Jumat, 15 Maret 2013

Dangao Ayi Niar


Dangao (baca: tankao), dalam bahasa mandarin berarti kue tart. Bisa berupa kue ulang tahun, blackforest atau makanan sejenisnya yang terlihat menarik dan tak sabar dijamah. Coba saja jika melewati toko bakery, tentu keinginan untuk memilikinya lebih besar daripada memakannya. Sekalipun sekedar untuk di pajang.


Minggu pagi, tanggal 24 Februari 2013, kelas bahasa mandarin di BKPBM berakhir. Hari ini semua siswa mengikuti ujian akhir berupa ujian tulis dan ujian praktek. Ujian tuliis terdiri dari ujian mengarang dan menulis karakter han. Sementara ujian praktek dilatih untuk bicara yang mempunyai dua nilai sekaligus, bicara dan mendengar.

Saat ujian praktek berlangsung, saya keluar dari ruang tempat saya biasa bersemedi dengan pekerjaan. Saya duduk di kelas bersama para siswa lain yang berwajah kaku. Tegang menghadapi ujian. Satu orang selesai, yang lainnya masuk. Mereka bergantian masuk ke ruang ‘semedi’ dan siap untuk mengikuti ujian.

Mata saya menangkap sebuah kotak besar dua warna. Putih dan pink. Saya dapat menebak, itu adalah kotak yang berisi kue. Saya penasaran apa isinya. Tapi saya tak berani untuk menanyakan pada mereka apa isinya. Biasanya, ayi Niar akan membawa dangao untuk semua teman-teman sekelas. Saya tentu saja kebagian walau Cuma sepotong.

Dangao ayi Niar lembut dan lezat. Rasanya pas. Jika biasanya kita menikmati kue tart yang membuat neg. Dangao ayi Niar tidak memberikan kesan seperti itu. Justru ayi niar membuat dangao yang sangat lezat.

Beberapa kali kami menanyakan bagaimana bisa ayi Niar membuat dangao yang begitu lezat. Ia hanya tersenyum. Sekelipun tak menceritakan apa yang membuat semua sajiannya begitu tak tertandingi.

Ilham, cowok tamatan SMU yang baru berusia 19 tahun dan berwajah tampan seperti actor Korea malah sangat menyukai dangao ayi Niar. Ia kerap membungkus dangao ayi Niar untuk dibawa pulang.


Hari ini, dangao yang dibawa oleh ayi Niar jauh lebih besar dari biasanya. Kremnya banyak, hiasan bunga mawar warna merah muda berjejer cantik menggugah selera. Di sana ada tulisan “Xie xie laoshi.. Women hen gaoxing jintian”. Artinya kira-kira begini, “Terimakasih guru, kami sangat senang hari ini”.

Saya pernah belajar bahasa mandarin, di kelas saya dijelaskan bahwa keterangan waktu diletakkan di depan. Seharusnya jintian diletakkan di sebelum kata women. Tapi tentu saja masih banyak pendapat lain dalam penggunaan grammar. Saya sendiri bukan ahlinya. Percakapan saja saya masih tek duk tralala. Bingung tingkat tinggi.

Kembali ke cerita dangao.

Kami semua sangat mengharapkan dangao itu segera dipotong. Sebelum dangao dipotong, saya bersama para xuesheng berpose genit dengan kue besar. Misliani dengan girang selalu berniat untuk berpose sendiri di dekat dangao. Sayangnya keinginannya sulit tercapai selama ada saya di sampingnya. Saat posenya sudah bagus, saya selalu mencuri pose di sampingnya. Meskipun pada akhirnya aksi nakal saya berakhir juga. Saya menjepret pose Misliani memotong dangao.



Ketika sesi makan-makan dangao berlangsung, Ika, laoshi mandarin yang aktif saat ini membisiki saya sesuatu. “Kak, kita privat buat dangao sama bu Niar, yuk. Dasarnya saja, untuk hiasan kita belajar sendiri.”

“Bisa. Ayuk.” Kata saya. Sebenarnya dalam hati saya meragukan juga kata ‘ayuk’ yang saya ucapkan. Sejauh ini saya belum punya gairah untuk membuat kue-kue. Apalagi sejenis dangao yang cantik seperti ayi Niar punya.

Saat ini saya hanya ingin belajar menyajikan masakan sederhana tapi menggairahkan untuk keluarga. Seperti bahan dasar tempe, tahu, sayuran, atau ikan. Tentu saja ini akan selalu dinanti. Tapi belajar membuat dangao bukan ide yang buruk. Mungkin saya bisa memulainya dengan membuat ukuran kecil. 

Selasa, 12 Maret 2013

Aku, 10 Tahun Lalu


Pesta perpisahan kenaikan kelas di buxiban (tempat les) tempat aku mengabdi ramai. Semua sibuk dengan dangao (Baca: Dangao Ayi Niar). Reza dan Ilham, dua lelaki yang kompak memakai pakaian hitam sudah mengambil posisi manis dengan sepiring kecil dangao. Beberapa perempuan lintas usia sibuk dengan pose-pose mereka dengan dangao. Ada yang berkeras ingin foto dengan dangao, ada pula yang hanya ingin menikmati dangao bagian pinggir yang berlapis coklat. Semua keseruan terungkapkan di sini.


Saya melihat seseorang yang bertubuh mungil duduk di bangku sendiri. Ia memegang kamera. Dia bukanlah xuesheng (siswa) di buxiban ini. Ia baru berencana mengambil kelas pada periode ketiga yang akan dimulai pada bulan Maret 2013. Sementara ibunya sudah menyelesaikan pada hari ini dan berencana mengambil kelas lanjutan di bulan yang sama.

Namanya Ulfa, sama seperti namaku. Dia anak dekan sebuah perguruan tinggi negeri di Aceh. Ia masih terdaftar sebagai siswa SMUN 4 Banda Aceh, duduk di kelas dua. Sama seperti pelajar lain, ia juga sudah menentukan minatnya kemana.

“Ulfa pingin kerja di bank, kak.” Katanya.

Iya juga bercerita kalau sekarang sedang mencari guru les akuntansi untuk memudahkan tujuannya. Jika memang mungkin dia akan melanjutkan ke Fakultas Ekonomi. Kalaupun tak ada di tempat lain, ia ingin di Unsyiah saja.

“Ayah ingin Ulfa ke China, ya?” Tanya saya.

“Iya. Tapi Ulfa pinginnya ke negara seperti Inggris saja” Ungkapnya.

Saya tersenyum.

Anak punya kemauan, tapi orangtua punya kehendak. Dimana-mana sama. Apalagi jika orangtua mampu membiayai pendidikan anak.

“Kalau begitu cari beasiswa ke Inggris. atau ikuti kata orangtua” Kata saya. Entah sekenanya ataupun benar-benar dari lubuk hati saya yang paling dalam. Saya tidak bisa merasakan perbedaannya. Mungkin pengaruh kelezatan dangao yang sedang saya nikmati saat itu.

“Kalau ke China. Ayah mau membiayai katanya. Beasiswa dari ayah” Ujar Ulfa. Wajahnya datar. Seolah tidak mau menjelaskan lebih lebar lagi. Wajahnya terlihat sangat pasrah.

“Kalau memang Ulfa mau, kakak punya daftar kampus di China lengkap dengan jurusannya. Kakak bisa bagi Ulfa. Bagaimana pendapat bunda?” Tanya saya.

Saya merasa perlu tahu alasan ibunya terhadap keinginan Ulfa.

“Bunda juga sama kayak Ayah. Menyuruh Ulfa masuk kuliah di China saja”

Saya tersenyum. Kehilangan kata-kata tepatnya.

Tidak lama kemudian, pembicaraan kami terputus. Laoshi memanggil saya untuk berfoot bersama mereka. Sekalipun saya tidak ikut dengan kelas mereka, tapi saya dan mereka cukup dekat. Mungkin pengaruh usia yang berada di tengah-tengah.

Kami mengobrol macam-macam. Sampai tiba pembahasannya ke masalah gigi.

“Kenapa gigi kakak?” Tanya Aidil. Dia adalah mahasiswa Kedokteran gigi. Tubuhnya mungil dan anaknya lembut. Dia pintar berbahasa Korea. Tapi keluarganya menginginkan Aidil belajar bahasa mandarin juga. Menurut abang Aidil, bahasa mandarin penting dalam bermasyarakat dan bernegara.

“Gatal. Tapi kata dokternya nggak apa-apa. Bersih dari karang” Saya menceritakan sedikit hasil pemeriksaan hari Jumat silam. Sepertinya informasi seperti ini dibutuhkan oleh Aidil.

Saya terus bercerita, sampai ketika ayah Ulfa (beliau juga dekan dan dosen saya masa kuliah) masuk ke ruangan bersama dua orang anak. Satu saya kenal dengan Aulia, anak beliau satu-satunya yang laki-laki. Satunya lagi bernama Putri. Dia sudah duduk di SMP, tapi sifatnya masih kekanakan. Hal yang wajar untuk anak seusianya.

“Ulfa, kemari sebentar” Panggilnya.

Saya mengikuti laki-laki paruh baya itu.

Ia menunjukkan pada saya sebuah laptop yang nasibnya tak jauh beda dengan laptop saya. Dulu saat semester lima atau empat, saya pernah menggunakan laptop itu untuk menyelesaikan sebuah cerpen dan saya ikut lombakan. Waktu itu beliau tak sengaja memberikan agar saya menyelesaikan cerpen saya. Tapi waktu itu saya disuruh mengetik kurikulum terbaru dari Fakultas.

“Coba tolong edit tulisan Putri, ya.  Dia punya bakat menulis” Kata beliau.

“Iya, pak. Mana tulisannya?” Tanya saya sambil menunggu laptop loading.

Beliau memanggil Putri. Saya masih menunggu.

“Bakat itu harus diarahkan, pak. Jangan seperti saya dulu” Kata saya. Tapi beliau diam saja. tapi saat itu saya lupa pada anak pertamanya, Ulfa.

Tak lama kemudian layar 15 inci itu terpampang tulisan Putri dengan border buah apel merah. Tata letak penulisan kacau. Namun kaimat pertama yang saya baca cukup menarik.

Benar!

Dia punya bakat dalam dunia kepenulisan. Jika ia tidak dikekang, usia menginjak bangku SMU dia punya buku sendiri. Bakatnya di bidang cerpen.

Beberapa saat lamanya saya memberi penjelasan pada Putri. Tapi gangguan dari Aulia datang. Si adik ingin diperhatikan untuk menyalakan film. Begitupun dengan Ashila yang meminta saya menggambar. Aulia punya bakat menggambar rumah. Kalau diarahkan dengan baik, ia bisa menjadi aristek atau insinyur.

Sebelumnya, dua malam sebelum saya menulis catatan inii. Salah satu siswa kelas tiga di sebuah madrasah model di Banda Aceh juga bercerita. Ia mengatakan pada saya jika mamanya memaksa ia untuk masuk ke Pendidikan Dokter Unsyiah. Sementara ia ingin kuliah di jurusa Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Saat ini ia galau. Bingung bagaimana menjelaskan pada kedua orangtuanya untuk mengizinkan pilihannya.

Waktu itu saya menyarakan dengan saran sesimpel-simpelnya. Setidaknya hal ini juga saya pernah alami, 10 tahun lalu.

“Ambil saja sesuai saran mama. Kemudian di pilihan keduanya pilih Komunikasi. Hubungan Internasional itu battang tubuhnya Komunikasi. Di sana kamu bisa buktikan sama Mama kalau kamu mampu. Nah, di saat kamu sedang kuliah di komunikasi, cari cara untuk kuliah di UI. Buktikan kalau kamu memang mampu dengan pilihanmu” Jelas saya pada sebuah chat.

Ia mengatakan sedang mencoba melakukan itu.

Dua bulan yang lalu, adik orang terdekat saya juga mengalami hal yang sama. Ia berminat pada jurusan bahasa Inggris atau Matematika. Tapi pihak keluarganya memaksa ia masuk ke kedokteran. Termasuk abangnya sendiri yang paling keras memaksa dia untuk masuk ke Kedokteran.

Dalam banyak hal, saya tak mengerti mengapa seseorang itu memaksa untuk mengambil jurusan yang ia sukai, bukan yang anak sukai. Padahal, jika saja ia memasuki dunia yang ia inginkan, ia akan berhasil di sana. Secara tidak langsung, si anak akan mengerjakan apa yang ia mau. Dengan demikian, ia akan berkarya dan berprestasi. Dari prestasi itu tercipta peluang yang besar untuk mendapatkan apa yang lebih besar.

Sejauh ini saya pernah melihat hal ini terjadi pada kakak sepupu saya. Sejak kecil kedua orangtuanya sadar bahwa dia sangat berbakat dalam menggambar. Ia lulus di ITB dengan nilai bagus dan melanjutkan kuliah di Australia dengan beasiswa pemerintah. Jurusan yang ia ambil sejurus dan dia terbukti sukses dalam karirnya.

Berbeda dengan saya yang terlahir bukan dari orangtua berada.

Jika ditanya cita-cita masa kecil, saya pernah bercita-cita ingin menjadi pramugari saat SD. Itu karena pramugari selalu terlihat cantik, bertemu banyak orang, mengunjungi banyak negara. Itu yang menarik. Saya ingin terbang setiap hari dengan tujuan dan orrang-orang yang berbeda.

Cita-cita itu berubah ketika saya naik ke kelas enam SD. Di sana saya mulai menyadari bahwa ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain menjadi pramugari. Saya ingin menjadi penulis.

Alasannya simpel saja. Penulis  itu selalu terlihat pintar dengan tulisannya. Semua orang mengenalnya meskipun tak pernah melihatnya. Buku-bukunya selalu dicari orang, sekalipun orang itu sudah meninggal. Ini menarik minat saya. Apalagi saya menyukai dunia tulis menulis kemudian. Waktu itu saya suka baca majalah Bobo yang dibeli ayah secara second, paling baru terbitan tahun lalu. tapi saya senang karena merasa ayah mendukung saya secara diam-diam.

Kemudian ketika saya masuk ke bangku Tsanawiyah, saya mengetahui satu hal penting. Menjadi penulis tak mesti sekolah. Siapapun bisa menjadi penulis asal ia punya daya imajinasi dan kemampuan untuk merangkai kata. Ini say abaca di majalah Annida. Waktu itu dimuat sebuah profil penulis yang tamatan Teknik. Di lain edisi dimuat pula seorang dokter dan guru.

Teman-teman saya kebanyakn mempunyai cita-cita guru. Saya terpikir untuk menambah cita-cita menjadi guru atau apapun. Terpikir oleh saya waktu itu untuk mejadi guru Bahasa Inggris. Usia 11-15an memang usianya galau-galau soal cita-cita. Saya berubah cita-cita menjadi desainer. Itu karena seseorang memuji karya gambar-gambar pakaian yang saya lukis. Ini tak lebih karena saya terlahir di keluarga tukang jahit, kemudian darah seni lukis mengalir sedikit di dalam darah saya.

Cita-cita saya masih bertahan di menjadi penulis sampai saya duduk di kelas dua bangku aliyah. Baru kemudian di kelas dua juga saya berubah pikiran untuk menjadi desainer interior. Saya menyukai dekorasi dan melukis hal-hal yang bersifat memperindah ruangan.

Saya pernah dimarahi oleh mamak ketika melihat kamar saya tempeli poster cowok. Dari Taufik Hidayat sampai Justin Timberlake. Semasa sekolah saya rajin berlangganan majalah. Setiap uang jajan saya sisihkan untuk membeli majalah. Dari majalah pula saya belajar interior desain kamar.

Dukungan saya untuk menjadi arsitek sangat besar pada saat saya kelas tiga. Senang juga ketika mendengar bahwa saya lulus USMU di arsitektur. Sayangnya, kedua orangtua tidak setuju. Keduanya sepakat menyuruh saya mengambil testing di Universitas Syiah Kuala, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Saya meilih jurusan Pendidikan Kimia, Pendidikan Matematika dan Pendidikan Bahasa Inggris. Satupun tidak lolos. Menurut informan yang akurat, ketidaklulusan saya karena faktor mengambil jurusan di satu fakultas. Itu tak diperbolehkan. Yach.. Orangtua saya bukan akademisi. Mereka hanya sepasang suami istri penjahit yang kesehariannya bekerja pontang panting untuk menyekolahkan anak-anak menjadi anak yang berguna.

Keseharian mereka jika bukan di kebun menggarap lahan, tentu saja di rumah. Berhahadapan dengan kain-kain para pelanggan. Sementara untuk diri mereka sendiri, saya tak pernah melihat baju baru. Baju yang mereka pakai hasil rombak sana sini lungsuran para saudara.

Dan saat ketidaklulusan saya di Unsyiah. Saya tidak bisa menerima. Saya menganggap cita-cita saya ‘ditendang’ oleh orang yang saya cintai. Kemudian atas saran seorang saudara saya masuk ke jurusan Komunikasi di IAIN Ar-Raniry. Dulunya saya punya abang sepupu yang alumni jurusan ini. Saat ini ia sedang kuliah di Inggris untuk program doctoral.

Saya tidak tahu menyukai jurusan ini atau tidak. Yang jelas semua cita-cita saya buyar. Saya tidak menjadi guru, karena memang pada akhirnya saya sadar kalau tidak menyukai profesi ini. Saya tidak menjadi arsitek. Itu pasti. Terpenting, saya juga tidak menjadi desainer interior. Semua sudah terkubur.

Satu-satunya harapan saya adalah menjadi penulis. Tuhan seperti merencanakan jalan yang indah untuk saya. Saat itu saya bertemu dengan orang-orang yang bergelut di bidang kepenulisan. Sampai suatu saat saya menjadi salah satu bagian dari dunia ini.

Sampai detik ini, sampai catatan ini Anda baca. Saya masih sangat merindukan mendesain. Duduk di bangku kuliah jurusan desain interior atau arsitek. Ataupun duduk manis di bangku kuliah sastra Jepang. Bukan jurusan Komunikasi yang tak pernah terlintas di benak saya.

Namun di balik itu semua, saya bersyukut bahwa Tuhan begitu baik pada saya. Saya bisa menulis, menyelesaikan kuliah dari hasil menulis. Menyelesaikan skripsi dengan kemampuan saya berpikir dan menulis. Saya merasa dengan menulis saya terbebas dari beban hidup. Saya tak mesti berkomentar panjang lebar di dunia maya untuk memaki. Saya menulis, saya terbebas dan saya menemukan kebebasan.

Yach.. Saya sepuluh tahun lalu seperti cermin yang dipantulkan melalui para anak SMU yang galau dengan masa depan. Mereka curhat, saya memberi saran. Tapi saya ingin tegaskan, tak ada oangtua yang ingin masa depan anaknya suram. Mereka memilih karena kita tak tunjukkan apa yang bisa kita lakukan untuk berubah.

Mungkin jika 10 tahun lalu saya berkata menyukai sastra Jepang, mungkin orangtua saya menentang. Tapi jika diam-diam saya belajar bahasa Jepang otodidak, atau berbekal bahasa Inggris pas-pasan saya menerjemahkan sebuah novel. Kemudian novel itu saya publikasikan. Kemudian saya bisa membuktikan pada mereka bahwa saya ternyata mampu menjadi apa yang saya inginkan. Tentu saja saat ini saya bergelar sarjana sastra, atau sarjana teknik.

Tak ada yang pelu disesali. Kita hanya perlu belajatr. Mungkin kita gagal, tapi generasi selanjutnya harus bisa menyuarakan nurani.

Selasa, 05 Maret 2013

Resensi: Puzzle, Kepingan Kisah yang Hilang


Ada rasa lega dan kebahagiaan tersendiri saat menyelesaikan sebuah puzzle. Rasa itu takkan didapat sebelum semua potongan gambar puzzle terpasang.

*

Kalimat panjang itu adalah penggalan kalimat yang menjadi pembuka dalam novel ini. Sebuah cerita yang berkisah cinta segitiga tak biasa dalam kehidupan.




Kisah ini dimulai dengan cerita dua Trisha yang melihat darah berkubang di kamar Nania. Sahabatnya bunuh diri karena terlalu banyak masalah yang ia hadapi.  Ia diperkosa oleh ayah tirinya hingga hamil pada kelas dua SMP. Kemudian ia terjebak lagi dalam masalah lain yang tak bisa ia selesaikan.

Pasca kematiannya, Trisha trauma melihat puzzle. Terbayang puzzle itu bersimbah darah dari nadi Nania yang dikerat pakai cutter. Tapi ada Miki, pacar Nania yang selalu menemaninya kemanapun. Miki selalu ada untuk Trisha.

Namun kisah dalam novel ini tidak mengalir begitu saja. ada hal-hal yang tak terduga ketika membacanya. Trisha ternyata tidak mati bunuh diri. Dia sudah urung melakukannya, malah Trisha yang mengerat nadinya. Ia juga tak diperkosa berulang kali oleh ayah tirinya, Miki punya andil dalam membuat hidup Nania tambah hancur. Belum lagi papi Miki yang suka gonta ganti pacar, ternyata juga pacaran dengan mama Trisha.

Disinilah letak kelebihan cerita ini. Meskipun tak begitu mengalir, kisahnya tak gampang ditebak. Keeping-keping ‘puzzle’ yang terangkai menjadi cerita benar-benar memacu adrenalin. Akhir yang kita anggap akan berakhir bahagia malah terjadi kebalikannya.

Ending ceritanya malah Trisha masuk rumah sakit jiwa, Miki bunuh diri di laut. Keduanya sama-sama menyesali masa lalu atas andil kematian Nania.

Kekurangan dalam buku ini, penulis tidak konsisten dalam memakai sudut pandang. Sebagian besar sudut pandang dalam cerita ini memang ‘orang pertama’. Ditandai dengan pemakaian kata aku sepanjang alur cerita. Di sisi lainnya, si penulis memakai sudut pandang ‘orang ketika’.

Kekurangan ini tampak pada adegan saat Miki memergoki papinya menjemput Riska di sepertiga alur cerita. Bagian lainnya yang tampak sedikit cacat ketika bab terakhir, saat tubuh Trisha dirasuki arwah Nania. Sebagai pembaca, perlu acungi jempol untuk pemilihan ide dan judul tak biasa. Bahkan permainan kata yang membuat pembaca menebak-nebak. Contohnya pada adegan ketika Riska sakit perut karena dibubuhi bubuk baterai. Awalnya akan terlihat pelakunya Trisha, pada bab terakhir terkuak pelakunya Miki.

Buku ini cocok untuk dibaca sebagai referensi para penulis pemula yang berminat pada kisah misteri.


Detil Buku:
Judul               : Puzzle
Pengarang      : Nazaruddin
Penerbit         :Puspaswara, 2006
Harga              : -

Inspirasi Si Kodok Tuli


Beberapa ekor kodok sedang bersiap panjat pinang. Di atas sana sudah tergantung hadiah impiannya. Beberapa kodok lainnya mencemooh dengan alasan, kodok ini tidak mungkin bisa mendaki pinang yang licin. Berbagai cara tentu tak akan bisa dicapai oleh si kodok. Si kodok tetap memanjat, tak menggubris apapun kata orang. Sampai akhirnya ia sampai ke atas dan berhasil mengambil hadiah yang diinginkan. Kodok tak mendengar apapun yang dikatakan oleh teman-temannya, kodok tak mendengar. Karena dia tuli.
*

“Inti dari kisah ini yang bisa kita jadikan pelajaran, seberapa pedihpun kata-kata orang, jangan dengarkan. Setiap usaha yang kita lakukan tentunya ada hasil, asal kita yakin dengan kemampuan kita. Kalau kodok ini tidak tuli, mungkin nasibnya akan sama dengan kodok-kodok lainnya. Tidak memanjat pinang dan merebut hadiahnya. Tapi kodok tuli ini tak mendengar. Makanya ia mendapat apa yang diinginkannya” Kata teman saya di sebuah ruang perkuliahan.

Saya terkejut. Benar apa yang dikatakannya.

Beberapa kali saya bertemu dengan teman-teman. Duduk di  suatu tempat sambil cemilan yang tak bisa dikatagorikan murah atau mahal. Tapi cukup sulit juga mengeluarkan karena kondisi keuangan sedang kere. Bagi orang yang berpenghasilan belum tetap pastinya merasakan hal ini.

Kebanyakan jika sudah bertemu akan membahas alur kehidupan yang mulai surut atau pertentangan pola pikir bersama teman dekat. Cerita-cerita mereka seperti ter-scan di memori saya. Ada kesamaan, kalaupun tidak sama pasti ada relevansinya sedikit dengan alur kehidupan saya.

Saya pernah merasa seperti bangau terbang rendah. Tidak mendapat apapun dan merasa nasib paling menyedihkan.

Saat itu saya berpikir sayalah manusia yang paling malang sedunia. Semua yang dikatakan orang tentang sulitnya mencari kerja di Aceh saya benarkan. Saya bahkan pernah dimarahi oleh adik kos saya yang baru selesai kuliah dan mengatakan kalau saya tidak realistis menghadapi kenyataan hidup. Kalau saya boleh berkata jujur, selama ini saya merasakan kesulitan-kesulitan itu. tapi bukan lantas saya berdiam diri dengan apa yang dikatakan orang.

Setiap lowongan yang dibuka, saya mengajukan lamaran. Meskipun selama ini untuk kriterian pekerjaan lokal saya selalu ditawarkan untuk mengerjakannya. Saya pernah melamar di IFES, sebuah lembaga internasional. Saat itu semua teman-teman yang mengajukan lamaran dan saya kenal tak ada yang dipanggil sampai tahap wawancara. Saya lolos di tahap wawancara, tapi malang di bagian kemampuan menulis berita dan analisis di bagian bahasa Inggris. Waktu itu saya melamar di bagian analisis berita yang umumnya memakai bahasa inggris semuanya.

Tidak bisa tidak.

Saya tidak lolos dan mendapat email sebulan kemudian. Mereka mengatakan tidak bisa menerima saya karena bahasa inggris dan kualifikasi akhir saya sedikit mengecewakan. Saya terima dengan lapang dada.

Seperti biasanya, saya selalu jatuh ketika tahap wawancara. Saya berpikir apa salah saya. namun hanya berpikir saja tidak cukup. Justru penolakan itu harus menjadi cambuk untuk belajar bahasa inggris.

Saat saya menginnjakkan kaki ke negeri tirai bamboo, saya mendapatkan banyak novel bahasa inggris yang tidak dijual di Indonesia. Semangat empat lima saya menghabiskan uang sebanyak 100 yuan untuk buku-buku itu. Hasilnya? Saya memang lebih pede untuk belajar dan menulis dalam bahasa Inggris.

Nah, di kelas SPU saat kisah kodok mengalir dari teman sekelas saya, kami kemudian bersama-sama saling memotivasi untuk belajar bahasa Inggris. tak ada yang tak mungkin untuk kebaikan ataupun keburukan. Semuanya butuh waktu untuk membuktikan.