Rabu, 26 September 2012

China Hargai Orang Asing

MALAM mulai gelap ketika Xiamen Airlines mendarat di Xiamen Airport, Provinsi Fujian, Cina. Bersama 46 warga Indonesia lainnya kami menuju bagian kedatangan dan langsung ke imigrasi. Berbeda dengan di Bandara Internasional Changi Singapura, bahasa Inggris hampir tak terdengar dari petugas Bandara Xiamen.

Hampir semua peserta Indonesia yang berangkat ke Xiamen dalam training bahasa Mandarin ini berasal dari etnis Cina. Sebagian besar malah sudah pernah ke Cina. Bersama seorang teman lain dari Aceh, saya hanya mendengar cerita mereka yang pernah ke sini.

Kebanyakan orang mengatakan Cina itu tak bersahabat terhadap muslim. Selain makanan halal yang sukar didapat, kondisinya juga sulit bagi orang asing untuk beradaptasi.

Tapi beberapa hari di Cina, saya merasakan kebalikannya. Pada awal perkenalan kampus, kami dibawa oleh dua orang panitia dari Hanban untuk tur kampus. Satu per satu gedung dijelaskan dengan detail.

Kampus besar ini memiliki fasilitas seperti layaknya sebuah kota. Kebanyakan dosen dan mahasiswa berjalan kaki. Di salah satu sudut kampus, terdapat sebuah minimarket yang menjual kebutuhan harian. Buka hingga larut malam. Kami membeli beberapa makanan yang mampu mengganjal perut. Teman saya memberi tahu mana yang layak disentuh dan yang tidak.

Ketika ke luar dari minimarket, seorang guide mendatangi saya. “Ni de muslim ma?” Dia bertanya, apakah saya muslim. Saya mengangguk dan berkata `dui’ yang berarti benar.

Dalam sekejap ia sudah menjelaskan kepada saya bahwa di kampus itu tersedia rumah makan muslim. Dulunya berada di salah satu gedung kantin lantai satu. Tapi sekarang sudah pindah ke lantai tiga. Ia juga mengeluarkan peta dan menunjukkan kepada saya rute yang harus saya lalui menuju restoran muslim itu. Semua makanan di tempat ini dijamin halal, karena diolah oleh muslim.

Saya mengangguk-angguk saja. Sebelumnya Rizni, alumnus magister pendidikan bahasa Mandarin di Xiamen University sudah menjelaskannya kepada saya. Guide kami berbicara sangat cepat dan saya pun tak mengerti semua apa yang dia ucapkan. Tapi mengetahui intinya saja sudah cukuplah.

Xiamen University adalah sebuah kampus berstandar internasional yang menduduki peringkat sepuluh besar di Cina. Kampus ini dulunya bernama Universitas Amoy, sebutan untuk warga Xiamen. Maka, jangan heran bila setiap sudut kampus tertulis Universitas Amoiensis. Nama Amoeinsis dilakabkan oleh orang-orang Eropa yang mendirikan kampus ini. Tapi sekarang dunia internasional lebih mengenalnya dengan nama Xiamen University atau Xiamen Daxue. Orang-orang kerap menyingkatnya dengan sebutan Xiada.

Banyak orang asing yang berkuliah di sini. Tidak hanya dari belahan Asia dan Eropa, tapi juga Afrika. Beberapa muslim dari berbagai belahan bumi kerap saya temui di kantin muslim.

Salah seorang peserta yang banyak tahu masalah akulturasi budaya di Xiamen menjelaskan, “Pemerintah Cina mewajibkan setiap kampus menyediakan kantin muslim. Selain agama Tao dan beberapa agama lainnya, agama Islam salah satu agama yang diperhatikan di Cina. Meskipun tak ada masjid, tapi antara satu agama dan agama lainnya saling menghargai di sini. Orang-orang Cina juga sangat menghargai kehadiran orang asing, meski mereka tak sedikit pun menggeser budaya aslinya karena pengaruh budaya para pendatang.”

Mendengar penjelasan itu, saya langsung teringat saat pertama masuk Xiada bahwa kepada saya diberi tahu letak kantin muslim.

Rabu, 12 September 2012

Facebook di China


Awal September sampai pertengahan September aku mendapat kesempatan menjejakkan kaki di China. Awalnya kami semua mengira akan ke Beijing. Terbayang sudah berfoto di great wall, belanja murah dan sederet agenda traveling lainnya sudah saya susun.

Kenyataannya, saya dan teman saya amat terkejut ketika pesawat mendarat di Xiamen Airport dan kami dibawa dengan bus ke daerah Xiamen Daxue.

Sebelumnya saya memang sempat mendengar dari teman saya bahwa di China tidak bisa mengakses Facebook sebebas di tanah air. Saya tidak percaya karena kami masih menjalin komunikasi via Facebook. Tapi setelah saya melihat kenyataannya di China, saya baru percaya.

Saya baru bisa akses jejaring sosial setelah hari ketiga di Xiamen. Itu juga karena teman saya yang sedang kuliah di Nanchang mengirimi saya aplikasi freegate untuk membuka Facebook.

Note:
Saat saya menulis blog ini, saya sedang berada di Xiamen, China.
^_^


Maaf, bila sedikit narsis. Narsis juga manusia.