Rabu, 03 Oktober 2012

Singapura, I'm in Love!



Lion air mendarat di Changi Airport tepat jam 7 pagi waktu Indonesia, atau jam 8 pagi waktu Singapura.

Saya menatap keluar jendela. Rasa kantuk saya seketika hilang begitu dari udara terlihat jelas gugusan pulau-pulau kecil sekitar Singapura. Oh, indahnya…

Ketakjuban saya kembali terpesona begitu melihat hamparan hutan di tepi landasan Changi airport. Ternyata Changi juga terletak di tepi laut.

Saya dan beberapa penumpang lain beranjak dari bangku masing-masing dan keluar dari pesawat yang langsung terhubung ke gedung bandara.

Kalimat pertama saya ketika melangkah di gedung bandara yang dilapisi karpet hanya, “Wow…!! Singapura, I’m in love.” Kemudian saya lebih banyak diam. Takjub menatap keindahan interior negara Singapura.

Terngiang kembali kata-kata teman saya, Dewi Phoennadiyani, “Singapura itu kalau kita kitari seharian memang tidak habis. Dua harian juga tak akan habis. Apa sih yang nggak ada di sana? Dibandingkan dengan Cengkareng, nggak ada apa-apanya. Di situ lengkap. Mulai dari super market, toko baju juga ada. ibaratnya Changi itu sebuah kota dengan fasilitas lengkap.”

Ketika masuk ke toilet, saya kembali terpesona. Toiletnya bersih dan bernilai seni. Melihat lantai tioletnya, nggak sungkan untuk tidur di lantai. Pasti bakalan nyenyak sekali tidur saya di sini. Di luar toilet, semua sisi lantai diberi karpet ambal yang tebal. Enak untuk tiduran.



Nah, ada yang menarik dan terus saya pelototi selama di bandara. Di sini ada tiga etnis dominan. Etnis China, Melayu dan India. Etnis India begitu kentara dengan nilai-nilai seperti yang sering saya lihat di film-film Bollywood. Tapi pakaiannya tentu saja tidak seperti Kareena Kapoor.

Di sana saya bebas menggunakan bahasa apa saja. Inggris, Melayu, Indonesia atau mandarin. Saya juga tidak perlu memperkenalkan diri dari Indonesia ketika di bagian administrasi. Petugas yang menangani langsung berbicara dalam bahasa Melayu. Ada juga yang berbicara dengan bahasa Inggris. Untungnya saya bisa berbicara Inggris sedikit-sedikit.

Usai urusan di bandara, saya bersama dua teman turun ke lantai satu dan menyetop taksi. Tujuan kami ke Chua Chu Kang. Komplek apartemen yang ditempati olehh sepupu sepupu teman saya.

Di sana saya juga merasa seperti rumah sendiri. Apartemennya memang tidak begitu luas, tapi tertata apik. Saya beristirahat di kamar yang cukup nyaman meskipun kecil.

Dari jendela kamar saya bisa melihat jalanan di antara apartemen yang sepi. Gedung-gedung tinggi nan megah, dan saya kembali merekam kehidupan.

Entah mengapa, begitu tiba di Singapura ada rasa begitu nyaman menyusup ke hati. Padahal Singapura negara keempat yang ingin aku kunjungi setelah Jepang, United Kingdom dan New Zaeland. Ternyata Singapura adalah negara pertama yang ingin sekali kukunjungi.

Banyak orang memilih Singapura sebagai tujuan favorit belanja. Saya memang bukan penggila belanja, jadi tak pernah menikmati sensasi surga ketika masuk ke toko-toko di Singapura.

Kebiasaan saya ketika berada di luar negeri adalah mengkonversi mata uang setempat ke rupiah. Hal ini justru membuat saya tidak jadi belanja



Suatu hari saya di toko buku, saya embaca sebuah sinopsis buku. Sayangnya saya lupa judul dan pengarangnya. Buku itu berkisah tentang seorang anak yang terbangun dari tidur dan menemukan ibunya sudah meninggal dalam kubangan darah. Ibunya baru saja mengalami keguguran.  Membaca sinopsisnya saja saya sudah menangis. Tapi saya tidak membeli buku itu karena harganya 18 dollar. Jika dirupiahkan, nilainya 135 Ribu. Nilai 1 dollar Singapura sebesar 7500 rupiah.

Di kepala saya langsung terlintas kalimat, “Kemahalan. Di Indonesia pasti ada buku itu dengan harga yang lebih murah”.

Sukses!

Saya tidak jadi membeli buku itu.

Saya menyukai Singapura karena keindahan tata kotanya. Mungkin ada sudut-sudut Singapura yang tidak terlihat oleh saya. Mungkin di sana menyimpan kejorokan dan sisi buruknya. Tapi saya suka bunga-bunga yang bermekaran indah di sepanjang jalan.

Saya juga suka budaya yang beragam di sini. Sebelum menginjak Singapura, yang terlintas di kepala saya, di singgapura bahasa saya akan terrlatih. Baik itu Inggris ataupun mandarin.

Untuk saat ini, saya belum tahu apa alasan yang tepat untuk menunjukkan kesukaan saya pada Singapura.



Kumpulan Cerpenku, Kapankah?


Awal mula terpikir untuk membuat kumpulan cerpen bermula dua tahun lalu. Tepatnya saat cerpenku bebrjudul “Bunga Jiwa’ di muat di majalah KAWANKU pada bulan April 2012.

Waktu itu saya langsung terpikir untuk menjadikan ilustrasi cerpen majalah KAWANKU sebagai covernya. Saya sampai lebay men-tag teman-teman dengan maksud bercanda. Mereka yakin saya serius. Saya jadi tak enak hati dan merasa membohongi public. Walaupun saya tak pernah berniat begitu.

Kemudian saya berpikir, kepercayaan teman-teman harus menjadi motivasi bagi saya. Saya wajib melaksanakan niat baik untuk membuat kumpulan cerpen.

Langkah pertama yang saya lakukan cukup menggebrak ketidakpercayaan teman-teman dekat. Pasalnya saya mendadak produktif. Menulis satu hari dua cerpen dengan disiplin. Seminggu sekali mengirim cerpen-cerpen ke berbagai media. Meskipun kebiasaan baik itu hanya berlangsung satu bulan kurang tiga hari.

Langkah kedua, saya mengklasifikasikan cerpen-cerpen yang sudah dimuat. Mana yang pantas untuk genre remaja dan chic serta umum. Semangat saya kembali terrpukul karena cerpen saya tidak cukup. Jangankan tebalnya 200 halaman, 10 cerpen untuk satu genre saja tidak sampai.

Langkah ketiga, saya mencoba beristirahat sejenak yang berdampak benar-benar berisitirahat dan malas menulis.

Nah, tentunya muncul lagi tulisan saya di blog menjadi pertanyaan. Apakah mimpi itu akan bangkit lagi? Jawabannya bukan. Saya terinspirasi dengan seorang teman yang menelepon saya tengah malam.

Saya pikir dia akan mengganggu saya atau menuntut oleh-oleh dari saya. Ternyata dia sedang curhat sedang jatuh cinta dan tidak bisa memenddam perasaan. Dia tidak mau mengungkapkan pada si lelaki itu. Tapi ia ingin bertutur dalam fiksi. Agar perasaannya lega dan mengambil keuntungan dari sana.

Saya sempat bertanya, “Keuntungan apa? Penulis itu miskin, lho…”

Dia menjawab, “Kakak.. Aku ingin keuntungan berlipat ganda jika cintaku bertepuk sebelah tangan.”

Aku meminta penjelasannya, jawabannya membuatku tercengang.

“Bayangin kak, peluangku untuk ditolak itu 90%. Kalau aku ditolak, menulis itu jadi obat hati untukku. Aku juga bisa jual kisah-kisahku untuk modal beli tissue. Enak saja cinta buatku rugi. Cinta tetap harus menguntungkan” Jawaban yang cukup komersil.

Paginya aku langsung membuat sebuah artikel. Kucoba mengirimkan ke harian local. Menunggu beritaku muncul di halaman pertama dan aha…!! Semoga ada duitnya.

Tapi tidak mesti duitnya, aku berharap bisa mengumpulkan cerpen-cerpenku lagi. Bisa membukukannya suatu saat. Bisa pula melongok rekening setiap bulan, bahwa ada angka-angka dalam bentuk rupiah mengalir ke rekeningku. Dengan tersenyum kukatakan pada anak cucu, “Ini royalti mama, nak.”

Selasa, 02 Oktober 2012

Flowery ^_^



Kata orang Takengon itu tanah surge. Apa saja yang ditanam pasti tumbuh. Saya bukan sarjana pertanian. Saya tak paham masalah itu. Saya hanya tahu kalau Takengon bunga-bunga tumbuh subur. Mekar indah.

Sejak pindah rumah ke komplek pertanian, rumah saya nyaris gersang. Tak ada bunga-bunga yang indah seperti masa rumah di atas bukit. Lebaran tahun 2012, saya sempatkan memotret bunga-bunga yang tersisa di rumah saya sekarang. Semoga saja sepuluh tahun ke depan, jika saya sudah punya keluarga sendiri, punya kehidupan sendiri, catatan ini menjadi kisah klasik untuk masa depan.
 
Bunga Bougenville.





Bugenville jingga ini sebenarnya ada perpaduan dengan merah muda. Dulu bunganya sangat rimbun. Hampir tak ada daunnya. Ayah menanamnya di taman atas tempat biasa kamu main perosotan. Rencananya bunga itu akan dibuat rindang, seperti payung. Kemudian di bawahnya akan ditaruh kursi. Sayangnya itu tidak selesai. Kesibukan Ayah di kebun menciptakan bentuk yang payung setengah dari bunga bugenvil jingga-merah muda ini. Akhirnya adik saya hanya meletakkan kursi kayu di sini.








Bugenvil ungu muda ini dulunya tumbuh tinggi. Merambat hingga ke pohon avocado yang menjulang tinggi. Jika musim bunga tiba, daunnya hanya terlihat sedikit. Selebihnya bunga semua. Indah sekali. Sayangnya waktu itu belum ada hape. Tidak bisa narsis sesuka hati seperti sekarang.





Bugenvil merah yang ini saya tidak tahu asal muasalnya dari mana. Saat saya masih tinggal di Takengon dan menghabiskan masa kecil di villa putih, bunga ini belum ada. saya menduga bunga itu memang ada setelah pindah ke komplek pertanian. Mungkin saja mamak mendapatkan benihnya dari tetangga. Sudah lama saya ingin bertanya. Tapi selau lupa dan lupa.

 Bunga Anjelia

Tidak tahu dari mana asal nama itu. Tak tahu juga apa nama latin bunga ini. Saya melihatnya pertama kali ketika masih rumah di bukit ilalang. Di sana bunga ini ada beberapa macam. Warnanya indah, mahkotanya besar. Dari bunga-bunga yang dirawat oleh mamak, bunga inilah yang paling manja. Disebut manja karena perawatannya sangat ekstra. Beda dengan bunga-bunga-bunga lainnya.





Bunga ini harus disiangi sebulan seminggu sekali. Tanahnya dicongkel-congkel sampai gembur. Waddahnya juga mesti di pot, kalau tidak perkembangannya lambat. Tanahnya selalu diberi pupuk kandang. 

Bunga Ketumbar

Pertama kali saya melihat bunga ini ketika masih duduk di bangku Tsanawiyah. Di bekalang toilet rumah yang jaraknya 10 meter dari rumah, saya melihat tumbuhan seperti daun seledri. Bunganya kecil-kecil warna kuning. Bentuknya seperti gambar salju. Ketika saya memegang dan mencium aromanya, bau sekali. Saya hampir muntah karenanya. Belakangan saya baru tahu kalau itu bunga ketumbar.

Bunga Jambu Klutuk (Guava)

Pernah melihat bunga jambu klutuk (guava)? Mungkin bagi sebagian orang tidak menarik sama sekali. Bagi saya bunganya ini sangat indah dan menarik. Jangan tanya kenapa? Saya tertarik dengan bunga ini.

Bagi saya ada filosofi yang tak bisa saya jelaskan dari bunga guava ini.

Bunga Jeruk

Sekilas memang terlihat seperti bunga melur. Tapi percayalah aromanya yang segar menyadarkan kita bahwa jeruk yang buahnya sering kita nikmati itu punya bunga yang indah pula. Saya kerap menikmati bunga jeruk pada awal Maret, namun baru kali ini saya berkesempatan memotretnya.

Bunga Mawar

Di halaman rumah panggung saya sekarang ada beberapa jenis mawar. Kebanyakan memang bunga mawar kecil-kecil yang ditanam di dalam pot dan bunganya bergerombol. Ada yang berwarna merah dan putih. Tapi saya ingin memiliki yang berwarna ungu dan jingga atau kuning.

Mawar ungu dan jingga mengingatkan saya pada kisah Maya Kitajima dan Masumi Hayami di serial Topeng Kaca. Komik itu pertama kali saya baca ketika duduk di kelas lima Sekolah Dasar atas saran teman saya, Maulidar. 
  
Di rumah sekarang, saya punya tanaman mawar yang di bawa ntah dimana. Kata adik saya, itu hasil pembelajarannya selama menempuh pendidikan di RSBI SMPA Saree. Perkawinan mawar merah dan putih akan menghasilkan bunga paduan merah putih yang indah sekali.

Faris dan Gaya ABG Masa Kini

Kami memanggilnya Ais. Nama lengkapnya sama sekali saya tak tahu. Hanya sedikit saya mengetahuinya, Faris. Dia anak pertama dari tetanggaku, kami memanggilnya kak Linda.
Siang itu saya sedang mengutip kopi di kebun bersama adik laki-laki pertama dan mamak saya. Sayup-sayup di antara kelelahan, saya mendengar suara motor yang meraung-raung mendekati ke kebun. Lalu adik saya mengahmpirinya. Mereka berbincang agak lama.
“Yok, Mi. Aku ajarkan cara merawat kopi” Kata ayah Faris pada adik saya. Fahmi, adik saya mengikutinya. Kemudian mereka berbincang beberapa saat. Saya pikir, itu sejenis tutorial singkat cara merawat kopi.
Faris ikut bersama Omo-nya (panggilan Faris untuk ayahnya). Sementara saya memilih duduk di gubuk sambil membalas sms masuk. Waktu itu saya melihat Faris mencuri-curi lihat ke gubuk tempat saya berdiam.
“Kemari Faris. Kita foto-foto” Kata saya asal.
Awalnya saya berpikir simpel. Anak-anak paling suka diajak berfoto-foto. Gaya mereka sederhana dan tak ada yang menarik jika tahu di foto. Pasti berdiri tegak sambil menahan nafas dan tak ada senyum.
Ternyata saya salah. Faris dengan santai mendekati motor Astrea Grand omonya dan tersenyum. hanya begitu? Tidak.
Faris mengangkat kaki kanannya layaknya abg-abg sekarang jika berfoto. Tersenyum lebar dan tangan kanan di pinggang. Sementara tangan kiri memegang motor. Halah! Saya ngakak sejadi-jadinya melihat gaya anak itu. Ternyata anak di bawah umur pun sudah jago bergaya model.



Note:
Saya jadi ingat perbincangan saya dengan ibu kos lama saya. Kata beliau, anak jaman sekarang dan jaman dahulu berbeda. Anak sekarang kalau lihat kamera langsung tahu au bergaya seperti itu. Sementara anak-anak jaman dulu masih risih bila melihat kamera.