Awal mula
terpikir untuk membuat kumpulan cerpen bermula dua tahun lalu. Tepatnya saat
cerpenku bebrjudul “Bunga Jiwa’ di muat di majalah KAWANKU pada bulan April
2012.
Waktu itu
saya langsung terpikir untuk menjadikan ilustrasi cerpen majalah KAWANKU
sebagai covernya. Saya sampai lebay men-tag
teman-teman dengan maksud bercanda. Mereka yakin saya serius. Saya jadi tak
enak hati dan merasa membohongi public. Walaupun saya tak pernah berniat
begitu.
Kemudian
saya berpikir, kepercayaan teman-teman harus menjadi motivasi bagi saya. Saya
wajib melaksanakan niat baik untuk membuat kumpulan cerpen.
Langkah
pertama yang saya lakukan cukup menggebrak ketidakpercayaan teman-teman dekat.
Pasalnya saya mendadak produktif. Menulis satu hari dua cerpen dengan disiplin.
Seminggu sekali mengirim cerpen-cerpen ke berbagai media. Meskipun kebiasaan
baik itu hanya berlangsung satu bulan kurang tiga hari.
Langkah
kedua, saya mengklasifikasikan cerpen-cerpen yang sudah dimuat. Mana yang
pantas untuk genre remaja dan chic serta umum. Semangat saya kembali terrpukul
karena cerpen saya tidak cukup. Jangankan tebalnya 200 halaman, 10 cerpen untuk
satu genre saja tidak sampai.
Langkah
ketiga, saya mencoba beristirahat sejenak yang berdampak benar-benar
berisitirahat dan malas menulis.
Nah,
tentunya muncul lagi tulisan saya di blog menjadi pertanyaan. Apakah mimpi itu
akan bangkit lagi? Jawabannya bukan. Saya terinspirasi dengan seorang teman
yang menelepon saya tengah malam.
Saya pikir
dia akan mengganggu saya atau menuntut oleh-oleh dari saya. Ternyata dia sedang
curhat sedang jatuh cinta dan tidak bisa memenddam perasaan. Dia tidak mau
mengungkapkan pada si lelaki itu. Tapi ia ingin bertutur dalam fiksi. Agar
perasaannya lega dan mengambil keuntungan dari sana.
Saya sempat
bertanya, “Keuntungan apa? Penulis itu miskin, lho…”
Dia
menjawab, “Kakak.. Aku ingin keuntungan berlipat ganda jika cintaku bertepuk
sebelah tangan.”
Aku meminta
penjelasannya, jawabannya membuatku tercengang.
“Bayangin
kak, peluangku untuk ditolak itu 90%. Kalau aku ditolak, menulis itu jadi obat
hati untukku. Aku juga bisa jual kisah-kisahku untuk modal beli tissue. Enak
saja cinta buatku rugi. Cinta tetap harus menguntungkan” Jawaban yang cukup
komersil.
Paginya aku
langsung membuat sebuah artikel. Kucoba mengirimkan ke harian local. Menunggu
beritaku muncul di halaman pertama dan aha…!! Semoga ada duitnya.
Tapi tidak mesti duitnya, aku berharap bisa
mengumpulkan cerpen-cerpenku lagi. Bisa membukukannya suatu saat. Bisa pula
melongok rekening setiap bulan, bahwa ada angka-angka dalam bentuk rupiah
mengalir ke rekeningku. Dengan tersenyum kukatakan pada anak cucu, “Ini royalti
mama, nak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar