Dangao (baca: tankao), dalam bahasa mandarin berarti kue tart. Bisa
berupa kue ulang tahun, blackforest
atau makanan sejenisnya yang terlihat menarik dan tak sabar dijamah. Coba saja
jika melewati toko bakery, tentu keinginan untuk memilikinya lebih besar
daripada memakannya. Sekalipun sekedar untuk di pajang.
Minggu pagi,
tanggal 24 Februari 2013, kelas bahasa mandarin di BKPBM berakhir. Hari ini
semua siswa mengikuti ujian akhir berupa ujian tulis dan ujian praktek. Ujian
tuliis terdiri dari ujian mengarang dan menulis karakter han. Sementara ujian
praktek dilatih untuk bicara yang mempunyai dua nilai sekaligus, bicara dan
mendengar.
Saat ujian
praktek berlangsung, saya keluar dari ruang tempat saya biasa bersemedi dengan
pekerjaan. Saya duduk di kelas bersama para siswa lain yang berwajah kaku.
Tegang menghadapi ujian. Satu orang selesai, yang lainnya masuk. Mereka
bergantian masuk ke ruang ‘semedi’ dan siap untuk mengikuti ujian.
Mata saya
menangkap sebuah kotak besar dua warna. Putih dan pink. Saya dapat menebak, itu
adalah kotak yang berisi kue. Saya penasaran apa isinya. Tapi saya tak berani
untuk menanyakan pada mereka apa isinya. Biasanya, ayi Niar akan membawa dangao untuk semua teman-teman sekelas. Saya
tentu saja kebagian walau Cuma sepotong.
Dangao ayi Niar lembut dan lezat. Rasanya pas. Jika biasanya kita
menikmati kue tart yang membuat neg. Dangao
ayi Niar tidak memberikan kesan seperti itu. Justru ayi niar membuat dangao yang sangat lezat.
Beberapa
kali kami menanyakan bagaimana bisa ayi Niar membuat dangao yang begitu lezat. Ia hanya tersenyum. Sekelipun tak
menceritakan apa yang membuat semua sajiannya begitu tak tertandingi.
Ilham, cowok
tamatan SMU yang baru berusia 19 tahun dan berwajah tampan seperti actor Korea
malah sangat menyukai dangao ayi
Niar. Ia kerap membungkus dangao ayi Niar untuk dibawa pulang.
Hari ini, dangao yang dibawa oleh ayi Niar jauh
lebih besar dari biasanya. Kremnya banyak, hiasan bunga mawar warna merah muda
berjejer cantik menggugah selera. Di sana ada tulisan “Xie xie laoshi.. Women hen gaoxing jintian”. Artinya kira-kira
begini, “Terimakasih guru, kami sangat senang hari ini”.
Saya pernah
belajar bahasa mandarin, di kelas saya dijelaskan bahwa keterangan waktu
diletakkan di depan. Seharusnya jintian diletakkan
di sebelum kata women. Tapi tentu
saja masih banyak pendapat lain dalam penggunaan grammar. Saya sendiri bukan ahlinya. Percakapan saja saya masih tek
duk tralala. Bingung tingkat tinggi.
Kembali ke cerita
dangao.
Kami semua
sangat mengharapkan dangao itu segera
dipotong. Sebelum dangao dipotong,
saya bersama para xuesheng berpose genit dengan kue besar. Misliani dengan
girang selalu berniat untuk berpose sendiri di dekat dangao. Sayangnya keinginannya sulit tercapai selama ada saya di
sampingnya. Saat posenya sudah bagus, saya selalu mencuri pose di sampingnya.
Meskipun pada akhirnya aksi nakal saya berakhir juga. Saya menjepret pose
Misliani memotong dangao.
Ketika sesi
makan-makan dangao berlangsung, Ika, laoshi mandarin yang aktif saat ini
membisiki saya sesuatu. “Kak, kita privat buat dangao sama bu Niar, yuk. Dasarnya saja, untuk hiasan kita belajar
sendiri.”
“Bisa.
Ayuk.” Kata saya. Sebenarnya dalam hati saya meragukan juga kata ‘ayuk’ yang
saya ucapkan. Sejauh ini saya belum punya gairah untuk membuat kue-kue. Apalagi
sejenis dangao yang cantik seperti
ayi Niar punya.
Saat ini saya hanya ingin belajar menyajikan
masakan sederhana tapi menggairahkan untuk keluarga. Seperti bahan dasar tempe,
tahu, sayuran, atau ikan. Tentu saja ini akan selalu dinanti. Tapi belajar
membuat dangao bukan ide yang buruk.
Mungkin saya bisa memulainya dengan membuat ukuran kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar