Pesta
perpisahan kenaikan kelas di buxiban
(tempat les) tempat aku mengabdi ramai. Semua sibuk dengan dangao (Baca: Dangao Ayi Niar). Reza dan Ilham, dua lelaki yang
kompak memakai pakaian hitam sudah mengambil posisi manis dengan sepiring kecil
dangao. Beberapa perempuan lintas
usia sibuk dengan pose-pose mereka dengan dangao.
Ada yang berkeras ingin foto dengan dangao, ada pula yang hanya ingin menikmati
dangao bagian pinggir yang berlapis coklat. Semua keseruan terungkapkan di
sini.
Saya melihat
seseorang yang bertubuh mungil duduk di bangku sendiri. Ia memegang kamera. Dia
bukanlah xuesheng (siswa) di buxiban ini. Ia baru berencana mengambil
kelas pada periode ketiga yang akan dimulai pada bulan Maret 2013. Sementara
ibunya sudah menyelesaikan pada hari ini dan berencana mengambil kelas lanjutan
di bulan yang sama.
Namanya
Ulfa, sama seperti namaku. Dia anak dekan sebuah perguruan tinggi negeri di
Aceh. Ia masih terdaftar sebagai siswa SMUN 4 Banda Aceh, duduk di kelas dua. Sama
seperti pelajar lain, ia juga sudah menentukan minatnya kemana.
“Ulfa pingin
kerja di bank, kak.” Katanya.
Iya juga
bercerita kalau sekarang sedang mencari guru les akuntansi untuk memudahkan
tujuannya. Jika memang mungkin dia akan melanjutkan ke Fakultas Ekonomi.
Kalaupun tak ada di tempat lain, ia ingin di Unsyiah saja.
“Ayah ingin
Ulfa ke China, ya?” Tanya saya.
“Iya. Tapi
Ulfa pinginnya ke negara seperti Inggris saja” Ungkapnya.
Saya
tersenyum.
Anak punya
kemauan, tapi orangtua punya kehendak. Dimana-mana sama. Apalagi jika orangtua
mampu membiayai pendidikan anak.
“Kalau
begitu cari beasiswa ke Inggris. atau ikuti kata orangtua” Kata saya. Entah
sekenanya ataupun benar-benar dari lubuk hati saya yang paling dalam. Saya
tidak bisa merasakan perbedaannya. Mungkin pengaruh kelezatan dangao yang sedang saya nikmati saat
itu.
“Kalau ke
China. Ayah mau membiayai katanya. Beasiswa dari ayah” Ujar Ulfa. Wajahnya
datar. Seolah tidak mau menjelaskan lebih lebar lagi. Wajahnya terlihat sangat
pasrah.
“Kalau
memang Ulfa mau, kakak punya daftar kampus di China lengkap dengan jurusannya.
Kakak bisa bagi Ulfa. Bagaimana pendapat bunda?” Tanya saya.
Saya merasa
perlu tahu alasan ibunya terhadap keinginan Ulfa.
“Bunda juga
sama kayak Ayah. Menyuruh Ulfa masuk kuliah di China saja”
Saya
tersenyum. Kehilangan kata-kata tepatnya.
Tidak lama
kemudian, pembicaraan kami terputus. Laoshi
memanggil saya untuk berfoot bersama mereka. Sekalipun saya tidak ikut
dengan kelas mereka, tapi saya dan mereka cukup dekat. Mungkin pengaruh usia
yang berada di tengah-tengah.
Kami
mengobrol macam-macam. Sampai tiba pembahasannya ke masalah gigi.
“Kenapa gigi
kakak?” Tanya Aidil. Dia adalah mahasiswa Kedokteran gigi. Tubuhnya mungil dan
anaknya lembut. Dia pintar berbahasa Korea. Tapi keluarganya menginginkan Aidil
belajar bahasa mandarin juga. Menurut abang Aidil, bahasa mandarin penting
dalam bermasyarakat dan bernegara.
“Gatal. Tapi
kata dokternya nggak apa-apa. Bersih dari karang” Saya menceritakan sedikit
hasil pemeriksaan hari Jumat silam. Sepertinya informasi seperti ini dibutuhkan
oleh Aidil.
Saya terus
bercerita, sampai ketika ayah Ulfa (beliau juga dekan dan dosen saya masa
kuliah) masuk ke ruangan bersama dua orang anak. Satu saya kenal dengan Aulia,
anak beliau satu-satunya yang laki-laki. Satunya lagi bernama Putri. Dia sudah
duduk di SMP, tapi sifatnya masih kekanakan. Hal yang wajar untuk anak seusianya.
“Ulfa,
kemari sebentar” Panggilnya.
Saya
mengikuti laki-laki paruh baya itu.
Ia
menunjukkan pada saya sebuah laptop yang nasibnya tak jauh beda dengan laptop
saya. Dulu saat semester lima atau empat, saya pernah menggunakan laptop itu
untuk menyelesaikan sebuah cerpen dan saya ikut lombakan. Waktu itu beliau tak
sengaja memberikan agar saya menyelesaikan cerpen saya. Tapi waktu itu saya
disuruh mengetik kurikulum terbaru dari Fakultas.
“Coba tolong
edit tulisan Putri, ya. Dia punya bakat
menulis” Kata beliau.
“Iya, pak.
Mana tulisannya?” Tanya saya sambil menunggu laptop loading.
Beliau
memanggil Putri. Saya masih menunggu.
“Bakat itu
harus diarahkan, pak. Jangan seperti saya dulu” Kata saya. Tapi beliau diam
saja. tapi saat itu saya lupa pada anak pertamanya, Ulfa.
Tak lama
kemudian layar 15 inci itu terpampang tulisan Putri dengan border buah apel
merah. Tata letak penulisan kacau. Namun kaimat pertama yang saya baca cukup
menarik.
Benar!
Dia punya
bakat dalam dunia kepenulisan. Jika ia tidak dikekang, usia menginjak bangku
SMU dia punya buku sendiri. Bakatnya di bidang cerpen.
Beberapa
saat lamanya saya memberi penjelasan pada Putri. Tapi gangguan dari Aulia
datang. Si adik ingin diperhatikan untuk menyalakan film. Begitupun dengan Ashila
yang meminta saya menggambar. Aulia punya bakat menggambar rumah. Kalau
diarahkan dengan baik, ia bisa menjadi aristek atau insinyur.
Sebelumnya,
dua malam sebelum saya menulis catatan inii. Salah satu siswa kelas tiga di
sebuah madrasah model di Banda Aceh juga bercerita. Ia mengatakan pada saya
jika mamanya memaksa ia untuk masuk ke Pendidikan Dokter Unsyiah. Sementara ia
ingin kuliah di jurusa Hubungan Internasional Universitas Indonesia.
Saat ini ia
galau. Bingung bagaimana menjelaskan pada kedua orangtuanya untuk mengizinkan
pilihannya.
Waktu itu
saya menyarakan dengan saran sesimpel-simpelnya. Setidaknya hal ini juga saya
pernah alami, 10 tahun lalu.
“Ambil saja
sesuai saran mama. Kemudian di pilihan keduanya pilih Komunikasi. Hubungan
Internasional itu battang tubuhnya Komunikasi. Di sana kamu bisa buktikan sama
Mama kalau kamu mampu. Nah, di saat kamu sedang kuliah di komunikasi, cari cara
untuk kuliah di UI. Buktikan kalau kamu memang mampu dengan pilihanmu” Jelas
saya pada sebuah chat.
Ia
mengatakan sedang mencoba melakukan itu.
Dua bulan
yang lalu, adik orang terdekat saya juga mengalami hal yang sama. Ia berminat
pada jurusan bahasa Inggris atau Matematika. Tapi pihak keluarganya memaksa ia
masuk ke kedokteran. Termasuk abangnya sendiri yang paling keras memaksa dia
untuk masuk ke Kedokteran.
Dalam banyak
hal, saya tak mengerti mengapa seseorang itu memaksa untuk mengambil jurusan
yang ia sukai, bukan yang anak sukai. Padahal, jika saja ia memasuki dunia yang
ia inginkan, ia akan berhasil di sana. Secara tidak langsung, si anak akan
mengerjakan apa yang ia mau. Dengan demikian, ia akan berkarya dan berprestasi.
Dari prestasi itu tercipta peluang yang besar untuk mendapatkan apa yang lebih
besar.
Sejauh ini
saya pernah melihat hal ini terjadi pada kakak sepupu saya. Sejak kecil kedua
orangtuanya sadar bahwa dia sangat berbakat dalam menggambar. Ia lulus di ITB
dengan nilai bagus dan melanjutkan kuliah di Australia dengan beasiswa
pemerintah. Jurusan yang ia ambil sejurus dan dia terbukti sukses dalam
karirnya.
Berbeda
dengan saya yang terlahir bukan dari orangtua berada.
Jika ditanya
cita-cita masa kecil, saya pernah bercita-cita ingin menjadi pramugari saat SD.
Itu karena pramugari selalu terlihat cantik, bertemu banyak orang, mengunjungi
banyak negara. Itu yang menarik. Saya ingin terbang setiap hari dengan tujuan
dan orrang-orang yang berbeda.
Cita-cita
itu berubah ketika saya naik ke kelas enam SD. Di sana saya mulai menyadari
bahwa ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain menjadi pramugari. Saya
ingin menjadi penulis.
Alasannya
simpel saja. Penulis itu selalu terlihat
pintar dengan tulisannya. Semua orang mengenalnya meskipun tak pernah
melihatnya. Buku-bukunya selalu dicari orang, sekalipun orang itu sudah
meninggal. Ini menarik minat saya. Apalagi saya menyukai dunia tulis menulis
kemudian. Waktu itu saya suka baca majalah Bobo yang dibeli ayah secara second,
paling baru terbitan tahun lalu. tapi saya senang karena merasa ayah mendukung
saya secara diam-diam.
Kemudian
ketika saya masuk ke bangku Tsanawiyah, saya mengetahui satu hal penting.
Menjadi penulis tak mesti sekolah. Siapapun bisa menjadi penulis asal ia punya
daya imajinasi dan kemampuan untuk merangkai kata. Ini say abaca di majalah
Annida. Waktu itu dimuat sebuah profil penulis yang tamatan Teknik. Di lain
edisi dimuat pula seorang dokter dan guru.
Teman-teman
saya kebanyakn mempunyai cita-cita guru. Saya terpikir untuk menambah cita-cita
menjadi guru atau apapun. Terpikir oleh saya waktu itu untuk mejadi guru Bahasa
Inggris. Usia 11-15an memang usianya galau-galau soal cita-cita. Saya berubah
cita-cita menjadi desainer. Itu karena seseorang memuji karya gambar-gambar
pakaian yang saya lukis. Ini tak lebih karena saya terlahir di keluarga tukang
jahit, kemudian darah seni lukis mengalir sedikit di dalam darah saya.
Cita-cita
saya masih bertahan di menjadi penulis sampai saya duduk di kelas dua bangku
aliyah. Baru kemudian di kelas dua juga saya berubah pikiran untuk menjadi
desainer interior. Saya menyukai dekorasi dan melukis hal-hal yang bersifat
memperindah ruangan.
Saya pernah
dimarahi oleh mamak ketika melihat kamar saya tempeli poster cowok. Dari Taufik
Hidayat sampai Justin Timberlake. Semasa sekolah saya rajin berlangganan
majalah. Setiap uang jajan saya sisihkan untuk membeli majalah. Dari majalah
pula saya belajar interior desain kamar.
Dukungan
saya untuk menjadi arsitek sangat besar pada saat saya kelas tiga. Senang juga
ketika mendengar bahwa saya lulus USMU di arsitektur. Sayangnya, kedua orangtua
tidak setuju. Keduanya sepakat menyuruh saya mengambil testing di Universitas
Syiah Kuala, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Saya meilih
jurusan Pendidikan Kimia, Pendidikan Matematika dan Pendidikan Bahasa Inggris.
Satupun tidak lolos. Menurut informan yang akurat, ketidaklulusan saya karena
faktor mengambil jurusan di satu fakultas. Itu tak diperbolehkan. Yach..
Orangtua saya bukan akademisi. Mereka hanya sepasang suami istri penjahit yang
kesehariannya bekerja pontang panting untuk menyekolahkan anak-anak menjadi
anak yang berguna.
Keseharian
mereka jika bukan di kebun menggarap lahan, tentu saja di rumah. Berhahadapan
dengan kain-kain para pelanggan. Sementara untuk diri mereka sendiri, saya tak
pernah melihat baju baru. Baju yang mereka pakai hasil rombak sana sini
lungsuran para saudara.
Dan saat
ketidaklulusan saya di Unsyiah. Saya tidak bisa menerima. Saya menganggap
cita-cita saya ‘ditendang’ oleh orang yang saya cintai. Kemudian atas saran
seorang saudara saya masuk ke jurusan Komunikasi di IAIN Ar-Raniry. Dulunya
saya punya abang sepupu yang alumni jurusan ini. Saat ini ia sedang kuliah di
Inggris untuk program doctoral.
Saya tidak
tahu menyukai jurusan ini atau tidak. Yang jelas semua cita-cita saya buyar.
Saya tidak menjadi guru, karena memang pada akhirnya saya sadar kalau tidak
menyukai profesi ini. Saya tidak menjadi arsitek. Itu pasti. Terpenting, saya
juga tidak menjadi desainer interior. Semua sudah terkubur.
Satu-satunya
harapan saya adalah menjadi penulis. Tuhan seperti merencanakan jalan yang
indah untuk saya. Saat itu saya bertemu dengan orang-orang yang bergelut di
bidang kepenulisan. Sampai suatu saat saya menjadi salah satu bagian dari dunia
ini.
Sampai detik
ini, sampai catatan ini Anda baca. Saya masih sangat merindukan mendesain.
Duduk di bangku kuliah jurusan desain interior atau arsitek. Ataupun duduk
manis di bangku kuliah sastra Jepang. Bukan jurusan Komunikasi yang tak pernah
terlintas di benak saya.
Namun di
balik itu semua, saya bersyukut bahwa Tuhan begitu baik pada saya. Saya bisa
menulis, menyelesaikan kuliah dari hasil menulis. Menyelesaikan skripsi dengan
kemampuan saya berpikir dan menulis. Saya merasa dengan menulis saya terbebas
dari beban hidup. Saya tak mesti berkomentar panjang lebar di dunia maya untuk
memaki. Saya menulis, saya terbebas dan saya menemukan kebebasan.
Yach.. Saya
sepuluh tahun lalu seperti cermin yang dipantulkan melalui para anak SMU yang
galau dengan masa depan. Mereka curhat, saya memberi saran. Tapi saya ingin
tegaskan, tak ada oangtua yang ingin masa depan anaknya suram. Mereka memilih
karena kita tak tunjukkan apa yang bisa kita lakukan untuk berubah.
Mungkin jika
10 tahun lalu saya berkata menyukai sastra Jepang, mungkin orangtua saya
menentang. Tapi jika diam-diam saya belajar bahasa Jepang otodidak, atau
berbekal bahasa Inggris pas-pasan saya menerjemahkan sebuah novel. Kemudian
novel itu saya publikasikan. Kemudian saya bisa membuktikan pada mereka bahwa
saya ternyata mampu menjadi apa yang saya inginkan. Tentu saja saat ini saya
bergelar sarjana sastra, atau sarjana teknik.
Tak ada yang pelu disesali. Kita hanya perlu
belajatr. Mungkin kita gagal, tapi generasi selanjutnya harus bisa menyuarakan
nurani.