saya berdiam diri
dengan apa yang dikatakan orang.
Setiap
lowongan yang dibuka, saya mengajukan lamaran. Meskipun selama ini untuk
kriterian pekerjaan lokal saya selalu ditawarkan untuk mengerjakannya. Saya
pernah melamar di IFES, sebuah lembaga internasional. Saat itu semua
teman-teman yang mengajukan lamaran dan saya kenal tak ada yang dipanggil
sampai tahap wawancara. Saya lolos di tahap wawancara, tapi malang di bagian
kemampuan menulis berita dan analisis di bagian bahasa Inggris. Waktu itu saya
melamar di bagian analisis berita yang umumnya memakai bahasa inggris semuanya.
Tidak bisa
tidak.
Saya tidak
lolos dan mendapat email sebulan kemudian. Mereka mengatakan tidak bisa
menerima saya karena bahasa inggris dan kualifikasi akhir saya sedikit
mengecewakan. Saya terima dengan lapang dada.
Seperti
biasanya, saya selalu jatuh ketika tahap wawancara. Saya berpikir apa salah
saya. namun hanya berpikir saja tidak cukup. Justru penolakan itu harus menjadi
cambuk untuk belajar bahasa inggris.
Saat saya
menginnjakkan kaki ke negeri tirai bamboo, saya mendapatkan banyak novel bahasa
inggris yang tidak dijual di Indonesia. Semangat empat lima saya menghabiskan
uang sebanyak 100 yuan untuk buku-buku itu. Hasilnya? Saya memang lebih pede
untuk belajar dan menulis dalam bahasa Inggris.
Nah, di kelas SPU saat kisah kodok mengalir dari
teman sekelas saya, kami kemudian bersama-sama saling memotivasi untuk belajar
bahasa Inggris. tak ada yang tak mungkin untuk kebaikan ataupun keburukan.
Semuanya butuh waktu untuk membuktikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar