Tidak selamanya apa yang kita lihat dan dengar sesuai dengan apa yang orang lain alami. Merasakan berada di posisi yang sulit mungkin akan mudah bagi kita memberi solusi. Belum tentu bagi orang lain. Hal yang sama juga pernah alami, beberapa status Facebook saya banyak bercerita tentang kota Beijing dan segala seluk beluknya. Inilah bagian kecil dari cerita dari negeri tirai bambu yang dimuat di majalah Sumberpost rubrik Citizen Reporter, versi online-nya dapat dibaca di http://sumberpost.com/citizen-journalism-negeri-china-lebih-kejam-dari-ibu-tiri/#.U0I19ah_spQ
*
“Wah, ternyata benar kata
orang. Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Mak, lon meujak woe...!!”
Tulisan itu ditulis oleh seorang alumni
UIN Ar-Raniry yang juga sedang berkuliah di luar negeri. Namun saya tidak tahu
di negara bagian mana. Jarangnya komunikasi dan kesibukan masing-masing tidak bisa
membuat kami sesering dulu bercerita, bercanda dan berbagi. Namun dari
statusnya jelas bahwa ia sedang memulai hidup di kota besar.
Sama. Saya juga sedang memulai semester
kedua di ibukota, sebuah kota besar di Asia Timur yang menjadi pusatnya benua
Asia. Beijing, ibukota negara Republik Rakyat China yang dikenal dengan sebutan
negeri tirai bambu atau negeri panda. Kota ini dulu disebut Peking, sampai saat
ini masih dikenal dengan nama Peking meskipun sudah jarang terdengar.
Pusat kota Beijing terletak di
Tian’anmen. Sebuah tempat tujuan wisata yang amat terkenal dengan sejarah
perjuangan dan pergerakan China. Novel-novel karya Lisa See, seorang hua ren (etnis tionghoa keturunan) asal
Amerika kerap menyitir bangunan ini dalam novel-novelnya. Hingga saat ini tempat itu
masih terawat dan menjadi lokasi upacara bendera pada hari kemerdekaan China
yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober.
Pertanyaan pertama ketika kembali ke
tanah air, melalui jejaring sosial, email adalah “Mengapa pilih ke Beijing?”
Saya pun tidak tahu mengapa memilih Beijing, saya masih punya deretan nama
negara lain dalam catatan hidup saya. Beijing tidak termasuk di dalamnya.
Terkadang jawaban saya menjadi sangat ngelantur,
tapi sebenarnya fakta.
“Beijing yang memilih saya untuk
datang, bukan saya yang memilih Beijing untuk mengunjungi.” Jawaban itu kerap
saya berikan.
Pada dasarnya saya tidak suka tinggal
di ibukota. Beberapa alasan mungkin juga disetujui oleh orang-orang yang sering
ke ibukota negara tertentu, meskipun negara kita sendiri, Indonesia. Pertama,
kehidupan ibukota yang individualis. Kedua, polusi yang tidak baik untuk
kesehatan. Ketiga, biaya hidup yang relatif mahal. Keempat, terlalu banyak
orang di ibukota dan sederetan alasan lain.
Ada sedikit galau ketika saya lulus
beasiswa di Beijing. Terlebih ketika dinyatakan bahwa di kota ini banyak sekali
orang Indonesia. Terutama anak-anak ibukota yang cenderung sombong dan tidak
bisa berbaur dengan anak-anak daerah. Anak-anak daerah yang dimaksud adalah
mahasiswa asal provinsi selain DKI Jakarta. Pandangan yang buruk memang,
terlebih jika ada beberapa orang yang tidak seperti itu.
Semester pertama di Beijing saya lalui dengan
langkah tertatih. Kedatangan saya di Beijing pertama kali suhunya 21 derajat.
Sejuk seperti Takengon, tapi polusi tebal. Sementara di Takengon tidak ada
polusi. Saya mengalami demam mendadak, otot sakit dan hanya seorang diri di
kampus Communication University of China.
Sementara masih banyak yang bisa dilakukan dalam jangka waktu tiga hari.
Kelengkapan administrasi pendaftaran ulang harus selesai dalam waktu itu.
Parahnya tidak ada yang mengerti bahasa
mandarin saya karena perbedaan dialek yang saya pelajari dengan kondisi di
lapangan. Beijing memiliki dialek sendiri yang disebut er hua. Mereka bicara seperti orang kumur-kumur, setiap kata
ditambah er er er. Namun bahasa
mandarin Beijing adalah yang asli. Konon katanya bahasa mandarin beifang (bagian utara) merupakan yang
paling benar karena tidak ada pengaruh bahasa lokal. Di awal-awal kedatangan
saya, orang-orang yang saya temui kebanyakan tidak bisa bahasa Inggris. Saya
pun masih tidak percaya diri untuk membuka mulut bicara bahasa Inggris di kota
ini.
Antara ingin pulang karena shock culture dan bertahan karena keinginan,
akhirnya saya pasang muka tembok. Tidak perlu cemas, tidak perlu takut. Setiap
orang pasti melakukan kesalahan. Tanpa kesalahan manusia tidak pernah belajar. Bismillah...
Dalam dua hari, bahasa Inggris yang
awalnya tersendat-sendat menjadi lancar. Orang-orang yang saya ajak bicara
dalam bahasa Inggris mengerti apa yang saya ucapkan. Saya semakin percaya diri
untuk melangkah keluar. Sebelum keluar saya mengingat apa saja yang akan saya
lakukan di luar. Kemudian mengingat bahasa Inggris-nya. Meskipun ketika keluar
kampus bahasa Inggris tidak membantu sama sekali. Pedagang tidak menggunakan
bahasa Inggris, tapi cukup cerdas menggunakan petunjuk untuk saling mengerti.
Ini karena banyaknya orang asing di Beijing. Mereka banyak yang tidak
menggunakan bahasa mandarin, namun hidup di Beijing karena bisnis atau belajar
dalam bahasa Inggris.
Minggu kedua saya bertemu dengan orang
Indonesia. Hanya dua orang. Berikutnya saya tahu ada enam orang Indonesia di
kampus saya. Semuanya anak ibukota, Jakarta. Cerita-cerita yang selama ini
beredar tentang mahasiswa Indonesia di luar negeri juga terjawab.
Antara kesal, senang dan sedih
mempermainkan hati. Kesal karena saya benar-benar berbeda dari segi budaya,
latar belakang, gaya hidup juga agama. Terkadang berada dalam satu lift, tapi
tidak saling menyapa. Bila menyapa duluan sering tak dihiraukan. Karena sudah
lebih dulu di Beijing, mahasiswa lama, tentu temannya juga sudah lebih banyak.
Di sisi lain senang tidak banyak orang sebangsa di sini. Artinya bisa belajar
bahasa lebih baik dan tidak perlu mengikuti acara nongkrong-nongkrong yang tidak
penting. Bukan berarti di kamar untuk belajar terus, namun lebih baik tidak
bila tidak ingin melewati ‘jalan di luar jalur.’
Karena kesibukan aktivitas yang
berbeda, antara satu mahasiswa dengan yang lainnya jarang bertemu. Ini pula
yang menjaga hubungan baik satu sama lain tetap harmonis. Sesekali ketika
bertemu di luar asrama dan luar kelas, kami bersapa dan mengobrol singkat
tentang aktivitas masing-masing. Kemudian ia bersama teman-temannya yang orang
asing. Saya juga melakukan hal yang sama, jalan dengan teman-teman saya yang
juga orang asing.
Ketika kondisi ini terjadi, betapa
bersyukurnya saya menguasai bahasa asing. Memiliki banyak teman dengan latar
belakang berbeda adalah anugerah paling indah di perantauan. Kita banyak
mengetahui kondisi negara orang tanpa harus mengunjungi negara tersebut. Kita
mendapat banyak oleh-oleh ketika awal semester usai liburan, juga mendapat
beragam bahasa. Terlepas dari kita bersungguh-sungguh mempelajari bahasa
tersebut atau tidak. Karena bahasa komunikasi yang dipakai sehari-hari adalah
bahasa Inggris.
Satu semester sudah lewat, perkembangan
bahasa saya masih mama huhu alias
tidak baik dan tidak pula buruk. Terkadang lawan bicara saya bingung ketika
saya bicara mandarin. Nadanya masih sering salah atau keterbatasan kosa kata.
Saran-saran yang berisi nasehat untuk meningkatkan bahasa keluar masuk kuping
selama satu semester.
Apa yang orang sarankan tidak semudah
itu dijalankan. Posisi sulit untuk siapa saja ketika kuliah di ibukota, di
kampus yang 80% mahasiswanya mampu menguasai bahasa asing. Itu tidak semudah
yang kita sarankan atau cibirkan.
Hubungan mahasiswa lokal dengan
mahasiswa asing ibaratnya asas manfaat. Mereka adalah mahasiswa yang mampu
berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Kemampuan bahasa asing mereka yang
tidak buruk, keterbatasan kosa kata dan kemampuan berbahasa kita yang kurang
memberi keuntungan yang banyak pada lawan bicara lokal.
Dene Gabaldon, teman sekamar saya asal
Amerika juga mengeluhkan hal yang sama. Dia pernah belajar bahasa mandarin
setahun di Nanjing. Bahasa mandarinnya sudah bagus. Ia kembali New Mexico untuk
bekerja dan menunggu jawaban pengajuan beasiswanya. Ketika ia menerima beasiswa
dan kembali ke China, sudah terbayang ia akan belajar dialek di kota ini.
Kenyataannya ia sendiri tidak mendapatkan apa yang ia harapkan.
Dene kuliah di jurusan New Media yang
bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Teman-temannya adalah mahasiswa asing dan
beberapa mahasiswa lokal. Perlahan bahasa mandarinnya terkikis menjadi lebih
buruk.
“Bagaimana saya bisa mengembangkan.
Teman sekelasku semua bisa berbahasa Inggris. Bahkan orang-orang lokal sendiri
bicara bahasa Inggris. Sekalipun saya bicara bahasa mandarin. Ini sulit buatku
yang ingin belajar, karena mereka menjawab dengan bahasa Inggris. Nanti kamu
akan merasakan hal yang sama” keluh Dene.
Tidak perlu menunggu lama untuk mengalami
apa yang diceritakan Dene. Hal yang sama juga saya alami. Semester lalu banyak
yang mengatakan, “Ulfa, jangan main dengan orang asing. Tidak bagus. Kamu harus
belajar bahasa mandarin, bukan bahasa Inggris. Mereka tidak memberi efek baik
untuk kamu.”
Dalam keadaan kacau saya berpikir
bagaimana cara melatih bahasa mandarin saya. Atas saran beberapa orang, saya membuat
akun QQ yang banyak digunakan oleh warga China. Akun ini sejenis yahoo massenger atau aplikasi chatting lainnya. QQ amat populer di China
karena akses Facebook diblokir. Banyak teman di QQ berbicara bahasa Inggris
setelah mengetahui saya orang asing. Ada pula yang melatih bahasa Indonesia.
Pada lebaran Idul Adha 2013, saya
kemudian berkenalan dengan tiga mahasiswa dari jurusan International Communication and Journalism. Bahasa Inggris mereka
bagus. Saya berbincang, berkenalan, bertukar nomor ponsel dengan tiga gadis
China ini. Salah satunya bernama Wang Xiao Xiao, asal Anhui. Provinsi yang
terletak di bagian tengah China.
“Aku bisa membantumu belajar bahasa
mandarin.” Kata Xiao Xiao suatu ketika saat bercerita tentang bagaimana
kesulitan saya untuk mengingat shengdiao
(nada dalam kosa kata mandarin). Tentu saja saya girang sekali.
Awal-awal berkomunikasi kami
menggunakan bahasa mandarin. Jika ada kata yang tidak saya mengerti akan saya
tanya balik, “....shenme yi si?” atau
artinya apa. Kemudian ia akan menjelaskan dalam bahasa Inggris.
Itu tidak berlangsung lama. Hanya
sebentar. Pada pertemuan dan obrolan berikutya, ia nyaris tidak bicara dalam
bahasa mandarin. Saya bicara bahasa mandarin, dia menjawab dalam bahasa
Inggris. Ketika saya tidak tahu harus berkata apa dalam mandarin, saya berkata
dalam bahasa Inggris. Dan kemudian bukanlah latihan bahasa mandarin yang
berlangsung. Tapi berlatih bahasa Inggris.
Kejadian seperti ini bukan hanya
terjadi antara saya dan Xiao Xiao. Tapi juga saya dengan mahasiswa lokal
lainnya. Hal yang sama juga dialami oleh teman-teman asing saya dengan
mahasiswa lokal lainnya. Memiliki banyak teman namun tiak banyak mengalami
peningkatan bahasa.
“Sulit bagi kita untuk mencari orang
yang tidak bisa berbahasa asing. Karena kita hanya akan mendapat teman yang
bisa berbahasa asing. Sementara yang tidak bisa berbahasa asing akan membuat
jarak dengan kita. Aku berbicara dengan mahasiswa jurusan bahasa Rusia, tapi
mereka bicara bahasa Rusia denganku. Sama seperti beberapa orang lainnya. Jika
ada yang jurusan bahasa Indonesia, mereka juga akan bicara dengan bahasa
Indonesia denganmu. Maka sebaiknya jangan bertemu dengan mereka. Kita hanya
akan tetap belajar di kelas, sesekali keluar kampus dan bicara dengan banyak
pekerja tua di jalanan. Itu jauh lebih baik.” Mishakiv Evgenie asal Rusia
mengeluh soal bahasa.
Keluhan serupa datang dari banyak
mahasiswa asing di Beijing, khususnya di kampus CUC yang memiliki Fakultas
Bahasa Asing. Di masa depan alumni CUC akan bekerja dan membangun relasi dengan
dunia global. Dimana bahasa asing menjadi modal utama mereka untuk mencari
pekerjaan. Tidak heran bila mereka punya bekal bahasa asing yang kuat.
Banyaknya mahasiswa asing di kampus mempermudah mereka untuk terus berlatih dan
meningkatkan bahasa.
Ketika ada pertemuan mahasiswa asing di
sekolah, seperti orientasi mahasiswa baru dan sejenisnya. Pembicara di depan
akan bicara dengan bahasa mandarin, kemudian diterjemahkan dalam empat bahasa
lainnya. Bahasa Inggris, Korea, Rusia dan Spanyol. Tidak heran bila menguasai
salah satu bahasa asing itu maka perkembangan bahasa utama akan lambat.
Sisi positif yang dapat dipetik dari
kesulitan ini justru adanya keinginan untuk belajar bahasa lain. Walaupun sulit
untuk menguasai bahasa asing sekaligus. Bukan karena tidak fokus, tapi karena kita
memiliki teman berbagai dari berbagai bangsa. Sehingga bahasa yang dominan
dikuasai menjadi alat komunikasi sehari-hari.
Kehidupan di ibukota juga individualis.
Satu sama lain tidak saling peduli. Sisi positifnya adalah terhindar dari gosip-gosip
yang tidak sehat. Terkadang kita juga lebih mandiri mengerjakan sesuatu. Tidak tergantung
pada teman atau kelompok tertentu. Di sisi lain kehidupan sosial yang saling
mengerti sangatlah penting.
Suatu hari di musim dingin saya makan
di kantin bersama teman satu negara. Setelah memesan makanan dan duduk di meja
yang kosong, kami mulai makan sambil mengobrol. Tiba-tiba saya merasakan kursi
yang saya duduki goyang. Saya bangkit untuk memeriksa kursi tersebut. Begitu
saya duduk kembali, kursi tersebut malah terbalik. Saya meluncur ke bawah meja
dengan posisi tengkurap.
Seisi kantin diam dan menoleh pada
saya. Tidak seorangpun membantu membangunkan saya. Mereka hanya melihat dan
tercengang beberapa detik. Kemudian fokus lagi pada makanan masing-masing.
Bahkan teman saya tidak berbuat apa-apa. Saya bangun tertatih-tatih. Beberapa
menit saya merasa malu, sakit yang saya rasakan lenyap. Makanan yang tinggal sedikit tidak lagi saya
habiskan. Saya ingin keluar secepatnya dari kantin. Tangan saya terkilir, untuk
memegang botol minuman pun tidak bisa.
Beruntung seorang penjual naicha (teh susu) di pintu masuk kantin
melihat kejadian itu. Ketika saya keluar dia menghampiri saya dan memegang
tangan saya. Sejenak ia bicara dengan gaya kumur-kumur yang tidak saya pahami.
Ia mengelus-elus, memijat dan menekan sedikit tangan saya. Tidak ada rasa
sakit. Ia menyuruh saya menggerak-gerakkan. Tangan saya sembuh sudah.
Sejak saat itu saya lebih berhati-hati.
Tidak gegabah, krasak krusuk dan ikutan tidak peduli. Bila keluar asrama seorang
diri, saya mulai mengikuti gaya mahasiswa Beijing. Buku di tangan, headset di kuping dan berjalan tanpa
lihat kiri kanan. Hal yang terlihat menyenangkan.
Dalam hati saya merasa kesepian di
keramaian bila berjalan sendiri. Meskipun di Banda Aceh sering berjalan
sendiri, tidak saling menyapa, satu sama lain tidak merasa kesepian. Di dalam
hati masih tumbuh benih-benih rasa sosial yang tinggi. Satu sama lain masih
memancarkan energi positif untuk saling membutuhkan, ada rasa peduli dan saling
terikat walau tak mengenal.
*
Penulis adalah alumni majalah Sumberpost angkatan pertama.
Penulis merupakan alumni jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas
Dakwah, IAIN Ar-Raniry. Lulus pada tahun 2010 dan sedang melanjutkan pendidikan
di Communication University of China, Beijing.