Rabu, 21 Desember 2011

Feature: "Merdeka Hanya Kata"


Aceh Feature/ Sosial - 2010-02-14 | 963 Kata
LAPANGAN Merdeka Kota Langsa ramai. Peringatan hari kemerdekaan Indonesia akan berlangsung besok. Malam itu beberapa gerobak mulai mengisi trotoar di sepanjang halaman. Kursi-kursi plastik warna-warni mulai disusun hingga ke tengah lapangan. Satu per satu pengunjung pun  mulai datang, mencari tempat yang nyaman. Tempat makan terbuka ini disebut “Rex”, sama seperti nama tempat makan terbuka yang terkenal di Banda Aceh. Padahal nama Rex berasal dari nama bioskop yang dulu sempat berdiri di situ.

Di beberapa sudut lapangan yang agak remang-remang, beberapa muda-mudi mempunyai tempat sendiri. Namun malam itu para lelaki dewasa lebih banyak terlihat di sini.

Saya bersama tiga teman sedang menunggu seseorang. Nazar, salah seorang dari kami, akan mengenalkan kami pada seseorang itu. Ia menyebut orang tersebut: teman lama. Tiba-tiba telepon seluler Nazar berdering, memperdengarkan lagu Toxic Britney Spears, penyanyi pop asal Amerika.

Nazar menjelaskan posisi kami pada si penelepon. Tak berapa lama, sebuah Kijang Avanza hitam memasuki tempat parkir, tak jauh dari kursi kami. Seorang lelaki paruh baya keluar dari mobil itu.

Perawakannya tinggi, tambun, rambutnya lurus belah tengah, tak ada senyum. Ia memakai jins dan kaos oblong.

“Assalamualaikum....” Ia mengucap salam, seraya mengangkat tangan setinggi kepala. Kami menjawab salamnya serempak dan menyalaminya bergantian.

Nazar memperkenalkan kami pada lelaki itu. Ternyata ia seorang pengusaha perlengkapan rumah tangga. Dulu ia pernah jadi pegawai pemerintah kabupaten. Hamzah, namanya.

Seorang pelayan menghampiri kami, membawa catatan dan pulpen, menanyakan menu yang akan dipesan.

“Jus terong Belanda,” jawab saya.

“Pokat.” Nazar bermaksud menyebut “alpokat”.

"Mangga,” Nurul menyebut pesanannya. Kening pelayan itu berkerut. Sepertinya ia akan mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya.

“Bapak seperti biasa?” tanya si pelayan itu akhirnya pada Hamzah.

Ia mengangguk.

“Gulanya dikurangi ya,” ujar Hamzah. Si pelayan mengangguk dan bergegas menyiapkan pesanan kami. Hamzah memang bukan orang baru bagi pelayan tadi.

“Saya sudah sering nongkrong di sini. Hampir tiap malam. Kadang-kadang bertemu rekan bisnis, kadang teman-teman dari kantor dulu,” kisahnya. “Mereka juga bingung mau mengikuti jejak saya atau tetap bertahan sebagai pegawai biasa dengan gaji pas-pasan.”

Hamzah lalu bercerita tentang pekerjaannya dulu: pegawai negeri sipil. Para pegawai di kantornya datang hanya untuk menandatangani absen saja. Lalu duduk dan mondar-mandir saja di kantor. Tak jarang mereka hanya nongkrong di warung kopi dan duduk-duduk saja, lalu tiap bulan menerima gaji. Tak hanya di satu kota saja perilaku pegawai pemerintah seperti ini, tapi hampir di semua kota di provinsi Aceh.

Menurut Hamzah, merdeka dari pekerjaan itu bukan sekedar bebas dari kerja yang tidak kita sukai. Tapi dapat mencari pekerjaan yang lain dan kita senangi.

Lapangan Merdeka Langsa setiap tahun menjadi lapangan upacara untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, tapi ia juga saksi bahwa sekian banyak orang masih belum lepas dari penjajahan. Begitulah kata Hamzah.

“Kalau saja pemerintah kita bijak dalam mengatasi perekonomian masyarakat, pastinya kita sudah seperti negara-negara maju. Buah-buahan seperti ini tak ada yang busuk. Kita bisa mempunyai perusahaan pengolahan buah sendiri. Misalnya di Takengon. Jadi semua masayarakat di sana merdeka dari kesulitan ekonomi. Benar tidak?” Hamzah bertanya pada saya.

Rupanya itu definisi “kemerdekaan” yang dimaksud Hamzah.

Para rakyat kecil yang berdagang di jalan-jalan pun masih dikejar-kejar satuan polisi pamong praja, belum merdeka secara penghidupan.

“Padahal mereka bekerja di kaki lima bukan dengan niat mengganggu ketertiban umum, tapi karena tak sanggup menyewa lapak yang harganya mahal. Penghasilan mereka saja tak seberapa,” Nazar ikut berkomentar.

Para pedagang di Rex dengan izin pun masih harus membayar uang restribusi pada pemerintah.

Malam semakin larut ketika kami meninggalkan Rex untuk kembali ke penginapan.

Seorang perempuan dengan rompi oranye memandu mobil keluar dari tempat parkir. Di Banda Aceh saya tidak pernah melihat perempuan menjadi penjaga parkir, tapi di Langsa sebaliknya. Saya malah tidak melihat lelaki menjadi tukang parkir di sini.

Perempuan paruh baya itu mengutip Rp 5 ribu per mobil. Namun ia masih harus member setoran pada pemerintahan setempat.

Saya ingat hari itu, 17 Agustus 2009 , peringatan ulang tahun Republik Indonesia ke-64 terjadi juga. Beberapa kelompok berbondong-bondong menuju Lapangan Merdeka. Ada rombongan anak sekolah, pegawai, tentara, polisi dan beberapa instansi pemerintahan lainnya. Mereka berbaris dengan  seragam masing-masing, menunggu saat-saat bendera merah putih dikibarkan.

Pagi itu saya dan Asna Wati, seorang teman, masih mencari sarapan. Jalanan macet, tak bisa lewat di sekitar lapangan itu. Namun tak jauh dari sana, ada sebuah warung kopi yang pintunya setengah terbuka.

Beberapa orang duduk minum kopi dan berbincang-bincang. Setelah memesan dua piring lontong dan minuman kami pun ikut duduk bersama mereka.

Seorang polisi dengan seragam lengkap menghampiri kami. Ia duduk di antara saya dan Asna.

“Tidak ikut upacara bendera?” tanya polisi itu, dengan garang. Kami terkejut, beberapa orang lain di dalam warung juga terkejut.

“Kami sarapan dulu, nanti baru ikut. Tapi kami sudah mengirim perwakilan untuk upacara,” jawab Asna, agak gentar.

“Dari mana Anda ini? Siapa?” tanya polisi bernama Zulkifli itu. Rambutnya mulai memutih di sana-sini.

Asna menjelaskan bahwa kami berasal dari Banda Aceh. Setelah itu nada bicara Zulkifli mulai melembut.

“Dulu pahlawan kita sangat sulit memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tapi orang-orang zaman sekarang malah seenaknya saja memperlakukan hari kemerdekaan. Hanya datang berbaris beberapa jam tidak mau. Bangsa kita 350 tahun berjuang melawan bangsa asing.” Suaranya kembali meninggi.

Kami hanya mengiyakan saja. Sepertinya, kami salah memilih tempat makan.

Zulkifli juga bercerita tentang keluarganya. Walaupun hanya seorang polisi, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai program doktoral di Jerman.

“Bangga saya sebagai seorang polisi. Berapalah gaji saya, tapi saya bisa sekolahkan anak-anak saya sampai ke Jerman. Beasiswa yang diterima itu tidak cukup, lho. Malah saya banyak harus menutupi dengan uang saya sendiri,” tuturnya, sambil tertawa.

Berapa gajinya tiap bulan? Setahu saya, hanya para pengusaha yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri dengan uang pribadi. Tapi saya agak segan menanyakan sumber lain pendapatan Zulkifli selain gaji.

Jam mulai menunjukkan pukul sepuluh. Upacara akan dimulai, namun polisi itu masih duduk di warung kopi. Sampai saya dan Asna meninggalkan warung itu, ia masih duduk di sana. Padahal ia tadi memperingatkan kami untuk upacara.***

Fiksi: "Mas Salah"

Majalah POTRET/ Edisi No. 51-2011


Miss Salah.
Aku tak suka julukan itu. Toh selama ini aku bisa memanajemen setiap permasalahan  dengan menulisnya sebagai cerita pendekku dan terangkum dalam folder reportase hati. Walaupun tak sepenuhnya apa yang kutulis benar, tapi aku cukup merasa lega karenanya. Itu manajemenku dalam memecahkan tiap permasalahan. Endingnya sengaja aku buat indah, aku berharap akan ada masukan atau masalahku akan berakhir dengan happy ending.
Hal lain yang terbesar dalam hidupku adalah mengeluh. Ini pula yang membuat orang menilaiku dengan berbagai sebutan. Termasuk julukan perempuan bermasalah.
Sampai ketika aku berumah tangga dengan Mas Shalahan, kebiasaan mengeluh untuk diri sendiri masih saja terulang. Mas Salah juga selalu menyalahkan aku terlalu sensitif. Aku suka membesar-besarkan hal kecil, katanya. Menururku itu tak benar.
“Mestinya kamu menghilangkan masalah kecil dan mengecilkan masalah besar, dek..” Nasehat Mas Salah ketika kuceritakan keributanku dengan Rosa di kantor.
Mas Salah ini. Bukannya membelaku, ia malah membuat amarahku di ambang pintu.
“Mas, kapan sih mas berhenti menyalahkan aku. Di mata mas memang selalu salah.” Protesku, setengah menangis.
“Ya... Namanya saja Mas Salah. Sangat cocok dengan Miss Salah. Iya, kan?!” Ia merangkulku. Aku tersenyum.... Amarahku meredam.

AKU menimang-nimang buku Khaleed Moestafa. Rasanya aku harus memilikinya. Hanya satu lagi. Kalaupun ada di toko buku lain, sepertinya harganya tak seringan ini. Aku member di toko buku ini, kalau di toko lain kan tidak. Bagaimana ya....?
Ini masih pertengahan bulan. Tapi pengeluaranku sudah banyak sekali. Aku harus memebli ini dan itu. Kemarin aku kepincut pada baju warna krem di butik. Keren sekali baju itu. Aku yakin sekali ini sangat manis bila aku yang memakainya. Apalagi pemilik butiknya bilang begitu padaku, dia tak bohong. Karena aku sudah cukup mengenalnya. Ketika aku coba di kamar pas, benar saja, memang sangat anggun. Akhirnya aku keluarkan setengah gajiku untuk membayar harga baju itu.
Aku berharap Mas Salah juga sangat senang dengan pilihanku. Terang saja aku memamerkan pilihanku pada Mas Salah. Bukan pujian yang kudapat darinya. Tapi komentar yang tak kuharap sama sekali. Emm, tidak bisa di sebut komentar kalau itu, tepatnya cercaan.
“Dek, dek... Mau pakai ke mana pakaian itu. Kerjaanmu kan sudah sangat teratur. Busana disediakan studio, di luar itu kamu pakai seragam, kan?! Kalau untuk pesta atau apa.... baju yang Mas belikan belum habis kamu pakai. Dek, hemat sedikitlah.... walaupun gajimu sendiri, coba ditabung untuk masa depan. Ingat, kamu masih punya cita-cita mengambil master di Jepang, kan?”
Memang iya. Tapi aku juga ingin memanjakan diriku sendiri seperti teman-temanku yang lain. Mereka bisa bersenang-senang. Toh suami mereka tak keberatan. Kenapa Mas Salah selalu mempermasalahkan hal kecil seperti ini sih....
Ugh, pusing.
Kali ini aku yakin sekali tak menjadi soal apapun yang akan kubeli. Mungkin soal baju itu Mas Salah benar. Terlalu mahal. Tapi ini bukan masalah kok. Hanya sebuah buku saja. Aku harus membelinya. Mumpung ada diskon dari penerbit, ditambah dengan diskon member kan jadi untung banget diriku.
Tiba di rumah, Mas Salah sudah duluan tiba. Tak biasanya. Ia juga sudah membersihkan diri, dan sudah makan siang. Ini yang menyenangkan dari Mas Salah. Tidak terlalu banyak menuntut dari aku. Ia membebaskan aku berkarya. Mas Salah memang luar biasa.
“Dek, mas belikan kamu buku. Mas lihat kamu punya koleksi banyak. Tapi ini kok belum punya ya...” Mas Salah mengeluarkan bungkusan berbentuk persegi empat dari tas kerjanya.
Aku menerimanya senang dan penasaran. Buku apa yang dimaksud Mas Salah? Kubuka pelan-pelan bungkusan itu. Hmm... Tumben Masku baik banget. Ia biasanya akan mengomrl kalau aku terus belanja buku. Katanya aku terlalu boros dan ini itu.
“Lho, Mas...” Aku terkejut.
“Kenapa, dek. Kamu nggak suka ya bukunya?” Wajah Mas Salah tampak kecewa. Aku tertawa, mengeluarkan buku yang sama dari tasku. Lalu mengacungkan ke hadapan Mas Salah.
“Aku juga beli mas. Di toko yang sama pula. Satu lagi mau dikemanain, Mas?” Tanyaku sambil ketawa. Mas Salah tak tersenyum sedikitpun, apalagi tertawa. Aku juga merasa ttak enak karena Mas Salah tak tertawa.
“Dek, hematlah.... Kan mas sudah belikan kamu buku ini. Kenapa beli lagi?” Tanyanya. Aku bengong, Mas Salah tidak bilang atau tanya dulu padaku. Kok aku lagi yang disalahkan.
“Mas nggak bilang.” Jawabku kesal. Aku tak suka jadi objek kesalahan terus.
“Dek, dek....” Dia mengacak-acak rambutku dan beranjak dari sisiku menuju ke kamar kerja. Yakinlah, ia tak akan keluar sampai malam. Ia akan di sana sampai ia bosan.
Aku menghembuskan nafas berat. Kenapa aku lagi yang salah... Mas Salah tak bilang mau buat kejutan untukku.

BUKU yang sama itu akhirnya kami bawa sebagai kado ulang tahun adikku. Sesuai kesepakatan saat kami mulai romantis. Tapi buku yang aku beli. Buku yang dibeli Mas Salah tetap masuk ke rak koleksi. Ini solusi agar Mas Salah tidak ngambeg lagi dan agar dia juga tahu, bahwa aku sangat menghargai pemberiannya.
“Kayaknya kita perlu rak buku baru ya, mas...” Ujarku di sela-sela waktu santai. Mas Salah hanya melirik sejenak. Lalu kembali lagi ke majalah seni yang dibacanya. Cuek.
Akupun ikutan mengalihkan perhatian ke majalah wanita yang aku baca. Menelusuri tiap rubrik dengan teliti. Mungkin belum saatnya berbicara masalah pengeluaran di akhir bulan. Petaka buat Mas Salah.
Rubrik interior kali ini cukup menarik. Sesuai dengan keinginanku. Sebuah lemari yang cocok untuk rumah tipe 81. Bentuknya tinggi hingga ke langit-langit, lebarnya panjangnya sepanjang dinding. Tipis. Cocok sebagai pengganti lemari hias. Aku suka sekali. Awal bulan aku akan beli, Mas Salah pasti setuju.
Kebetulan dua hari kemudian aku gajian. Kali ini bonus setengah dari gajiku. Keberuntunganku tak hanya di situ, masih ada sejumlah uang dari honor pemuatan cerpenku. Lengkap sudah keberuntunganku.
Tak perlu mengambil gaji. Cukup menghabiskan bonus dan honor cerpen saja bulan ini.
Tanpa mengajak Mas Salah, aku pergi ke toko furniture yang diinformasikan majalah. Aku memesan lemari tersebut dengan semangat. Hanya tiga perempat dari anggaran yang kurencanakan.
Klop!!
 Akan kutempatkan di ruang keluarga. Dengan senang hati aku mempersilahkan pegawai furniture itu masuk ke rumah dan menempatkan lemari buku di tempat yang aku inginkan. Bagus sekali. Tinggal memindahkan semua buku dari kardus ke lemari dan tinggal mengisi kekosongan saja.
Sorenya, aku ingin membuat kejutan pada Mas Salah. Menunjukkan padanya, dari bonus dan honor sebulan saja, aku sudah membeli rak lemari buku yang aku impikan.
“Masuk sini, mas... Sini...!! Ya, taroh di......” Mas Salah tercengang. Tidak melanjutkan instruksi pada beberapa orang yang tengah menggotong lemari yang sama. Tetapi ukurannya sedikit lebih kecil.
“Dek, maksudnya apa?” Tanyanya heran.
“Lho, Mas...?! Ini buat siapa? Kita?” aku terkejut.
“Ya... Buat kamu, dek. Buat kita.”  Suaranya lesu.
Kalau aku tidak cepat mengambil inisiatif pasti Mas Salah akan kecewa. Tak ada cara lain selain...
“Mas, ayo di bawa kemari. Di taro berhadapan ya... tuh, bagus kan?” Aku segera mencairkan suasana yang mulai tegang. Mas Salah tak berkata sepatahpun. Ia hanya melihatku tak mengerti.
Setelah para pegawai pulang, aku menggandeng Mas Salah duduk di depan TV. Menatapnya penuh arti. Tersenyum semanis mungkin di hadapannya. Kucoba membuatnya sedikit senang dengan sikapku.
“Dek, kan mas sudah bilang kalau...”
“Mas Salah... Arum masih punya gaji bulan ini. Masih utuh, belum Arum gunakan sedikitpun.” Aku memotong kalimat Mas Salah dan memperlihatkan buku tabunganku. Di sana tercetak jumlah gajiku bulan ini. Mata Mas Salah terbelalak. Ia tak percaya.
“Ini, dek....?! kamu nggak bohong kan sama Mas?”
“Nggak. Itu memang gaji Arum bulan ini. Arum beli lemari dari uang bonus dan honor menulis.”
Mas Salah menatapku dalam-dalam. Air matanya keruh.
“Dek, dek.... Mas kan selalu bilang. Ya.... Kamu tuh yang hemat sedikit jadi orang. Semua uang kamu bisa kamu simpan kan? Jangan dibelanjain semua...” Ceramahnya.
Mas Salah, masalah lagi. Mas Salah kan tidak bilang kalau kemarin mau membeli lemari itu kalau gajian. Kalau aku bisa membeli sendiri, kenapa aku harus menunggu. Memanglah.... ini benar-benar masalah dengan Mas Salah.
MAS SALAH mengajakku ke pesta pernikahan teman sekantornya. Aku jadi bingung mau pakai baju apa. Baju-baju pemberian Mas Salah sepertinya kurang cocok untuk acara malam. Satu-satunya baju yang pas untukku adalah baju krem yang aku beli di butik bulan lalu. Yang jadi masalah bagi Mas Salah.
Aku tampil anggun dengan gaun itu. Pemilik butik bilang ini pas untuk segala suasana dan acara. Benar saja. Aku tampak lebih cantik dengan baju ini.
“Lho, dek... Apa kamu nggak ingin pakai baju yang Mas beli di Singapura itu?” Tanya Mas Salah begitu aku muncul di depan pintu kamar.
“Baju ini nggak bagus ya, mas...?!” Aku kecewa, mulanya aku pikir Mas Salah akan memujiku. Tapi kebalikannya, ia menyuruh ganti.
“Bagus, sih... Tapi mas pengen lihat kamu pakai baju merah muda itu, dek.”
Mau tak mau aku mengalah. Setelah perdebatan lima belas menit. Aku merombak ulang dandananku. Memakai baju merah muda yang menurutku sama sekali tidak cocok dengan suasana pesta yang kalem. Apalagi siang hari. Tapi mau gimana? Omongan suami tetap harus diikuti.
Aku pikir aku akan malu di pesta. Ternyata nggak, aku sama sekali tidak merasa dipermalukan. Mas Salah menggandengku sangat mesra, dan memperkenalkan aku pada teman-temannya. Hampir semua orang memujiku sangat cantik.
“Mbak Arum... Gaunnya bagus sekali. Pasti mahal.” Puji seorang perempuan muda. Dia menatap gaunku dengan muka pengen.
Mas Salah sangat senang mendengar pujian untukku. Katanya istrinya cantik, dia cukup bangga. Dia tak hentinya mengatakan pemberiannya tetap yang terbaik. Mas Salah juga membandingkan, kalau aku memakai baju krem, pasti tak kan ada pujian seperti itu untuknya, untukku. Kalau begini, ia merasa lebih adil. Sepertinya pujian itu suatu masalah juga bagi Mas Salah.

MALAM ISTIMEWA ini aku akan memasak rendang untuk Mas Salah. Katanya ia akan makan di rumah. Sekian lama aku menjadi istrinya, ia paling malas makan siang di rumah. Kalaupun kami sama-sama punya waktu, ia lebih memilih mengajakku makan siang di luar. Apalagi kalau awal bulan.
Malam ini Mas Salah akan makan di rumah. Rasa senang menyelimuti hatiku. Alangkah bahagianya aku bisa masak untuk Mas Salah. Rasanya aku telah menjadi istri yang sesungguhnya. Bukan perempuan yang hanya pulang, pergi dan disibukkan dengan karir.
Salam Mas salah terdengar dari ruang tamu. Mas Salah sudah pulang. Tumben, harusnya dia pulang sekitar dua jam lagi. Mungkin ini bagian dari rencananya.
“Dek, aku dapat informasi bagus lho untuk kamu. Tapi menyedihkan buatku.” Mas Salah langsung menyusulku ke dapur lengkap dengan pakaian kerjanya.
“Kabar apa, Mas?” Tanyaku sambil memotong-motong daging.
“Kita makan di luar saja, dek. Dagingnya masukin kulkas saja. Ntar kamu capek, jadi apa yang aku sampein nggak nyambung lagi” Ujarnya.
Aku lemas. Aku sudah capek belanja, membersihkan daging dan menyiapkan bumbu. Eh, Mas Salah malah mengajakku makan di luar. Bagaiamana sih....?!
“Aku ngambek, mas. Bilang sekarang saja” Aku merajuk. Tak kuhentikan kerjaku. Aku bertekad untuk memasak. Mas Salah sepertinya mulai membatalkan niatnya mengajak makan di luar. Ia ingat menyuruhku memasak di rumah.
“Beasiswamu udah keluar, dek. Kamu udah dipanggil dari Universitas Tokyo” Ucapnya pelan. Aku terkejut dan melonjak-lonjak sambil memeluk Mas Salah. Terlupa Mas Salah masih memakai baju kerja.
“Dek.... Tuh kan.... Kotor, deh”
Aku membasahi bajunya dengan air keran. Kami malah main siram-siraman. Mas Salah.... Terkadang tidak membawa masalah.

Darussalam, 13 Juni 2009

Kamis, 15 Desember 2011

Manis, Aku Datang!


Apa yang Anda bayangkan saat keluar malam dan melewati Jl. T. Chik Pante Kulu, Banda Aceh. Polesan bedak tebal mulai timbul, lipstick merah menyala mulai meleleh, jilbab mungil melilit di lehernya, dan rambut hitam menyembul dari balik jilbabnya.
“kita dandan kayak gini buka mau centil-centilan, tapi suka kok tampil cantik begini.” Ujar salah seorang pedagang ketika di tanyai masalah dandanan mereka. Menurut penilaian pembeli dandanan mereka terlalu over.
Di hadapan mereka ada sebuah meja kecil, bertumpuk daun sirih, satu stoples pinang manis tertutup rapat, semangkok kapur tak jauh dari stoples, sirih-sirih siap saji berbentuk limas dan kerucut tersusun membentuk undakan-undakan.
 Deretan penjual sirih berjajar di sepanjang taman parkiran, di samping kiri gerbang masjid raya,  dekat abang-abang becak menunggu penumpang. Mereka menunggu pembeli, meski malam telah datang, tak urung niat mereka mencari sesuap nasi harus terhalangi.
Hidup memang keras, seiring naiknya harga bahan pokok menuntut mereka untuk terus bekerja. Mereka tidak peduli dengan omongan orang lain yang menilai miring keberadaan mereka.
Dari mesjid raya suara azan maghrib mengalun merdu. Kendaraan-kendaraan memarkir mobilnya di sekeliling mesjid, bersiap mematuhi panggilan dari baitullah. Beberapa pedagang kaki lima bersiap menggelar dagangannya di seputaran mesjid. Mulai dari pedagang jam, baju-baju obral, mainan anak-anak dan makanan.
Usai maghrib, jalanan mulai di penuhi anak-anak muda yang menghabiskan malam minggu. Melewati jalanan yang muali sesak dan riuh oleh deru mesin motor.
Seorang gadis muda memakai jilbab hijau muda bunga-bunga coklat, kaos hitam lengan tiga perempat, dan jeans ketat membalut kedua kakinya panjangnya. Sejak duduk di belakang meja dagangan, ia hanya membungkus sirih dan meletakkannya di atas meja.
Seorang lelaki berkemeja coklat dan celana putih menghampirinya, tubuh besarnya langsung duduk di kursi reot di samping si gadis bernama Nurlela. Nurlela mengambil sirih dan memakannya, tanpa membayar dia langsung pergi setelah agak lama mengobrol dengan Nurlela. Dia kembali duduk.
Tidak lama kemudian, beberapa lelaki menghampirinya, mengeluarkan uang Rp. 1000,- dan Nurlela mengemaskan lima buah sirih berbentuk limas ke dalam plastic kecil. Lelaki yang lain berhenti di depan meja tersebut da ikut membeli sirih. Sekitar beberapa menit mereka berkumpul da menikmati sirih, mereka bubar. Motor lainnya berhenti, membeli beberapa buah sirih dan pergi.
Suatu hal unik, di zaman moderen seperti ini ternyata masih banyak pemuda yang suka makan sirih. Padahal kehadiran pizza, humberger, KFC telah mengambil hati para pemuda Aceh. Kini budaya itu telah di terima kembali.
Dalam keremangan malam, ada lampu khas ditiap-tiap meja. Lampu yang terbuat dari kaleng cat, didalamnya diisi minyak tanah, sumbu berdiameter 3 cm itu mampu memberi penerangan bagi tumpukan sirih di atas meja.
Gadis imut itu masih melayani pembeli yang kebanyakan laki-laki. Bahkan pembeli harus menunggu saat si gadis membugkus sirih untuk mereka. Sirih manis berbentuk limas.
Namun, diantara seluruh meja hanya ada satu meja tanpa lampu. Meja itu milik seorang nenek tua, tumpukan sirihnya masih menggunung, di sisi kiri dan kanannya perempuan menor lebih mendominasi malam dalam mengundang pembeli. Belum ada seorang pun pembeli yang singgah di mejanya.
Perempauan tua itu bernama Khadijah. Ia sudah berjualan sirih hamper setengah abad, sejak anaknya masih kecil-kecil.
Nyan aneuk lon (itu anak saya).” Nek Khadijah  menunjuk perempuan setengah baya di samping kiri, berdandan menor dan  tersenyum manis memanggil pembeli. Seorang bapak menghampiri nek Khadijah.
“Yang mana saya taruh , nak.” Tanyanya sambil mengambil plastic gula ukuran setengah kilo.
“Yang manis.”
“ Semuanya manis.” Nek Khadijah memasukkan lima buah sirih berbentuk limas ke dalam plastic setelah menerima uang Rp. 1000,-.
Hidup berjualan sirih selama bertahun-tahun telah memberikan satu hasil yang tidak bisa di pandang sebelah mata. Dari gubuk reot sewaan, ia telah membeli sepetak tanah Peuniti, Banda Aceh  dan rumah sederhana.
Setiap harinya ia harus menyisihkan Rp. 10000,-  untuk ongkos becak pulang pergi dan Rp. 20000,- untuk membeli beberapa ikat daun sirih di Lambaro. Harga seikat daun sirih berkisar sekitar Rp. 1500,- sampai Rp. 2000,-.
Malam semakin larut, nek Khadijah mengemaskan dagangannya ke atas becak. Becakpun mengantar nek Khadijah ke istananya, di Peuniti. Sementara perempuan-perempuan muda seperti Nurlela masih mangkal di tempatnya.***