LAPANGAN Merdeka Kota Langsa ramai. Peringatan hari kemerdekaan Indonesia akan berlangsung besok. Malam itu beberapa gerobak mulai mengisi trotoar di sepanjang halaman. Kursi-kursi plastik warna-warni mulai disusun hingga ke tengah lapangan. Satu per satu pengunjung pun mulai datang, mencari tempat yang nyaman. Tempat makan terbuka ini disebut “Rex”, sama seperti nama tempat makan terbuka yang terkenal di Banda Aceh. Padahal nama Rex berasal dari nama bioskop yang dulu sempat berdiri di situ.
Di beberapa sudut lapangan yang agak remang-remang, beberapa muda-mudi mempunyai tempat sendiri. Namun malam itu para lelaki dewasa lebih banyak terlihat di sini.
Saya bersama tiga teman sedang menunggu seseorang. Nazar, salah seorang dari kami, akan mengenalkan kami pada seseorang itu. Ia menyebut orang tersebut: teman lama. Tiba-tiba telepon seluler Nazar berdering, memperdengarkan lagu Toxic Britney Spears, penyanyi pop asal Amerika.
Nazar menjelaskan posisi kami pada si penelepon. Tak berapa lama, sebuah Kijang Avanza hitam memasuki tempat parkir, tak jauh dari kursi kami. Seorang lelaki paruh baya keluar dari mobil itu.
Perawakannya tinggi, tambun, rambutnya lurus belah tengah, tak ada senyum. Ia memakai jins dan kaos oblong.
“Assalamualaikum....” Ia mengucap salam, seraya mengangkat tangan setinggi kepala. Kami menjawab salamnya serempak dan menyalaminya bergantian.
Nazar memperkenalkan kami pada lelaki itu. Ternyata ia seorang pengusaha perlengkapan rumah tangga. Dulu ia pernah jadi pegawai pemerintah kabupaten. Hamzah, namanya.
Seorang pelayan menghampiri kami, membawa catatan dan pulpen, menanyakan menu yang akan dipesan.
“Jus terong Belanda,” jawab saya.
“Pokat.” Nazar bermaksud menyebut “alpokat”.
"Mangga,” Nurul menyebut pesanannya. Kening pelayan itu berkerut. Sepertinya ia akan mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya.
“Bapak seperti biasa?” tanya si pelayan itu akhirnya pada Hamzah.
Ia mengangguk.
“Gulanya dikurangi ya,” ujar Hamzah. Si pelayan mengangguk dan bergegas menyiapkan pesanan kami. Hamzah memang bukan orang baru bagi pelayan tadi.
“Saya sudah sering nongkrong di sini. Hampir tiap malam. Kadang-kadang bertemu rekan bisnis, kadang teman-teman dari kantor dulu,” kisahnya. “Mereka juga bingung mau mengikuti jejak saya atau tetap bertahan sebagai pegawai biasa dengan gaji pas-pasan.”
Hamzah lalu bercerita tentang pekerjaannya dulu: pegawai negeri sipil. Para pegawai di kantornya datang hanya untuk menandatangani absen saja. Lalu duduk dan mondar-mandir saja di kantor. Tak jarang mereka hanya nongkrong di warung kopi dan duduk-duduk saja, lalu tiap bulan menerima gaji. Tak hanya di satu kota saja perilaku pegawai pemerintah seperti ini, tapi hampir di semua kota di provinsi Aceh.
Menurut Hamzah, merdeka dari pekerjaan itu bukan sekedar bebas dari kerja yang tidak kita sukai. Tapi dapat mencari pekerjaan yang lain dan kita senangi.
Lapangan Merdeka Langsa setiap tahun menjadi lapangan upacara untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, tapi ia juga saksi bahwa sekian banyak orang masih belum lepas dari penjajahan. Begitulah kata Hamzah.
“Kalau saja pemerintah kita bijak dalam mengatasi perekonomian masyarakat, pastinya kita sudah seperti negara-negara maju. Buah-buahan seperti ini tak ada yang busuk. Kita bisa mempunyai perusahaan pengolahan buah sendiri. Misalnya di Takengon. Jadi semua masayarakat di sana merdeka dari kesulitan ekonomi. Benar tidak?” Hamzah bertanya pada saya.
Rupanya itu definisi “kemerdekaan” yang dimaksud Hamzah.
Para rakyat kecil yang berdagang di jalan-jalan pun masih dikejar-kejar satuan polisi pamong praja, belum merdeka secara penghidupan.
“Padahal mereka bekerja di kaki lima bukan dengan niat mengganggu ketertiban umum, tapi karena tak sanggup menyewa lapak yang harganya mahal. Penghasilan mereka saja tak seberapa,” Nazar ikut berkomentar.
Para pedagang di Rex dengan izin pun masih harus membayar uang restribusi pada pemerintah.
Malam semakin larut ketika kami meninggalkan Rex untuk kembali ke penginapan.
Seorang perempuan dengan rompi oranye memandu mobil keluar dari tempat parkir. Di Banda Aceh saya tidak pernah melihat perempuan menjadi penjaga parkir, tapi di Langsa sebaliknya. Saya malah tidak melihat lelaki menjadi tukang parkir di sini.
Perempuan paruh baya itu mengutip Rp 5 ribu per mobil. Namun ia masih harus member setoran pada pemerintahan setempat.
Saya ingat hari itu, 17 Agustus 2009 , peringatan ulang tahun Republik Indonesia ke-64 terjadi juga. Beberapa kelompok berbondong-bondong menuju Lapangan Merdeka. Ada rombongan anak sekolah, pegawai, tentara, polisi dan beberapa instansi pemerintahan lainnya. Mereka berbaris dengan seragam masing-masing, menunggu saat-saat bendera merah putih dikibarkan.
Pagi itu saya dan Asna Wati, seorang teman, masih mencari sarapan. Jalanan macet, tak bisa lewat di sekitar lapangan itu. Namun tak jauh dari sana, ada sebuah warung kopi yang pintunya setengah terbuka.
Beberapa orang duduk minum kopi dan berbincang-bincang. Setelah memesan dua piring lontong dan minuman kami pun ikut duduk bersama mereka.
Seorang polisi dengan seragam lengkap menghampiri kami. Ia duduk di antara saya dan Asna.
“Tidak ikut upacara bendera?” tanya polisi itu, dengan garang. Kami terkejut, beberapa orang lain di dalam warung juga terkejut.
“Kami sarapan dulu, nanti baru ikut. Tapi kami sudah mengirim perwakilan untuk upacara,” jawab Asna, agak gentar.
“Dari mana Anda ini? Siapa?” tanya polisi bernama Zulkifli itu. Rambutnya mulai memutih di sana-sini.
Asna menjelaskan bahwa kami berasal dari Banda Aceh. Setelah itu nada bicara Zulkifli mulai melembut.
“Dulu pahlawan kita sangat sulit memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tapi orang-orang zaman sekarang malah seenaknya saja memperlakukan hari kemerdekaan. Hanya datang berbaris beberapa jam tidak mau. Bangsa kita 350 tahun berjuang melawan bangsa asing.” Suaranya kembali meninggi.
Kami hanya mengiyakan saja. Sepertinya, kami salah memilih tempat makan.
Zulkifli juga bercerita tentang keluarganya. Walaupun hanya seorang polisi, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai program doktoral di Jerman.
“Bangga saya sebagai seorang polisi. Berapalah gaji saya, tapi saya bisa sekolahkan anak-anak saya sampai ke Jerman. Beasiswa yang diterima itu tidak cukup, lho. Malah saya banyak harus menutupi dengan uang saya sendiri,” tuturnya, sambil tertawa.
Berapa gajinya tiap bulan? Setahu saya, hanya para pengusaha yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri dengan uang pribadi. Tapi saya agak segan menanyakan sumber lain pendapatan Zulkifli selain gaji.
Jam mulai menunjukkan pukul sepuluh. Upacara akan dimulai, namun polisi itu masih duduk di warung kopi. Sampai saya dan Asna meninggalkan warung itu, ia masih duduk di sana. Padahal ia tadi memperingatkan kami untuk upacara.***
Di beberapa sudut lapangan yang agak remang-remang, beberapa muda-mudi mempunyai tempat sendiri. Namun malam itu para lelaki dewasa lebih banyak terlihat di sini.
Saya bersama tiga teman sedang menunggu seseorang. Nazar, salah seorang dari kami, akan mengenalkan kami pada seseorang itu. Ia menyebut orang tersebut: teman lama. Tiba-tiba telepon seluler Nazar berdering, memperdengarkan lagu Toxic Britney Spears, penyanyi pop asal Amerika.
Nazar menjelaskan posisi kami pada si penelepon. Tak berapa lama, sebuah Kijang Avanza hitam memasuki tempat parkir, tak jauh dari kursi kami. Seorang lelaki paruh baya keluar dari mobil itu.
Perawakannya tinggi, tambun, rambutnya lurus belah tengah, tak ada senyum. Ia memakai jins dan kaos oblong.
“Assalamualaikum....” Ia mengucap salam, seraya mengangkat tangan setinggi kepala. Kami menjawab salamnya serempak dan menyalaminya bergantian.
Nazar memperkenalkan kami pada lelaki itu. Ternyata ia seorang pengusaha perlengkapan rumah tangga. Dulu ia pernah jadi pegawai pemerintah kabupaten. Hamzah, namanya.
Seorang pelayan menghampiri kami, membawa catatan dan pulpen, menanyakan menu yang akan dipesan.
“Jus terong Belanda,” jawab saya.
“Pokat.” Nazar bermaksud menyebut “alpokat”.
"Mangga,” Nurul menyebut pesanannya. Kening pelayan itu berkerut. Sepertinya ia akan mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya.
“Bapak seperti biasa?” tanya si pelayan itu akhirnya pada Hamzah.
Ia mengangguk.
“Gulanya dikurangi ya,” ujar Hamzah. Si pelayan mengangguk dan bergegas menyiapkan pesanan kami. Hamzah memang bukan orang baru bagi pelayan tadi.
“Saya sudah sering nongkrong di sini. Hampir tiap malam. Kadang-kadang bertemu rekan bisnis, kadang teman-teman dari kantor dulu,” kisahnya. “Mereka juga bingung mau mengikuti jejak saya atau tetap bertahan sebagai pegawai biasa dengan gaji pas-pasan.”
Hamzah lalu bercerita tentang pekerjaannya dulu: pegawai negeri sipil. Para pegawai di kantornya datang hanya untuk menandatangani absen saja. Lalu duduk dan mondar-mandir saja di kantor. Tak jarang mereka hanya nongkrong di warung kopi dan duduk-duduk saja, lalu tiap bulan menerima gaji. Tak hanya di satu kota saja perilaku pegawai pemerintah seperti ini, tapi hampir di semua kota di provinsi Aceh.
Menurut Hamzah, merdeka dari pekerjaan itu bukan sekedar bebas dari kerja yang tidak kita sukai. Tapi dapat mencari pekerjaan yang lain dan kita senangi.
Lapangan Merdeka Langsa setiap tahun menjadi lapangan upacara untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, tapi ia juga saksi bahwa sekian banyak orang masih belum lepas dari penjajahan. Begitulah kata Hamzah.
“Kalau saja pemerintah kita bijak dalam mengatasi perekonomian masyarakat, pastinya kita sudah seperti negara-negara maju. Buah-buahan seperti ini tak ada yang busuk. Kita bisa mempunyai perusahaan pengolahan buah sendiri. Misalnya di Takengon. Jadi semua masayarakat di sana merdeka dari kesulitan ekonomi. Benar tidak?” Hamzah bertanya pada saya.
Rupanya itu definisi “kemerdekaan” yang dimaksud Hamzah.
Para rakyat kecil yang berdagang di jalan-jalan pun masih dikejar-kejar satuan polisi pamong praja, belum merdeka secara penghidupan.
“Padahal mereka bekerja di kaki lima bukan dengan niat mengganggu ketertiban umum, tapi karena tak sanggup menyewa lapak yang harganya mahal. Penghasilan mereka saja tak seberapa,” Nazar ikut berkomentar.
Para pedagang di Rex dengan izin pun masih harus membayar uang restribusi pada pemerintah.
Malam semakin larut ketika kami meninggalkan Rex untuk kembali ke penginapan.
Seorang perempuan dengan rompi oranye memandu mobil keluar dari tempat parkir. Di Banda Aceh saya tidak pernah melihat perempuan menjadi penjaga parkir, tapi di Langsa sebaliknya. Saya malah tidak melihat lelaki menjadi tukang parkir di sini.
Perempuan paruh baya itu mengutip Rp 5 ribu per mobil. Namun ia masih harus member setoran pada pemerintahan setempat.
Saya ingat hari itu, 17 Agustus 2009 , peringatan ulang tahun Republik Indonesia ke-64 terjadi juga. Beberapa kelompok berbondong-bondong menuju Lapangan Merdeka. Ada rombongan anak sekolah, pegawai, tentara, polisi dan beberapa instansi pemerintahan lainnya. Mereka berbaris dengan seragam masing-masing, menunggu saat-saat bendera merah putih dikibarkan.
Pagi itu saya dan Asna Wati, seorang teman, masih mencari sarapan. Jalanan macet, tak bisa lewat di sekitar lapangan itu. Namun tak jauh dari sana, ada sebuah warung kopi yang pintunya setengah terbuka.
Beberapa orang duduk minum kopi dan berbincang-bincang. Setelah memesan dua piring lontong dan minuman kami pun ikut duduk bersama mereka.
Seorang polisi dengan seragam lengkap menghampiri kami. Ia duduk di antara saya dan Asna.
“Tidak ikut upacara bendera?” tanya polisi itu, dengan garang. Kami terkejut, beberapa orang lain di dalam warung juga terkejut.
“Kami sarapan dulu, nanti baru ikut. Tapi kami sudah mengirim perwakilan untuk upacara,” jawab Asna, agak gentar.
“Dari mana Anda ini? Siapa?” tanya polisi bernama Zulkifli itu. Rambutnya mulai memutih di sana-sini.
Asna menjelaskan bahwa kami berasal dari Banda Aceh. Setelah itu nada bicara Zulkifli mulai melembut.
“Dulu pahlawan kita sangat sulit memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tapi orang-orang zaman sekarang malah seenaknya saja memperlakukan hari kemerdekaan. Hanya datang berbaris beberapa jam tidak mau. Bangsa kita 350 tahun berjuang melawan bangsa asing.” Suaranya kembali meninggi.
Kami hanya mengiyakan saja. Sepertinya, kami salah memilih tempat makan.
Zulkifli juga bercerita tentang keluarganya. Walaupun hanya seorang polisi, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai program doktoral di Jerman.
“Bangga saya sebagai seorang polisi. Berapalah gaji saya, tapi saya bisa sekolahkan anak-anak saya sampai ke Jerman. Beasiswa yang diterima itu tidak cukup, lho. Malah saya banyak harus menutupi dengan uang saya sendiri,” tuturnya, sambil tertawa.
Berapa gajinya tiap bulan? Setahu saya, hanya para pengusaha yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri dengan uang pribadi. Tapi saya agak segan menanyakan sumber lain pendapatan Zulkifli selain gaji.
Jam mulai menunjukkan pukul sepuluh. Upacara akan dimulai, namun polisi itu masih duduk di warung kopi. Sampai saya dan Asna meninggalkan warung itu, ia masih duduk di sana. Padahal ia tadi memperingatkan kami untuk upacara.***