Selasa, 31 Juli 2012

Cathar: "Hanami Ini Aku Akan Pergi"






Melihat beberapa album temanku yang di seberang benua sana, aku ingin segera menyusul. Tak perlu di benua lain, setidaknya alam yang berbeda di benua yang sama. Aku pilih Jepang. Kota impianku yang singgah dan pergi dalam waktu berselang detik, aku igin segera singgah.


Hanami tahun ini....

Aku ingin segera ke sana. Tanpa memikirkan bagaimana hambatan besar itu menahan langkahku. Satu hal yang pasti, aku tak bisa bergerak dan bernapas dengan udara penggap kehidupan sekarang.


Cuek.

Itu alasan pertama aku ingin segera menikmati mahkota sakura pada hanami nanti. Apakah kamu akan belajar memahami diriku seperti siang dan matahari. Ia tak hanya memberi terang, tetapi memberi kehidupan bagi makhluk yang menikmati siang.


Hanami tahun ini...

Aku ingin gapai. Tak peduli keterbatasan apa yang menghadangku nanti. Aku hanya ingin pergi. Pergi meninggalkan jejak lalu...

Cathar: "Jepang, Mimpi Pertamaku"


Dari awal, sejak aku mengenal komik "Topeng Kaca", aku sudah menyukai negara berjulukan matahari terbit. Dari komik itu pula secara tak langsung aku mengenal sisi lain Jepang. Budayanya, kemolekan gadis-gadisnya dan bahasanya.

Ada beberapa kosa kata Jepang yang aku dapat justru dari membaca komik, bukan dengan les secara khusus. Belakangan, saat aku meman tapkan ingin ke Jepang, barulah aku ingin sekali belajar bahasa Jepang. Tapi kondisi finansialku dan fasilitas di kotaku kurang mendukungku untuk meraih mimpi.

Aku tak kekurangan usaha.

Segala bentuk beasiswa aku coba aplly dengan tujuan bisa melihat hanami di bulan Maret. Sayangnya dari beberapa keinginan yang aku tambatkan, satupun tak jadi hakku.

Saat aku mengajukan beasiswa ke Universitas Aga Khan di Inggris, aku membuat rencana penelitian tentang kaitan busana Kimono dengan perintah menutup aurat bagi kaum muslimah. Aku merasa ada keterkaitan antara keduanya.

Saat aku berencana mengambil jurusan "Kebijakan Publik" di program Australia Development Scholarship (ADS), aku pun tak ketinggalan mengutip tentang kebudayaan Jepang. Dalam hal ini aku menulis perencanaan yyang kata orang sedikit ekstrim, yaitu harakiri sebagai bentuk budaya malu dalam korupsi di Jepang.

Memang aku sadari, belum tentu pihak pemberi beasiswa akan membiayai untuk penelitian ke Jepang. Tapi dalam hal ini aku berharap dan sangat berharap akan ada yang akan membiayai soal ini.

Selain itu, banyak sekali keinginan-keinginanku yang berkaitan dengan Jepang.

Selama ini aku akan membeli buku-buku yang berkaitan dengan Jepang. Baik itu buku bacaan berat ataupun novel dengan latar belakang Jepang yang ditulis oleh orang Indonesia. Berharap suatu saat nanti aku juga akan menulis kisah tentang seseorang dengan latar belakang Jepang.

Aku suka sakura. Menurutku bunga yang selalu mekar dan mempesona Jepang ketika musim semi itu menkjubkan. Aku jatuh cinta pada bunga sakura pada saat membaca komik dan melihat keindahan mahkota sakura yang terlukis di Topeng Kaca.

Masakan Jepang. Beberapa di antaranya sudah aku coba. Meskipun tidak seenak aslinya. Nah, satu hal yang belum kesampaian sampai sekarang selain mengunjungi dan menikmati budayanya secara langsung. Aku ingin pakai Kimono dengan gambar bunga sakura.

Suatu saat, akan tiba waktunya aku mewujudkan mimpiku di negeri sakura.

Kamis, 05 Juli 2012

Cathar: "Arti Hadirmu"




"Sebentar lagi makanan kamu sudah datang, sayang" Ujar Miyake kepadaku. Ia tersenyum manis, senyum yang amat aku sukai sampai kapanpun. Ya, sampai akapanpun.


Kubuka tasku, untuk memastikan adakah yang tertinggal di sana. Mungkin kotak kecil berbalut beludru merah pemberian Ibu sudah tak ada atau terselip di antara buku-buku mahasiswaku.


"Kamu lihat apa?" Tanyanya penasaran. Ia ikut melongok ke dalam tasku. Cepat kututup sebelum ia melihat kotak beludru merah itu.


"Bukan apa-apa. Cuma mastiin aja, apakah ponselku tertinggal di kampus" Kataku tenang. Seulas senyum tersungging dari bibirku.


"Oh, aku pikir kenapa. Akhir-akhir ini kamu lebih sering pelupa, sayang. Mungkin kamu terlalu capek. Ingat, setelah kita menikah, kamu tidak boleh bekerja sekeras ini ya" Ucapnya lembut. Aku hanya mengangguk. Tak bisa berjanji lebih.


Kami saling diam beberapa saat, sampai seorang pelayan berwajah bule membawa hidangan. Senyumnya tak lepas ketika meletakkan satu persatu menu di meja.


Malam ini luar biasa, Miyake memesan banyak menu. Menurutku Miyake terlalu ekonomis, pesanan tak perna lebih dari dua macam. Paket makan siang dua porsi. Satu untukku dan satunya lagi untuknya. Kali ini luar biasa, ia memesan sayur, es krim dan banyak lagi. Tak terbayang dimana letak semua makanan itu nantinya.


"Jangan heran, ini kejutan untuk kamu, Ria" Senyum Miyake melebar.


MAtaku menyipit ketika mencomot ayam panggang. Kejutan?


Aku pernah membaca di majalah-majalah. Orang yang sedang bersalah selalu memperlakukan kita istimewa untuk menutup kesalahannya. Biasanya kesalahan itu adalah kesalahan apabila ia telah atau sedang berselingkuh. Mungkinkah?


"Janjiku, Ria. Kalau aku berhasil mendapatkan pekerjaan itu, aku akan mentraktir kamu apapun yang kamu mau" Katanya seolah bisa membaca pikiranku.


"Apa?"


"Yaaa, kamu kan minta ini. Semuanya sudah aku catat di kepala. Dan begitu berhasil, aku tak mau menunda" Jelasnya.


Aku menarik napas lega. Wah, andai saja sebaliknya. Tak terbayangkan bagaimana aku saat ini. Mungkin aku pingsan di sini, kemudian beberapa orang pelayan di sini akan sibuk membantu Miyake mengangkatku ke dalam angkot. Miyake dengan tatapan dan tangis penyesalan memohon-mohon maaf padaku.


Ah, itu hanya sebuah khayalan tak berguna.


Uhuukkkk... Uhuukkk!!


"Ria, kamu kenapa?" Miyake menyodorkan segelas air putih. Cepat-cepat kuteguk. Untuk meyakinkan dia aku baik-baik saja, aku jawab dengan gelengan kepala.


Tatapan Miyake cukup khawatir. Sebenarnya ingin kukatakan sejujurnya. Aku sedang berimajinasi tentang dirinya. Rasanya bukan waktu yang tepat.


Selera makanku lenyap seketika.


"Kak Rianayu..." Sebuah suara menyentakku. Aku menoleh ke samping, ke arah suara.


Wajah itu... sepertinya aku mengenalnya. Tapi kapan?


"Cepat sembuh. Kita selesaikan Secret Caves bersama-sama lagi. Kita tidak akan menempelnya di mading sekolah, kak. Kita akan bukukan. Kita jadikan novel. seperti mimpi kakak dan aku dulu. Kakak masih bisa mewujudkannya. Kakak bisa mewujudkan mimpiku." Suaranya lirih.


Aku terpana.


Aku menoleh ke arah Miyake. Tapi... ia tak lagi di tempatnya. Orang-orang di sekelilingku juga tak ada.


Aku menggigil. Tatapan sedih gadis itu....


*


Aku terbangun dengan peluh mengucur membasahi bantal, selimut dan baju. Cepat-cepat kuraih ponselku, jam digital menunjukkan angka 4.30 WIB. Azan Subuh belum berkumandang, suara lantunan ayat sucipun belum terdengar. Malam begitu sepi. Hanya nyanyian nyamuk di luar kelambu yang terus konser hingga matahari menerobos celah dinding.


Sebuah sms. Dari Miyake. Udah tidur, Ria?


Aku meletakkan kembali ponselku di dekat bantal. Kucoba memejamkan mata lagi. Tapi bayang-bayang gadis itu. siapa dia? mengapa dia mengatakan Secret Caves? Apa itu?


*


Jam menunjukkan pukul 10 pagi.


Suara gaduh di luar kamar begitu nyata mengganggu indra pendengaranku. Siapa lagi kalau bukan petugas piket di asrama.


Agak malas aku angkat badanku yang mulai turun panasnya setelah menenggak 4 butir pil dari dokter setiap habis makan. Tak ada pula sms dari Miyake yang menanyakan sudah bangun atau belum. Semua begitu biasa. Kecuali.... bayang-bayang mimpi semalam.


Sambil memanaskan air di dispenser, aku mengingat-ingat wajah gadis itu. Dimana aku pernah melihatnya.


Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam.




Sandra.


Dia Sandra. Gadis itu adik kelasku saat duduk di bangku SMU. Ia meninggal sebelum mading terbit di bulan Maret. Cerita bersambung yang kami gagas berdua berjudul Secret Caves, akan lima episode lagi. Tapi sebelum lima episode terakhir terbit, sebuah tabrakan maut ikut merenggut nyawanya.


Aku kini menyadari arti hadirnya, ia ingin aku tetap menulis, melanjutkan Secret Cave. Ya, ide cerita itu masih tersimpan rapi di memori otakku. Namun hingga detik ini, aku tak pernah mencoba mengeluarkannya. Sejauh ini, aku menganggap itu adalah hak ciptanya, bukan aku.


Banda Aceh, 26 Februari 2012

Rabu, 04 Juli 2012


16 Maret 2012

Pagi itu begitu membosankan. Bahkan untuk melihat matahari pun mata iin begitu lelah. Tapi selembar kertas merah di dinding memaksaku untuk bangun. Di sana tertulis: "Aktivitas baru, kuliah SPU. Jangan malas Upaaaaa....!!!"

Ah, seandainya saja tak ada tulisan itu di sana. Tentu saja aku akan bebas tidur sampai mata bengkak.

Kenyataannya aku harus tetap bangkit, mandi dan bersiap menjadi mahasiswa pra pasca sarjana kembali. Tiba di kampus yang alakadarnya dan duduk manis di antara teman-teman yang masih asing. Meskipun beberapa di antaranya sudah aku kenal sebelumnya.

2 Juli 2012

Rasanya baru kemarin aku masuk ke kelas SPU. Pada tanggal ini...
Aku harus melepas kebersamaan yang indah ini.