Kata orang
Takengon itu tanah surge. Apa saja yang ditanam pasti tumbuh. Saya bukan
sarjana pertanian. Saya tak paham masalah itu. Saya hanya tahu kalau Takengon
bunga-bunga tumbuh subur. Mekar indah.
Sejak pindah
rumah ke komplek pertanian, rumah saya nyaris gersang. Tak ada bunga-bunga yang
indah seperti masa rumah di atas bukit. Lebaran tahun 2012, saya sempatkan memotret
bunga-bunga yang tersisa di rumah saya sekarang. Semoga saja sepuluh tahun ke
depan, jika saya sudah punya keluarga sendiri, punya kehidupan sendiri, catatan
ini menjadi kisah klasik untuk masa depan.
Bunga Bougenville.
Bugenville jingga
ini sebenarnya ada perpaduan dengan merah muda. Dulu bunganya sangat rimbun.
Hampir tak ada daunnya. Ayah menanamnya di taman atas tempat biasa kamu main
perosotan. Rencananya bunga itu akan dibuat rindang, seperti payung. Kemudian
di bawahnya akan ditaruh kursi. Sayangnya itu tidak selesai. Kesibukan Ayah di
kebun menciptakan bentuk yang payung setengah dari bunga bugenvil jingga-merah
muda ini. Akhirnya adik saya hanya meletakkan kursi kayu di sini.
Bugenvil ungu
muda ini dulunya tumbuh tinggi. Merambat hingga ke pohon avocado yang menjulang
tinggi. Jika musim bunga tiba, daunnya hanya terlihat sedikit. Selebihnya bunga
semua. Indah sekali. Sayangnya waktu itu belum ada hape. Tidak bisa narsis
sesuka hati seperti sekarang.
Bugenvil merah
yang ini saya tidak tahu asal muasalnya dari mana. Saat saya masih tinggal di
Takengon dan menghabiskan masa kecil di villa putih, bunga ini belum ada. saya
menduga bunga itu memang ada setelah pindah ke komplek pertanian. Mungkin saja
mamak mendapatkan benihnya dari tetangga. Sudah lama saya ingin bertanya. Tapi
selau lupa dan lupa.
Bunga
Anjelia
Tidak tahu dari
mana asal nama itu. Tak tahu juga apa nama latin bunga ini. Saya melihatnya
pertama kali ketika masih rumah di bukit ilalang. Di sana bunga ini ada
beberapa macam. Warnanya indah, mahkotanya besar. Dari bunga-bunga yang dirawat
oleh mamak, bunga inilah yang paling manja. Disebut manja karena perawatannya
sangat ekstra. Beda dengan bunga-bunga-bunga lainnya.
Bunga ini harus
disiangi sebulan seminggu sekali. Tanahnya dicongkel-congkel sampai gembur. Waddahnya
juga mesti di pot, kalau tidak perkembangannya lambat. Tanahnya selalu diberi
pupuk kandang.
Bunga
Ketumbar
Pertama kali saya
melihat bunga ini ketika masih duduk di bangku Tsanawiyah. Di bekalang toilet
rumah yang jaraknya 10 meter dari rumah, saya melihat tumbuhan seperti daun seledri.
Bunganya kecil-kecil warna kuning. Bentuknya seperti gambar salju. Ketika saya
memegang dan mencium aromanya, bau sekali. Saya hampir muntah karenanya.
Belakangan saya baru tahu kalau itu bunga ketumbar.
Bunga
Jambu Klutuk (Guava)
Pernah melihat
bunga jambu klutuk (guava)? Mungkin bagi sebagian orang tidak menarik sama
sekali. Bagi saya bunganya ini sangat indah dan menarik. Jangan tanya kenapa?
Saya tertarik dengan bunga ini.
Bagi saya ada
filosofi yang tak bisa saya jelaskan dari bunga guava ini.
Bunga
Jeruk
Sekilas memang terlihat
seperti bunga melur. Tapi percayalah aromanya yang segar menyadarkan kita bahwa
jeruk yang buahnya sering kita nikmati itu punya bunga yang indah pula. Saya
kerap menikmati bunga jeruk pada awal Maret, namun baru kali ini saya
berkesempatan memotretnya.
Bunga
Mawar
Di halaman rumah
panggung saya sekarang ada beberapa jenis mawar. Kebanyakan memang bunga mawar
kecil-kecil yang ditanam di dalam pot dan bunganya bergerombol. Ada yang
berwarna merah dan putih. Tapi saya ingin memiliki yang berwarna ungu dan
jingga atau kuning.
Mawar ungu dan
jingga mengingatkan saya pada kisah Maya Kitajima dan Masumi Hayami di serial
Topeng Kaca. Komik itu pertama kali saya baca ketika duduk di kelas lima
Sekolah Dasar atas saran teman saya, Maulidar.
Di rumah sekarang, saya
punya tanaman mawar yang di bawa ntah dimana. Kata adik saya, itu hasil
pembelajarannya selama menempuh pendidikan di RSBI SMPA Saree. Perkawinan mawar
merah dan putih akan menghasilkan bunga paduan merah putih yang indah sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar