Keluar dari lokasi kampus jantong hatee rakyat Aceh, melewati jalan aspal hitam baru, diantara rumah-rumah petak dan rawa kecil. Sebuah lapangan bola seakan lenyap hampir tiga bulan lalu. Sejak 26 Desember 2004, setelah tsunami meluluh lantakkan hampir seluruh pesisir Aceh. Tempat yang dulunya dihuni kelompok-kelompok berseragam olah raga dengan dua gawang dan satu bola berubah. Hanya ada barak-barak pengungsi di sana. Dikelilingi rumah-rumah bantuan, suasana sepipun berubah ketika berada di sana.
Sebuah lapangan bola, berdiri empat barak di sana. Dua barak blang krueng dan dua barak ba’et. Disanalah istana para korban tsunami selama hampir tiga tahun. Mereka menanti janji-janji terwujudkan. Dari pemerintahan dan LSM asing yang selalu datang dengan mobil mewah dan iming-iming segala macam.
Beberapa barak di sana telah dibongkar, sekeliling rumah bantuan mulai berdiri angkuh. Hijau, kuning dan jingga, berdiri megah bersaing dengan barak yang masih berbaris. Di sana, berbagai bunga tersusun rapi di depan beberapa rumah. Namun diantara rumah bantuan tersebut masih banyak belum di tempati.
Barak Blang Krueng, seperti barak-barak lainnya. Terdiri dari dari lima buah ruang. Ada yang besar dan ada yang kecil. Kini tempat sudah berkurang penghuninya, ada yang sudah pindah tempat saudara dan mendapatkan rumah. Namun, 15 kepala keluarga yang tersisa dari 200 kepala keluarga lain tak jelas nasibnya kini. Rumah tak ada, kerjaan tak ada, bahkan tragisnya bantuan hanya dalam janji-janji. Termasuk sebuah “istana” tempat berteduh dari panas dan hujan.
Di barak Blang Krueng, mereka hanya menerima sekilo minyak makan dan beras 15 kilogram. Untuk kehidupan yang lebih baik, dengan bantuan semacam ini tak mungkin masyarakat bisa menjalani hidup selayaknya.
”Nyang na bantuan si peu mantong kamoe. Laen hana sapeu na (Yang ada bantuan hanya semacam saja. Selain itu taka da apa-apa).” Ujar Sudirman, kepala barak Blang Krueng. Laki-laki berkulit hitam, kumis tebal dan kurus ini tampak tegar di sisa-sisa kekesalannya pada pengobral janji.
Rumah yang dijanjikan memang tak bersyarat. Hanya dimintai memperlihatkan Kartu keluarga, Fotocopy kartu Tanda Penduduk, membuat pernyataan diatas materai, dan mengikuti tahap wawancara. Bagi warga yang memiliki tanah akan di bangun diatas tanah pribadi, tapi bagi yang tak memiliki tanah, maka rumah yang akan di berikan bertempat di daerah Ujong Batee.
“Udah lima puluh KK saya dilewatkan. Sudah wawancara, semuanya, tapi sampai hari ini belum selesai juga. Jika ada rumah, ketengah lautpun kami tidak apa-apa. Kalau ngomong-ngomong aja buat apa?” timpal seorang ibu bertubuh subur, memakai daster bunga-bunga warna hijau muda. Guratan kekecewaan terbias di wajahnya saat berkata.
Beberapa hari ini mereka juga mendengar bahwa barak akan di bongkar. Jika isu ini benar-benar terjadi, sementara rumah belum selesai, sedangkan orang-orang di sini tidak tau harus kemana. Maka penghuni barak yang tak seberapa banyak ini rela menarik tenda di tempat itu juga, menggunakan mesjid sebagai tempat tumpangan.
“Kalau barak kami di bongkar bulan ini, kami pulang ke mesjid dan makan tidur disana. Atau kami akan menarik tenda di jalan.” Tambah ibu bernama fauziah lagi menggebu-gebu.
Penduduk di sini tidak memiliki mata pencaharian tetap. Sehari-hari mereka bekerja menanam rumput dihalaman bola tempat barak mereka berdiri. Semeternya hanya di bayar Rp.1000,-, ada yang bekerja tukang bangunan, bahkan peh tirom. Mereka juga berharap ada LSM yang sudi memberi pekerjaan pada mereka untuk sesuap nasi.
Sejak beberapa waktu lalu, beberapa LSM asing selalu datang menghampiri mereka untuk mendata. Bukan satu dua LSM yang datang kemari, banyak sekali. Namun tak satupun diwujudkan dengan nyata. Mereka datang hanya untuk sekedar janji, bukan memberi.
“Mereka bukan menolong tapi menggulung. Untuk apa, duit habis tapi tak ada apa-apa hasilnya. Bantuan tidak ada apa-apa.” Ujar Sudirman, ia mengucapkan kalimat ini berkali-kali.
Bahkan beberapa hari terakhir ini kantor DPRD menjanjikan memberi uang pelaksanaan Maulid. Tapi setelah tiga kali bolak balik apa yang di janjikan tak ada. Padahal, mereka sudah membentuk panitia acara ini.
“Untuk apa kita pergi lagi, kalau akhirnya kita yang rugi.” katanya dalam bahasa Aceh Besar, sedih. Menurutnya kedatangan mereka ke legislatif pemerintahan iu sangat mengesalkan. Selain berujung benci juga kesan yang di dapat juga menyakitkan.
Bukan banyaknya uang yang diharapkan. Tetapi perwujudan janji yang di ucapkan. Setidaknya mereka tidak berharap lebih pada orang-orang tak bertanggung jawab itu.
”Sebaiknya jangan dibilang. Jadi kita tidak berharap. Kita juga bisa bekerja semampu kita. Kalau memang tidak ada bilang tidak ada, kita tidak bolak-balik kesana. Untuk ongkos sudah habis, belum lagi foto copy ini itu” Katanya geram. Orang-orang di sekelilingnya langsung membenarkan. Beberapa orang malah menimpali dengan kata-kata kekesalan.
Selain kepada LSM, para penghuni barak juga berharap kepada pemerintahan baru. Bapak Irwandi Yusuf, ”Kami ingin bapak gubernur juga membantu kami. Ingatlah masa bersama-sama perjuangan dulu. Kita sama-sama susah keluar masuk hutan dan sekarang sudah jadi orang besar.” Tutup fauziah diikuti anggukan beberapa warga lainnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar