Baru kali ini aku menginjak kaki di tanah gayo.
Panorama yang indah seindah gadis para titisan Putri Bensu. Dingin... tak
sedingin penyambutan sebuah keluarga tempatku menumpang. Mereka malah
menerimaku dengan ramah dan suka cita. Padahal mereka mempunyai seorang anak
gadis cantik. Kalau di perkampungan seperti ini, mana bisa seorang pemuda
tinggal di rumah seperti ini. Bisa disidang warga.
Dia memang kembang desa. Namanya Lia. Nama modern
untuk gadis semi modern. Rajin, itu kesan pertamaku saat melihatnya. Sebelum
matahari menebar sinar, ia telah bangun dan mengerjakan tugas rumah tangga.
Saat aku masih betah berselimut atau berdaring[1]
di tepi tungku, ia sudah mencium tangan ine ama[2].
Lalu berangkat ke sekolah.
“Tahun depan Lia sudah tamat sekolah. Tapi kami
tidak tahu Lia mau melanjutkan kemana,” suatu pagi ama pernah berkata kepadaku.
Ine mengiyakan, memperkuat ucapan ama.
Sempat aku mengobrol dengan Lia di sela-sela
kesibukannya menyiapkan makan malam. Kesempatan ini juga aku paksa. Lia tak
pernah memberi kesempatan aku untuk mengenalnya. Ia terus menghindar, membuat
aku tak enak hati. Kalau bukan karena tugas, aku sudah lama angkat kaki dari
sini.
“Menunggu canang” Kata Lia. Benda itu apa aku tak
tau. Sebelum aku bertanyalebih jauh padanya, ia sudah mengusirku.
“Ine ama sudah ke kebun. Di rumah hanya tinggal
kita berdua. Tidak enak dilihat orang. Sumang[3].
Ucapnya. Apalagi itu?
Seminggu, sebulan, enam bulan. Aku sudah hampir
selesai kontrak dengan lembaga asing yang memberi donor untuk desa ini. Aku
harus pergi meninggalkan kampung ini. Kembali ke Jakarta untuk menandatangani
kontrak selanjutnya. Ke daerah berbeda tentunya.
Data akurat tentang kampung ini sudah kudapat.
Sebuah desa di pelosok Aceh berdataran tinggi. Keberadaam masyarakat rukun, kebutuhan serba minim dan semua
hal-hal penting lainnya nyaris tak ada.
Ine dan ama juga memberi sebuah kenangan untukku
sebelum pulang. Peci kerawang gayo[4].
Katanya agar aku rajin sholat dan selalu merindukan tanoh gayo[5]
tentunya.
Di tempat ini aku pernah menumpang, menjadi
masyarakat pedalaman. Ikut menjalani adat yang tak pernah kumengerti. Aku juga
sempat menjadi buah bibir akan dicalonkan dengan anak ama ine yang cantiknya di
akui hingga desa seberang.
Tapi bagaimana aku bisa senang jika Lia tak
pernah membuka hatti untukku. Enam bulan bersama hanya beberapa kalimat yang
tertuju untukku. Selebihnya kami larut dalam diam.
Itulah yang kusukai darinya. Pemalu dan
menjunjung tinggi adat. Itu pula yang mengundang rasa rinduku untuk kembali ke
tempt itu. Menjenguk Lia dan ama ine. Tentu
gadis rajin itu telah tamat sekolah setelah dua tahun kutinggalkan.
Kesempatan emas datang, saat bosku memberi tahu
ada undangan untukku. Masayarakat kampung tersebut mengundang akuu kembali
kesana. Sebagai pencetus dan peneliti di desa itu, aku berhak melihat kemajuan
itu kembali.
Kebetulan atasanku juga beretnis gayo. Pertanyaan
terbesarku segera kuajukan untuk modal mendekati Lia. Canang.
Ah... Rasanya tak sabar untuk melihat gadis itu
tersenyum seperti awal kedatanganku. Kali ini dia pasti mau terbuka. Aku telah
banyak membaca buku-buku tentang budaya tanah kelahirannya. Meski aku tak
mengerti sama sekali. Ini akan kudiskusikan dengan Lia.
Seminggu perjalanan, aku tiba juga dikampung itu.
Kini tak lagi sekuno dulu. Sudah ada aspal kasar untuk menuju kampung dingin
itu. Angkutan umum pun sudah beroperasi. Ternyata benar kata geuchik[6].
Banyak kemajuan di sini.
“Ada mahasiswa KKN yang mempermudah hubungan
orang-orang di sini. Rumah-rumah jugasudah diberi nomor” tutur geuchik bangga.
Usaku ternyata tak sia-sia.
“Apa kabar ine ama, pak?! Tentu sekarang mereka
juga sudah sangat bahagia karena Lia sudah mahasiswa juga” Kataku memancing
pembicaraan lebih menjurus. Sekalian mencari tau status Lia sekarang.
“Ah, tidak. Lia satu-satunya yang kami harap bisa
ke kota untuk kuliah ternyata gagal. Setelah tiba ke kota ia lupa tujuan” Ujar
pak geuchik kecewa.
“Maksud bapak?”
“Canang terlalu cepat dipukul di rumahnya.
Walaupun orang tua kecewa, tapi ini menyangkut aib keluargnya. Makanya...
Canang pu berbunyi.”
Aku masih tak mengerti ucapan pak geuchik.
Canang terlalu cepat berbunyi di rumahnya...
Terdorong rasa ridu, aku melangkah ke rumah ine
ama. Tak banyak perubahan dari sebelumnya. Hanya saja, tak ada lagi jemuran
tempat Lia menjemur jemuran sebelum mantahari terbit.
Peluk cium haru terjadi di rumah papan itu. Ama
dan ine seakan tidak mau melepas pelukannya. Bahasa yang tak kumengerti
mengiringi isak tangis mereka. Aku hanya bisa pasrah, meskipun aku tak suka.
Aku tak berani menanyakan Lia meski ia tak tampak
di rumah. Entah kemana gadis itu. Rambut hitam lurusnya pasti sudah sangat
panjang, tubuhnya lebih montok. Lia sekarang, pastilah gadis yang menarik.
Hingga malam tiba, saat makan malam. Aku
memberanikan diri untuk menanyakan Lia. Siapa tahu aku dapat kesempatan
memperistrikannya.
“Lia sudah dipetik orang, anakku. Ine mau anaklah
yang akan menjadi menantu. Amamu sampai menyekolahkannya ke kota. Biar dia
pantas mendampingimu. Tapi ia lebih memilih mencoreng muka kami, nak.” Ine
kembali menitikkan air mata. Ah, aku jadi merasa bersalah. Meski penasaran, tak
kutanyakan apapun lagi pada ine ama.
Seperti dugaanku. Orang kampung akan menceritakan
kepadaku. Ternyata perubahan itu sudah lama terjadi. Lia yang polos tidak lagi
polos. Ia mengenal hal-hal yang tak sepantasnya ia ketahui.
Dua bulan di kota, Lia hamil dan terpaksa
dinikahkan. Sekarang ia berada di rumah suaminya.
Aku baru sadar, ternyata perubahan Lia sejak
keberadaanku. Gadis itu mengetahui hasrat orang tuanya untuk mendekatkan kami.
Tujuan orang tuanya menyekolahkan Lia ke kota juga agar kelak bisa
mendampingiku. Namun Lia tak bisa terima karena ia telah memiliki pilihan
sendiri. Itu juga bentuk protesnya.
Itukah menunggu canang yang dimaksud Lia dulu?
Pesta pernikahan. Oh... Aku tak pernah mengerti. Jika aku tahu keberadaanku
telah merusak pemikiran gadis itu, aku memilih tak hadir di situ. Namun semua
telah berlalu...
Darussalam, 24 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar