Rabu, 03 Oktober 2012

Kumpulan Cerpenku, Kapankah?


Awal mula terpikir untuk membuat kumpulan cerpen bermula dua tahun lalu. Tepatnya saat cerpenku bebrjudul “Bunga Jiwa’ di muat di majalah KAWANKU pada bulan April 2012.

Waktu itu saya langsung terpikir untuk menjadikan ilustrasi cerpen majalah KAWANKU sebagai covernya. Saya sampai lebay men-tag teman-teman dengan maksud bercanda. Mereka yakin saya serius. Saya jadi tak enak hati dan merasa membohongi public. Walaupun saya tak pernah berniat begitu.

Kemudian saya berpikir, kepercayaan teman-teman harus menjadi motivasi bagi saya. Saya wajib melaksanakan niat baik untuk membuat kumpulan cerpen.

Langkah pertama yang saya lakukan cukup menggebrak ketidakpercayaan teman-teman dekat. Pasalnya saya mendadak produktif. Menulis satu hari dua cerpen dengan disiplin. Seminggu sekali mengirim cerpen-cerpen ke berbagai media. Meskipun kebiasaan baik itu hanya berlangsung satu bulan kurang tiga hari.

Langkah kedua, saya mengklasifikasikan cerpen-cerpen yang sudah dimuat. Mana yang pantas untuk genre remaja dan chic serta umum. Semangat saya kembali terrpukul karena cerpen saya tidak cukup. Jangankan tebalnya 200 halaman, 10 cerpen untuk satu genre saja tidak sampai.

Langkah ketiga, saya mencoba beristirahat sejenak yang berdampak benar-benar berisitirahat dan malas menulis.

Nah, tentunya muncul lagi tulisan saya di blog menjadi pertanyaan. Apakah mimpi itu akan bangkit lagi? Jawabannya bukan. Saya terinspirasi dengan seorang teman yang menelepon saya tengah malam.

Saya pikir dia akan mengganggu saya atau menuntut oleh-oleh dari saya. Ternyata dia sedang curhat sedang jatuh cinta dan tidak bisa memenddam perasaan. Dia tidak mau mengungkapkan pada si lelaki itu. Tapi ia ingin bertutur dalam fiksi. Agar perasaannya lega dan mengambil keuntungan dari sana.

Saya sempat bertanya, “Keuntungan apa? Penulis itu miskin, lho…”

Dia menjawab, “Kakak.. Aku ingin keuntungan berlipat ganda jika cintaku bertepuk sebelah tangan.”

Aku meminta penjelasannya, jawabannya membuatku tercengang.

“Bayangin kak, peluangku untuk ditolak itu 90%. Kalau aku ditolak, menulis itu jadi obat hati untukku. Aku juga bisa jual kisah-kisahku untuk modal beli tissue. Enak saja cinta buatku rugi. Cinta tetap harus menguntungkan” Jawaban yang cukup komersil.

Paginya aku langsung membuat sebuah artikel. Kucoba mengirimkan ke harian local. Menunggu beritaku muncul di halaman pertama dan aha…!! Semoga ada duitnya.

Tapi tidak mesti duitnya, aku berharap bisa mengumpulkan cerpen-cerpenku lagi. Bisa membukukannya suatu saat. Bisa pula melongok rekening setiap bulan, bahwa ada angka-angka dalam bentuk rupiah mengalir ke rekeningku. Dengan tersenyum kukatakan pada anak cucu, “Ini royalti mama, nak.”

Tidak ada komentar: